Kepakkan Sayap Malaikat Maut
Pagi kian meremang. Mentari
bersembunyi di balik awan hitam nan tebal. Jarum jam menunjukkan pukul 05.45.
Aku telah bersiap untuk berangkat sekolah.
“Aduh kesiangan nih.” Gumamku seraya
menggendong tasku yang menggembung besar. Maklumlah anak kos bawaannya banyak.
Kuturunkan kembali tas yang ku gendong untuk mengabsen barang bawaanku
“Beras,
seragam pramuka, buku pelajaran, jajan. Siip lah semua lengkap.”, kataku pelan.
Kugendong tasku kembali dan beranjak
menemui orang tuaku untuk berpamitan. Kulihat ayah tengah membaca koran di
teras depan.
“Yah, berangkat.”, kataku seraya mengulurkan
tangan kananku.
Ayah menyambut uluran tanganku namun
ia tidak seperti biasanya yang langsung mengambil dompet dari sakunya tanpa ku
minta. Ayah melirikku dengan tatapan meledek dan kembali asyik dengan korannya.
“Yah, gajinya mana?” aku membuka
mulut.
Ayah
tersenyum dan mengeluarkan beberapa uang kertas dari dompetnya.
“Di rumah cuma numpang tidur sama makan minta
digaji.”, ledeknya.
“Hahaha. Iya dong. Ah udah siang yah, Fira
berangkat ya. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam. Udah pamitan sama
ibu?” tanyanya.
Aku terus berjalan berpura-pura tidak
mendengar. Aku sengaja tidak berpamitan kepada ibuku karena aku masih jengkel
akibat perdebatan semalam.
Sesampainya di gardu tempatku menunggu
angkutan, aku mengeluarkan buku TIKku dan membacanya. Hari itu aku tengah
menghadapi Ulangan Akhir Semester 1. Tak lama kemudian angkutan datang dan aku
segera naik.
Kebiasaan anak sekolah yang suka
pilih-pilih angkutan yang cepat kini mulai menular kepadaku. Aku tak banyak tau
cara membedakan angkutan yang cepat yang mana. Oleh karena itu, kuputuskan
untuk mengikuti kedua siswi SMA yang berdiri di sampingku saja. Tak lama
kemudian, sebuah angkutan bertuliskan “IDOL” melintas. Kedua siswi SMA yang
berdiri di sampingku beranjak naik dan aku pun mengikutinya. Aku duduk di
bangku nomor dua dari pintu. Ku buka
kembali buku TIKku dan mulai membacanya. Di tengah perjalanan, angkutanpun
berhenti. Tak lama kemudian suara dentuman keras terdengar dan angkutan yang
kunaiki terguling ke irigasi di sebelah selatan jalan. Dentuman keras itu
membuatku kehilangan kesadaran. Aku tak tahu apa yang terjadi padaku di dalam
angkutan itu. Semua terasa tenang dan gelap.
Aku tersadar saat benda berat yang
menindihku terangkat dan seorang laki-laki menarik tubuhku yang lemah keluar
dari tempat yang mengerikan itu. Ia membaringkanku di tepi jalan pada rumput
yang basah akibat hujan tadi malam. Laki-laki itu kemudian pergi menghilang
tanpa memberiku kesempatan untuk mengucapkan terima kasih padanya. Mungkin ia
tengah bersaing dengan waktu untuk menyelamatkan sebanyak mungkin korban yang
dia bisa tolong.
Langit tampak diselimuti awan hitam
nan tebal. Aku merasa malaikat maut telah mengepakkan sayapnya menuju tempat
mengerikan ini, bahkan mungkin telah menjemput beberapa orang di sini. Aroma
kematian tercium kental dan ketakutan mulai terasa. Aku merasakan kesakitan
yang amat sangat pada seluruh tubuhku. Tulang rusukku terasa berat dan enggan
untuk bergerak. Oh Tuhan, apakah malaikat maut-Mu tengah mengepakkan sayapnya
ke arahku sekarang? Aku tak tahu. Aku belum siap untuk pulang sekarang. Air
mataku mengalir deras dan mulutku tak henti-hentinya beristighfar.
Cerita-cerita pak ustad tentang kehidupan setelah mati terpampang dan
video-video dosaku di-replay satu per
satu.
Teriakan orang-orang menyita
perhatianku. Orang-orang tersebut tengah bergotong-royong untuk mengeluarkan
pemilik jib yang menabrak angkutanku dari jibnya yang ringsek. Sungguh
pemandangan yang mengerikan. Darah bercecer di sana-sini, teriakan, tangisan,
dan istighfar berdendang menjadi satu dan terdengar memilukan. Tiba-tiba aku
teringat dengan dua siswi SMA yang naik angkutan ini. Bagaimana nasibnya
sekarang? Ku putar mataku ke seluruh
jalan berharap menemukan sosok mereka. Namun hanya salah satu dari mereka yang
kutemukan. Ia tengah berdiri di bawah pohon. Sepertinya ia tidak terluka parah.
Hanya keluar sedikit cairan merah di tangan kanannya. Tak lama kemudian sebuah
angkutan lewat dan seseorang menghentikan angkutan itu. Para siswa yang menaiki
angkutan itupun satu persatu turun. Sepertinya orang yang menghentikan angkutan
itu meminta mereka untuk mecari orang yang mereka kenal di antara para korban
kecelakaan. Seorang cowok melangkah
keluar dari angkot. Cowok itu
mengenakan seragam putih abu-abu. Wajahnya tak asing lagi bagiku. Ya, wajahnya
sangat familiar. Aku mengengenalnya. Ia menemui gadis di bawah pohon itu dan
mengajaknya untuk menaiki angkutan yang ia tumpangi.
Aku takut. Takut sekali. Aku takut
kematian menghampiriku. Oh, Tuhan. Tiba-tiba aku terbayang wajah ibuku. Kami
berdua bertengkar semalam. Aku belum meminta maaf padanya. Aku tak berpamitan
saat berangkat sekolah. Aku berharap ini hanya mimpi buruk dan ketika aku
terbangun, aku telah berada di kasurku. Bukan rumput yang basah dan kotor ini. Air
mataku terus mengalir dan aku merasakan sakit yang amat sangat.
Tiba-tiba aku mendengar jeritan yang
amat menyayat hati. Seorang ibu menggendong anaknya yang masih kecil meminta
pertolongan agar mereka segera dibawa ke rumah sakit. Ibu itu mengelus-elus
anaknya yang diam tak bergerak. Bahkan kembang kempis dadanya pun tak terlihat.
Sepertinya Izroil telah membawanya pulang. Ia terus berjalan meminta bantuan.
Tak peduli dengan luka kakinya yang parah. Seorang laki-laki mendekatinya.
Memintanya untuk tenang. Laki-laki itu kemudian berjalan untuk meminta bantuan
kepada pengendara mobil yang lewat agar membawa ibu itu dan anaknya ke rumah
sakit terdekat, namun mereka menolak.
“Permisi, nama mbak siapa?” Tanya
seorang laki-laki yang tiba-tiba berdiri di sampingku. Aku kaget sekaligus
ketakutan. “Siapa dia? Kenapa dia
tiba-tiba bertanya namaku? Apa dia malaikat Izrail yang siap menjemputku? Apa
dia malaikat Izrail?”, tanyaku dalam hati.
Kutarik nafasku dalam-dalam
menenangkan. “Fira Kusumawati” Jawabku pelan seraya menahan sakit pada bibirku
saat menggerakkannya. Kulihat raut wajahnya penuh dengan tanya. Sepertinya ia
belum mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Aku mengacungkan tanganku ke arah
tas biru yang tergeletak tak jauh dari tempatku terbaring. Laki-laki itu
akhirnya mengerti. Ia memungut tas itu dan memberikannya kepadaku. Kuambil
dompetku dari dalam tas dan memberikan kartu identitasku kepadanya. Ia kemudian
pergi dan aku masih di sini. Terbaring di rumput basah.
Tak
lama kemudian, sebuah VIAR datang. Seorang laki-laki mengangkatku ke atasnya.
Kulihat seorang bapak-bapak berbadan gemuk telah terbaring di sana. Lututnya
sobek memperlihatkan daging dan tulangnya. Sungguh mengerikan. Laki-laki yang
mengangkatku duduk di sampingku dan membimbingku untuk terus beristighfar. Di
perjalanan menuju rumah sakit, laki-laki yang terluka itu terlihat gelisah. Ia
tak berkata sepatah katapun. Ia hanya berbaring bangun dan berbaring bangun
lagi. Kulihat kegelisahan dan ketakutan di raut wajahnya.
Sesampainya di rumah sakit, laki-laki
disampingku kembali mengangkatku. Kulihat seorang perawat telah bersiap di
lobi. Perawat tersebut membantunya membawaku ke ranjang di lobi rumah sakit.
Tak lama kemudian, seorang perempuan mengenakan baju perawat datang dengan
baskom berisi air hangat di tangannya.
“Saya bersihkan dulu ya, Mbak.”, sapa
perawat itu. “Seseorang yang dibawa
bersama Mbak tadi meninggal.”, sambungnya.
“Innalillahi
wa Inna Illaihi Roji’un.”, kataku pelan.
“Oh iya mba, sementara di lobi dulu
ya, karena kamarnya penuh.”, kata perawat tersebut sembari membersihkan kotoran
dan darah di wajahku.
“Sini, sementara mayatnya ditidurkan
di sini dulu” perintah seorang laki-laki kepada beberapa orang yang membawa
tubuh laki-laki yang dibawa bersamaku.
“Orang yang baru meninggal tadi mau
ditempatin di sana, Mbak?”, tanyaku kepada perawat yang sedang membersihkan
badanku.
“Iya, Mbak. Gapapa ya?”tanyanya
“Nggak mau, Mbak. Lobi ini kan sepi.
Nanti kalo Mbak pergi, aku cuma berdua aja sama bapak yang meninggal tadi” aku
menangis.
“Ya udah, nanti saya usahakan biar
segera dapet kamar ya, Mbak”
Aku mengangguk. Beberapa menit
kemudian perawat yang berbeda datang memberiku suntikan alergi dan memasang
jarum infus ke lengan kiriku. Tak lama kemudian aku dipindahkan ke sebuah ruang
kamar di pojok gedung. Aku terus menangis. Bayang wajah ibu terus terpampang
beserta adegan perdebatan semalam. Aku takut ibu datang setelah Izrail menjemputku.
Aku takut tak sempat meminta maaf padanya. Aku takut masuk neraka akibat
durhaka seperti yang pak Ustad sering ceritakan. Ah! aku takut. Andai aku diberi kesempatan untuk hidup. Aku akan menjadi
lebih baik lagi. Aku menyesal ya Allah”kataku dalam hati.
“Apa yang ini keluarganya, Mas?”terdengar
suara laki-laki yang tak lain adalah seorang perawat dari balik pintu.
“Bukan, Mas” jawab laki-laki
berseragam putih abu-abu yang wajahnya tak asing lagi bagiku.
“Kakak, ini aku” aku memanggilnya. “Kakak
ngga kenal aku?” tanyaku sedih.
“Dek, itu kamu?” tanyanya seraya
mengamati wajahku yang sedikit berubah karena luka dan bengkak.
Aku mengangguk. Air mataku terus
mengalir. Kakak kemudian masuk dan menarik kursi, duduk di dekat ranjangku.
“Gimana kejadiannya, Dek. Kok bisa
begini?”
“Kakak ingin aku cerita dengan bibir
bengkakku ini?” tanyaku manyun.
Raut wajah Kakak yang awalnya iba
berubah menahan tawa. Aku menangis makin deras. Rasanya ingin mencubit kakakku
itu. Bisa-bisanya ia tertawa melihat adiknya seperti ini. Huh!
“Tau nomor telepon sekolahmu?” tanyanya.
Aku mengangguk dan menyebutkannya. “Sebentar lagi bapak ibu pasti datang. Aku keluar
telepon pihak sekolah dulu ya!”
Kakak melangkah keluar, tak lama
kemudian ia datang bersama pakdhe dan ayah. Tersirat kekhawatir di raut
wajahnya. Namun ia berusaha menyembunyikannya.
“Apa yang sakit, Fir?” tanya ayah
tegar. Aku hanya menggeleng.”Ibu kok belum dating, Yah”tanyaku.
“Ibumu kan mengajarnya jauh. Mungkin sebentar
lagi sampai”
Benar kata ayah, tak lama kemudian seorang
perempuan dengan seragam PSH memelukku erat. Sekujur tubuhnya gemetar. Air mata
membanjiri wajahnya.
“Ya Allah, mengapa bisa begini?” tanya
ibuku sambal tersedu-sedu. Akupun menangis dalam pelukan ibu.
Ibuku terus memelukku erat. “Mana yang
sakit sayang? Apa yang sakit?”tanyanya. “Tak ada, Ibu” Aku menggeleng.”Tak
Ada.”kataku menenangkan. Air mata terus mengalir dari kelopak mataku. Tiba-tiba
nenekku datang bersama sepupuku yang masih SD dengan perban di kepala. Ia
memelukku erat seperti ibu. Ia menangis sejadi-jadinya.
“Anwar kenapa, Mbah?”tanyaku setelah
melihat perban di kepala Anwar.
Embahpun bercerita bahwa ketika
bersiap-siap kerumah sakit untuk menjengukku, sepupuku yang masih duduk di
kelas 2 SD pulang dengan memegangi kepalanya yang mengucurkan darah. Ia dilempar
batu oleh temannya dan mengenai kepala.
“Gimana kepalamu, An? Sakit?” tanyaku padanya.
Ia hanya mengangguk.
Sorenya, Kakak pulang untuk
mengambil pakaian ganti dan ayah tengah berbicara dengan pemilik angkutan. Ibu,
nenek, dan tante selalu berada di sampingku.
“Sewaktu bayi, kau pernah dirawat di
kamar ini, Fir.” Ibu membuka pembicaraan.
Aku menatapnya. Ia terlihat sangat
sedih. “Sejak bayi, kau sering sakit” lanjutnya “Sejak berumur tiga bulan kau
sudah diinfus. Fira dulu prematur. Itu salah ibu yang tak bisa menjagamu dengan
baik.” Ibu terus menangis mengingat sebuah kejadian.
November 1994
Tepat
pukul sembilan malam. Seorang lelaki paruh baya mengayuh sepedanya kuat-kuat.
Jantungnya berdebaran. Keringat bercucuran membasahi kaos tipisnya. Udara
dingin malam menelusup masuk hingga menusuk tulangnya. Bukan lelah, tetapi
gelisah yang dirasa. Air mata tiba-tiba menetes tanpa perintahnya. Dua nyawa.
Ya, dua nyawa yang kini harus dia pertaruhkan. Seorang wanita dengan perut
membesar berbungkus selendang diboncengnya. Selendang lainnya mengikat badannya
dengan sang pria. Sekujur tubuh wanita itu semakin dingin dan pucat. Keringat
bercucuran menahan sakit diperutnya yang baru berumur 7 bulan. Dengan berbekal
lentera, sepasang suami istri itu memperjuangkan nyawa. Mulut mereka
berkomat-kamit tak henti mengucap doa agar Tuhan tak mengambil anaknya yang
ketiga seperti nasib anak keduanya.
Lima
belas menit berlalu, di plataran rumah sakit, lelaki itu melepas selendang yang
menahan istrinya dan membimbingnya berjalan memasuki rumah sakit. Seorang
perawat membantu mereka menuju ruang periksa. Tak lama kemudian diikuti seorang
bidan.
“Maaf
bu, kita harus melakukan persalinan malam ini juga.Air ketubannya sudah pecah.”
Katanya setelah selesai memeriksa kandungan sang ibu.
“Tapi
bu bidan, usia kandungan saya baru 7 bulan.”
“Tidak
apa-apa ibu, mari kita berusaha semaksimal mungkin dan berdoa”
Perempuan
itu hanya mengangguk dengan mulut yang tak hentinya mengucap doa.
Pukul
sebelas lebih lima menit, tangisan seorang bayi memecah rumah sakit. Haru biru
memenuhi setiap sudut kamar sempit itu. Setelah bidan hampir berputus asa dan
memutuskan untuk mengadakan operasi sesar, sang jabang bayi akhirnya lahir
membawa tangisan bahagia pasangan suami istri itu.
“Di
ruang ini. Ya, di ruang sempit sudut selatan rumah sakit ini kau dulu
dilahirkan. Dua puluh tahun yang lalu. Ibu ingat sekali. Ibu selalu berdoa agar kau tak bernasib sama
dengan almarhum kakakmu. Dia meninggal tanpa sempat menghirup udara kehidupan.
Ibu ingin melihatmu menjadi orang sukses dan bersuami dengan pria yang sholeh.
Menimang anak-anakmu dan..” Ceritanya terhenti. Air mata mengucur deras dari
kedua matanya. Tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi denganku.
Aku menggenggam tangan
ibuku erat. “Aku akan baik-baik saja, Bu. Percayalah.” Ibu memelukku erat. Air
mata kami berjatuhan. Dadaku terasa sesak. Bukan karena pelukan ibu, tetapi
karena terisak dengan penyesalanku. Peristiwa
ini. Peristiwa dimana malaikat Izrail mengepakkan sayapnya ke satu
persatu orang disekitarku hari ini. Bahkan mungkin dalam waktu yang bersamaan.
Saat orang orang terdekat mereka menangis histeris, aku terus terisak. Aku
takut. Takut yang amat sangat. Aku takut akan tiba giliranku. Aku takut jika
Izrail tiba-tiba mengepakkan sayapnya ke arahku. Membawaku pergi beserta penyesalanku. Slide-slide kejadian
masa lalu ditampilkan layaknya layar bioskop yang memutar memori masa lalu satu
persatu.
0 comments