Tentang Melepas Seorang Anak
Bukan suatu hal yang mudah buat orang tua
melepaskan anaknya. Ketika akad nikah, orang tua sudah saatnya melepaskan
seorang anak untuk dibimbing orang lain. Aku tau itu bukan hal yang mudah.
Selama 23 tahun orang tuaku merawat, membimbing, dan membesarkanku. Mendengar
cerita-cerita nya, membesarkanku bukanlah hal yang mudah. Dari mulai aku yang
terlahir prematur 7 bulan, rumah sakit yang banjir selutut saat melahirkanku,
dan tentang badanku yang ringkih sering sakit-sakitan hingga aku kelas 1 SD.
Aku ingat saat aku masih TK. Ibu selalu menungguku di depan kelas, memastikan
aku baik-baik saja. Aku tak bisa seperti anak-anak lainnya. Selain karena
usiaku yang jauh lebih muda dibandingkan dengan teman-temanku, aku juga sering
tidak berangkat sekolah karena sakit. Aku jarang sekali mengikuti kegiatan
olahraga atau jalan sehat. Saat tamasya pun aku ngga ikut karena sakit.
Pokoknya dulu aku selalu iri dengan teman-temanku yang bisa belajar dan bermain
bebas.
Dapat dibilang aku anak yang sangat
semangat buat belajar. Dulu, aku anak yang ngga betahan di rumah. Di usiaku
yang masih 4 tahun aku selalu merengek minta sekolah TK karena teman-teman di
sekitar rumahku sudah masuk TK tahun itu. Saat ibuku meminta guruku untuk
membuatku tinggal di kelas TK lagi dan tidak mendaftarkanku di SD, guru TK ku
justru menyarankan untuk mendaftarkanku ke SD. Menurut beliau aku bisa
mengikuti pembelajaran seperti anak-anak lainnya tanpa kesulitan. Meskipun
secara akademis aku bisa mengikuti, tapi aku masih gampang banget di bohongi.
lol. Fyi dulu aku sering di kasih uang saku plus uang buat nabung sama ibu. Ada
temenku yang suka bilang uangnya buat barengan nabungnya di dia. Eh akunya mau
aja dan uangnya dipake jajan mereka. Ngga ada hubungannya sih.. wkwk.. toh
akhirnya orang tuaku memutuskan buat daftarin aku ke SD. Yeay..
Di SD emang sakitku ngga sesering waktu
TK. Sampe sekarang. aku ngga tau dulu itu sakit apa. Sejak usia tujuh bulan aku
sudah ngerasain sakitnya di Infus dengan tangan di ganjel biar ngga banyak gerak
(bayik mana tau kalo dia diinfus). Pas udah TK aku emang ngga sampe dirawat di
RS tapi yang aku inget aku ngerasain bolak balik ke RS dan gonta-ganti tempat
pengobatan. Di manapun orang tuaku coba buat kesembuhanku. Aku tau betapa besar
usaha orang tuaku untuk membuatku sembuh. Aku ingat di sepertiga malam setelah
sholat dan berdoa, orang tuaku mengelus ubun-ubun dan pusarku. Membacakan doa
dan meniupnya. Itu adalah ritual yang dilakukan mereka setiap malam. Berdoa
kepada penciptaku, agar aku diberi kesembuhan.
Memasuki masa SD dapat dibilang aku
sembuh. Meskipun pernah sesekali sakit pilek panas saat pancaroba dan kena
cacar pas kelas V SD. Pernah juga disaat ngaji tiba-tiba keluar darah dari
hidungku. Meskipun begitu aku tidak pernah merasa sakit. Aku akan pergi main
dan mandi di sungai, berangkat ngaji setiap hari, dan TPQ setiap Jumat sore.
Dulu aku semangat banget buat ngaji sama sekolah, karena disana aku ketemu
banyak teman-temanku. Orang tuaku merasa sangat bersyukur. Ia tak menyangka
anak yang dulunya sangat ringkih dan dapat dibilang memiliki harapan hidup yang
kecil, kini telah bertumbuh. Mereka sangat bangga kepadaku saat aku bisa
menduduki 10 besar kecamatan di hasil ujianku (dulu belum ada UN SD, semua
mapel diujikan termasuk agama). Beberapa mata pelajaran aku mendapatkan nilai
terbaik di kecamatan. Kepala dinas pendidikan datang saat perpisahanku,
memberikan apresiasi dan menceritakan sepenggal tentang perjalanan akademikku.
Aku merasa sangat senang karena kulihat orang tuaku sangat bahagia dengan
pencapaianku. Berkat bimbingan mereka untuk bangun berdoa dan belajar di
sepertiga malam, akhirnya aku bisa lolos SMP terbaik di kabupatenku. Aku selalu
senang saat aku bisa melakukan hal-hal yang membuat orang tuaku senang.
Sejak SMP aku sudah hidup jauh dari orang
tua. Aku tinggal di pesantren. Meskipun begitu, hampir setiap minggu orang
tuaku menjengukku. Padahal awal dipesantren santri tidak boleh dijenguk ataupun
pulang selama 40 hari, orang tuaku tetap saja diam-diam menemuiku di luar sepulang
sekolah atau bahkan nekat menemuiku di pesantren, karena waktu itu aku tidak
diizinkan untuk membawa alat komunikasi (read HP). Jadi bukan hal yang mudah
buat kita janjian ketemu di luar. Kegiatan di sekolah dan di pesantrenku dapat
dibilang dua-duanya sangat padat. Aku mengaji sehari 4 kali dan harus setoran
hafalan kitab. Belum lagi tugas sekolah yang mengharuskanku sering ke tempat
rental komputer yang terkadang sampai larut malam. Saat ujian sekolah aku
terkadang melanggar waktu yang dianggarkan pesantren untuk pulang ke rumah.
Aselinya kita dijatah pulang sebulan itu 4 hari. Aku sering melanggarnya dan
pulang setiap minggu. Alhasil kadang membersihkan kamar mandi menjadi takziranku saat di pesantren.
Saat SMP aku memang hampir tak pernah
sakit, tapi lagi-lagi Allah menguji kami. Saat ujian semester aku selalu pulang
dan berangkat dari rumah. Aku ngga di pesantren karena aku ingin waktu belajar
dan istirahat lebih banyak. Di pesantren biasanya aku baru selese ngaji antara
jam 10 sampe jam 11 an. Dari habis ashar ngaji sampe menjelang maghrib, sholat
jamaah terus nyambung habis maghrib, sholat, dan habis isya ngaji lagi.
Perjalanan dari rumah ke sekolah aku kurang lebih sejam naik angkutan dua kali.
Biasanya di angkutan aku masih sambil belajar.
Kelas VIII SMP aku mengalami kecelakaan
cukup parah saat angkutanku ditabrak jib dan masuk ke irigasi. Lima tulang
rusukku dan satu tulang dudukku patah. Lagi-lagi orang tuaku di uji dengan rasa
takut kehilangan aku. Sebulan setengah aku ngga berangkat sekolah dan menjalani
perawatan intensif. Aku hanya bisa berbaring selama sebulan, bahkan memiringkan
badanpun tak bisa. Badanku serasa kaku dan pegal. Makan, minum, buang air semua
aku lakukan dengan berbaring. Aku merasa hidup itu kayak roda, muter. Aku baru
saja bahagia saat aku bisa masuk SMP itu dan mendapatkan juara lomba mewakili
SMPku di kabupaten. Aku baru saja mengubah paradigma guru-guruku tentang
daerahku yang selalu mereka sebut-sebut sebagai gudang preman. Ditambah lagi
teman yang dari daerahku waktu itu dipanggil BK karena kasus pemalakan. Aku
baru saja maju ke depan podium saat upacara bersama dengan teman-temanku
lainnya menerima penghargaan. Aku ingat sekali pidato kepala sekolah saat itu
bahwa kita ngga boleh ngejudge orang dari asal daerahnya, karena ngga semua
orang seperti itu. Mungkin akan ada orang yang sibuk mengukir prestasi untuk
mengharumkan citra daerah asalnya. Aku senang. Tapi kini, aku hanya bisa
berbaring dan menangis setiap malam. Terlebih saat guruku mengungkapkan
kemungkinan aku tinggal di kelas. Aku jadi semakin semangat buat sembuh. Aku
ngga mau tinggal kelas.
Kajaiban. Itu yang bisa aku katakan. Saat
dokter yang menanganiku mengatakan bahwa waktu normal penyembuhan tulang itu
100 hari atau bahkan lebih, hanya sebulan aku merasa sudah sembuh, Aku bisa
berjalan tanpa bantuan tongkat dan sebulan setengah aku udah bisa ikut studi
tour ke Jakarta. Naik jetcoaster, ontang-anting, kora-kora dan beberapa wahana
lainnya. Waktu itu aku bandel, meskipun dilarang tapi tetep aja dilakuin. Pas
antri mau naik tornado (di jaman itu tornado jadi wahana paling menantang di
dufan), aku ketahuan guruku dan alhasil aku hanya cukup melihat dari bawah dan
mendengar cerita teman-temanku tentang keseruan naik tornado.
SMA. Dapat dibilang masa SMA aku memiliki
ketahanan tubuh jauh dari rata-rata. Meskipun aku kurang tidur, telat makan,
dan banyak kesibukan aku tak pernah sakit, kecuali waktu itu ketika tubuhku
merengek lemas tak mampu lagi menompang kebiasan burukku. Ngga ingat makan di
tengah kesibukan. Sampe akhirnya aku terserang gejala tifus dan seminggu
dirawat di RS. Pas SMA aku menyibukkan diri ikut banyak organisasi seperti PMR,
PKS, Rohis, Broadcast, sama redaksi Karisma. Belum lagi tekanan di kelas
unggulan yang buat aku minder dan harus belajar lebih kalo ngga mau jadi
peringkat terakhir. Lagi-lagi semua perjuangan yang aku lakukan salah satunya
karena aku ingin buat mereka bahagia dan semangat kerja buat membiayai
sekolahku.
Kuliah. Aku merasa ini puncak gejolak
diriku, saat aku merasa cukup dewasa untuk tidak diatur-atur lagi. Aku bisa menentukan
arah hidupku sendiri. Salah satunya mengenai pilihan jurusan kuliahku. Orang
tuaku ingin agar aku kuliah di PGSD. Padahal aku tak menginginkannya sama
sekali. Jurusan itu tak ada dalam list
cita-citaku. Cita-cita yang sudah aku tuliskan harus aku rearrange lagi. Aku sering menyalahkan mereka tentang jalan yang
aku ambil. Aku sering menangis dan mengurung diri di kamar, menghindari
berbicara dengan orang tuaku. Sampai akhirnya setelah kejadian itu, entah dari
mana awalnya aku justru semakin dekat dengan ibuku. Aku menjadi lebih terbuka
dengannya dan seringkali berdiskusi banyak hal dengannya. Konflik muncul lagi
ketika umurku menginjak 20 an. Mereka mulai mengenalkanku dengan beberapa lelaki
untuk menjadi pendamping hidupku. Tetapi untuk kali ini mereka lebih
membiarkanku memilih pilihanku sendiri yang kini menjadi pendamping dunia
akhiratku, InsyaAllah. “Hidupku adalah milikku, dan aku yang akan menjalani dengannya
untuk mungkin separuh atau lebih hidupku” itulah salah satu alasan mengapa
orang tuaku membiarkanku memilih pendamping hidupku. Aku menikah tepat setelah
aku lulus S2. Tepatnya 10 hari setelah aku dinyatakan lulus sidang skripsi.
Dari habis lulus SD aku udah hidup jauh dari ortu, nyambung sampai kuliah aku
masih hidup jauh dari ortu. Kini sampai lulus kuliah pun aku hidup menjauh lagi
untuk mendampingi suami. Waktu berlalu terlalu sangat cepat. Aku berharap aku
selalu mendapati mereka dalam keadaan sehat. Terima kasih Bapak Ibu, maafkan
aku yang selalu pergi dan belum bisa membalas kebaikan kalian.
0 comments