Tentang Melepas Seorang Anak

by - Februari 22, 2019


Bukan suatu hal yang mudah buat orang tua melepaskan anaknya. Ketika akad nikah, orang tua sudah saatnya melepaskan seorang anak untuk dibimbing orang lain. Aku tau itu bukan hal yang mudah. Selama 23 tahun orang tuaku merawat, membimbing, dan membesarkanku. Mendengar cerita-cerita nya, membesarkanku bukanlah hal yang mudah. Dari mulai aku yang terlahir prematur 7 bulan, rumah sakit yang banjir selutut saat melahirkanku, dan tentang badanku yang ringkih sering sakit-sakitan hingga aku kelas 1 SD. Aku ingat saat aku masih TK. Ibu selalu menungguku di depan kelas, memastikan aku baik-baik saja. Aku tak bisa seperti anak-anak lainnya. Selain karena usiaku yang jauh lebih muda dibandingkan dengan teman-temanku, aku juga sering tidak berangkat sekolah karena sakit. Aku jarang sekali mengikuti kegiatan olahraga atau jalan sehat. Saat tamasya pun aku ngga ikut karena sakit. Pokoknya dulu aku selalu iri dengan teman-temanku yang bisa belajar dan bermain bebas. 

Dapat dibilang aku anak yang sangat semangat buat belajar. Dulu, aku anak yang ngga betahan di rumah. Di usiaku yang masih 4 tahun aku selalu merengek minta sekolah TK karena teman-teman di sekitar rumahku sudah masuk TK tahun itu. Saat ibuku meminta guruku untuk membuatku tinggal di kelas TK lagi dan tidak mendaftarkanku di SD, guru TK ku justru menyarankan untuk mendaftarkanku ke SD. Menurut beliau aku bisa mengikuti pembelajaran seperti anak-anak lainnya tanpa kesulitan. Meskipun secara akademis aku bisa mengikuti, tapi aku masih gampang banget di bohongi. lol. Fyi dulu aku sering di kasih uang saku plus uang buat nabung sama ibu. Ada temenku yang suka bilang uangnya buat barengan nabungnya di dia. Eh akunya mau aja dan uangnya dipake jajan mereka. Ngga ada hubungannya sih.. wkwk.. toh akhirnya orang tuaku memutuskan buat daftarin aku ke SD. Yeay..

Di SD emang sakitku ngga sesering waktu TK. Sampe sekarang. aku ngga tau dulu itu sakit apa. Sejak usia tujuh bulan aku sudah ngerasain sakitnya di Infus dengan tangan di ganjel biar ngga banyak gerak (bayik mana tau kalo dia diinfus). Pas udah TK aku emang ngga sampe dirawat di RS tapi yang aku inget aku ngerasain bolak balik ke RS dan gonta-ganti tempat pengobatan. Di manapun orang tuaku coba buat kesembuhanku. Aku tau betapa besar usaha orang tuaku untuk membuatku sembuh. Aku ingat di sepertiga malam setelah sholat dan berdoa, orang tuaku mengelus ubun-ubun dan pusarku. Membacakan doa dan meniupnya. Itu adalah ritual yang dilakukan mereka setiap malam. Berdoa kepada penciptaku, agar aku diberi kesembuhan. 

Memasuki masa SD dapat dibilang aku sembuh. Meskipun pernah sesekali sakit pilek panas saat pancaroba dan kena cacar pas kelas V SD. Pernah juga disaat ngaji tiba-tiba keluar darah dari hidungku. Meskipun begitu aku tidak pernah merasa sakit. Aku akan pergi main dan mandi di sungai, berangkat ngaji setiap hari, dan TPQ setiap Jumat sore. Dulu aku semangat banget buat ngaji sama sekolah, karena disana aku ketemu banyak teman-temanku. Orang tuaku merasa sangat bersyukur. Ia tak menyangka anak yang dulunya sangat ringkih dan dapat dibilang memiliki harapan hidup yang kecil, kini telah bertumbuh. Mereka sangat bangga kepadaku saat aku bisa menduduki 10 besar kecamatan di hasil ujianku (dulu belum ada UN SD, semua mapel diujikan termasuk agama). Beberapa mata pelajaran aku mendapatkan nilai terbaik di kecamatan. Kepala dinas pendidikan datang saat perpisahanku, memberikan apresiasi dan menceritakan sepenggal tentang perjalanan akademikku. Aku merasa sangat senang karena kulihat orang tuaku sangat bahagia dengan pencapaianku. Berkat bimbingan mereka untuk bangun berdoa dan belajar di sepertiga malam, akhirnya aku bisa lolos SMP terbaik di kabupatenku. Aku selalu senang saat aku bisa melakukan hal-hal yang membuat orang tuaku senang. 

Sejak SMP aku sudah hidup jauh dari orang tua. Aku tinggal di pesantren. Meskipun begitu, hampir setiap minggu orang tuaku menjengukku. Padahal awal dipesantren santri tidak boleh dijenguk ataupun pulang selama 40 hari, orang tuaku tetap saja diam-diam menemuiku di luar sepulang sekolah atau bahkan nekat menemuiku di pesantren, karena waktu itu aku tidak diizinkan untuk membawa alat komunikasi (read HP). Jadi bukan hal yang mudah buat kita janjian ketemu di luar. Kegiatan di sekolah dan di pesantrenku dapat dibilang dua-duanya sangat padat. Aku mengaji sehari 4 kali dan harus setoran hafalan kitab. Belum lagi tugas sekolah yang mengharuskanku sering ke tempat rental komputer yang terkadang sampai larut malam. Saat ujian sekolah aku terkadang melanggar waktu yang dianggarkan pesantren untuk pulang ke rumah. Aselinya kita dijatah pulang sebulan itu 4 hari. Aku sering melanggarnya dan pulang setiap minggu. Alhasil kadang membersihkan kamar mandi menjadi takziranku saat di pesantren. 

Saat SMP aku memang hampir tak pernah sakit, tapi lagi-lagi Allah menguji kami. Saat ujian semester aku selalu pulang dan berangkat dari rumah. Aku ngga di pesantren karena aku ingin waktu belajar dan istirahat lebih banyak. Di pesantren biasanya aku baru selese ngaji antara jam 10 sampe jam 11 an. Dari habis ashar ngaji sampe menjelang maghrib, sholat jamaah terus nyambung habis maghrib, sholat, dan habis isya ngaji lagi. Perjalanan dari rumah ke sekolah aku kurang lebih sejam naik angkutan dua kali. Biasanya di angkutan aku masih sambil belajar.

Kelas VIII SMP aku mengalami kecelakaan cukup parah saat angkutanku ditabrak jib dan masuk ke irigasi. Lima tulang rusukku dan satu tulang dudukku patah. Lagi-lagi orang tuaku di uji dengan rasa takut kehilangan aku. Sebulan setengah aku ngga berangkat sekolah dan menjalani perawatan intensif. Aku hanya bisa berbaring selama sebulan, bahkan memiringkan badanpun tak bisa. Badanku serasa kaku dan pegal. Makan, minum, buang air semua aku lakukan dengan berbaring. Aku merasa hidup itu kayak roda, muter. Aku baru saja bahagia saat aku bisa masuk SMP itu dan mendapatkan juara lomba mewakili SMPku di kabupaten. Aku baru saja mengubah paradigma guru-guruku tentang daerahku yang selalu mereka sebut-sebut sebagai gudang preman. Ditambah lagi teman yang dari daerahku waktu itu dipanggil BK karena kasus pemalakan. Aku baru saja maju ke depan podium saat upacara bersama dengan teman-temanku lainnya menerima penghargaan. Aku ingat sekali pidato kepala sekolah saat itu bahwa kita ngga boleh ngejudge orang dari asal daerahnya, karena ngga semua orang seperti itu. Mungkin akan ada orang yang sibuk mengukir prestasi untuk mengharumkan citra daerah asalnya. Aku senang. Tapi kini, aku hanya bisa berbaring dan menangis setiap malam. Terlebih saat guruku mengungkapkan kemungkinan aku tinggal di kelas. Aku jadi semakin semangat buat sembuh. Aku ngga mau tinggal kelas.

Kajaiban. Itu yang bisa aku katakan. Saat dokter yang menanganiku mengatakan bahwa waktu normal penyembuhan tulang itu 100 hari atau bahkan lebih, hanya sebulan aku merasa sudah sembuh, Aku bisa berjalan tanpa bantuan tongkat dan sebulan setengah aku udah bisa ikut studi tour ke Jakarta. Naik jetcoaster, ontang-anting, kora-kora dan beberapa wahana lainnya. Waktu itu aku bandel, meskipun dilarang tapi tetep aja dilakuin. Pas antri mau naik tornado (di jaman itu tornado jadi wahana paling menantang di dufan), aku ketahuan guruku dan alhasil aku hanya cukup melihat dari bawah dan mendengar cerita teman-temanku tentang keseruan naik tornado.

SMA. Dapat dibilang masa SMA aku memiliki ketahanan tubuh jauh dari rata-rata. Meskipun aku kurang tidur, telat makan, dan banyak kesibukan aku tak pernah sakit, kecuali waktu itu ketika tubuhku merengek lemas tak mampu lagi menompang kebiasan burukku. Ngga ingat makan di tengah kesibukan. Sampe akhirnya aku terserang gejala tifus dan seminggu dirawat di RS. Pas SMA aku menyibukkan diri ikut banyak organisasi seperti PMR, PKS, Rohis, Broadcast, sama redaksi Karisma. Belum lagi tekanan di kelas unggulan yang buat aku minder dan harus belajar lebih kalo ngga mau jadi peringkat terakhir. Lagi-lagi semua perjuangan yang aku lakukan salah satunya karena aku ingin buat mereka bahagia dan semangat kerja buat membiayai sekolahku.

Kuliah. Aku merasa ini puncak gejolak diriku, saat aku merasa cukup dewasa untuk tidak diatur-atur lagi. Aku bisa menentukan arah hidupku sendiri. Salah satunya mengenai pilihan jurusan kuliahku. Orang tuaku ingin agar aku kuliah di PGSD. Padahal aku tak menginginkannya sama sekali. Jurusan itu tak ada dalam list cita-citaku. Cita-cita yang sudah aku tuliskan harus aku rearrange lagi. Aku sering menyalahkan mereka tentang jalan yang aku ambil. Aku sering menangis dan mengurung diri di kamar, menghindari berbicara dengan orang tuaku. Sampai akhirnya setelah kejadian itu, entah dari mana awalnya aku justru semakin dekat dengan ibuku. Aku menjadi lebih terbuka dengannya dan seringkali berdiskusi banyak hal dengannya. Konflik muncul lagi ketika umurku menginjak 20 an. Mereka mulai mengenalkanku dengan beberapa lelaki untuk menjadi pendamping hidupku. Tetapi untuk kali ini mereka lebih membiarkanku memilih pilihanku sendiri yang kini menjadi pendamping dunia akhiratku, InsyaAllah. “Hidupku adalah milikku, dan aku yang akan menjalani dengannya untuk mungkin separuh atau lebih hidupku” itulah salah satu alasan mengapa orang tuaku membiarkanku memilih pendamping hidupku. Aku menikah tepat setelah aku lulus S2. Tepatnya 10 hari setelah aku dinyatakan lulus sidang skripsi. Dari habis lulus SD aku udah hidup jauh dari ortu, nyambung sampai kuliah aku masih hidup jauh dari ortu. Kini sampai lulus kuliah pun aku hidup menjauh lagi untuk mendampingi suami. Waktu berlalu terlalu sangat cepat. Aku berharap aku selalu mendapati mereka dalam keadaan sehat. Terima kasih Bapak Ibu, maafkan aku yang selalu pergi dan belum bisa membalas kebaikan kalian.  


You May Also Like

0 comments