Kepakkan Sayap Malaikat Maut

by - November 28, 2012


       Pagi kian meremang. Mentari bersembunyi di balik awan hitam nan tebal. Jarum jam menunjukkan pukul 05.45. Aku telah bersiap untuk berangkat sekolah.
          “Aduh kesiangan nih.” Gumamku seraya menggendong tasku yang menggembung besar. Maklumlah anak kos bawaannya banyak. Kuturunkan kembali tas yang ku gendong untuk mengabsen barang bawaanku
          “Beras, seragam pramuka, buku pelajaran, jajan. Siip lah semua lengkap.”, kataku pelan.
          Kugendong tasku kembali dan beranjak menemui orang tuaku untuk berpamitan. Kulihat ayah tengah membaca koran di teras depan.
          “Yah, berangkat.”, kataku seraya mengulurkan tangan kananku.
          Ayah menyambut uluran tanganku namun ia tidak seperti biasanya yang langsung mengambil dompet dari sakunya tanpa ku minta. Ayah melirikku dengan tatapan meledek dan kembali asyik dengan korannya.
          “Yah, gajinya mana?” aku membuka mulut.
          Ayah tersenyum dan mengeluarkan beberapa uang kertas dari dompetnya.
           “Di rumah cuma numpang tidur sama makan minta digaji.”, ledeknya.
          “Hahaha. Iya dong. Ah udah siang yah, Fira berangkat ya. Assalamu’alaikum.”
          “Wa’alaikumsalam. Udah pamitan sama ibu?” tanyanya.
          Aku terus berjalan berpura-pura tidak mendengar. Aku sengaja tidak berpamitan kepada ibuku karena aku masih jengkel akibat perdebatan semalam.
          Sesampainya di gardu tempatku menunggu angkutan, aku mengeluarkan buku TIKku dan membacanya. Hari itu aku tengah menghadapi Ulangan Akhir Semester 1. Tak lama kemudian angkutan datang dan aku segera naik.
          Kebiasaan anak sekolah yang suka pilih-pilih angkutan yang cepat kini mulai menular kepadaku. Aku tak banyak tau cara membedakan angkutan yang cepat yang mana. Oleh karena itu, kuputuskan untuk mengikuti kedua siswi SMA yang berdiri di sampingku saja. Tak lama kemudian, sebuah angkutan bertuliskan “IDOL” melintas. Kedua siswi SMA yang berdiri di sampingku beranjak naik dan aku pun mengikutinya. Aku duduk di bangku nomor dua dari pintu.  Ku buka kembali buku TIKku dan mulai membacanya. Di tengah perjalanan, angkutanpun berhenti. Tak lama kemudian suara dentuman keras terdengar dan angkutan yang kunaiki terguling ke irigasi di sebelah selatan jalan. Dentuman keras itu membuatku kehilangan kesadaran. Aku tak tahu apa yang terjadi padaku di dalam angkutan itu. Semua terasa tenang dan gelap.
          Aku tersadar saat benda berat yang menindihku terangkat dan seorang laki-laki menarik tubuhku yang lemah keluar dari tempat yang mengerikan itu. Ia membaringkanku di tepi jalan pada rumput yang basah akibat hujan tadi malam. Laki-laki itu kemudian pergi menghilang tanpa memberiku kesempatan untuk mengucapkan terima kasih padanya. Mungkin ia tengah bersaing dengan waktu untuk menyelamatkan sebanyak mungkin korban yang dia bisa tolong.
          Langit tampak diselimuti awan hitam nan tebal. Aku merasa malaikat maut telah mengepakkan sayapnya menuju tempat mengerikan ini, bahkan mungkin telah menjemput beberapa orang di sini. Aroma kematian tercium kental dan ketakutan mulai terasa. Aku merasakan kesakitan yang amat sangat pada seluruh tubuhku. Tulang rusukku terasa berat dan enggan untuk bergerak. Oh Tuhan, apakah malaikat maut-Mu tengah mengepakkan sayapnya ke arahku sekarang? Aku tak tahu. Aku belum siap untuk pulang sekarang. Air mataku mengalir deras dan mulutku tak henti-hentinya beristighfar. Cerita-cerita pak ustad tentang kehidupan setelah mati terpampang dan video-video dosaku di-replay satu per satu.
          Teriakan orang-orang menyita perhatianku. Orang-orang tersebut tengah bergotong-royong untuk mengeluarkan pemilik jib yang menabrak angkutanku dari jibnya yang ringsek. Sungguh pemandangan yang mengerikan. Darah bercecer di sana-sini, teriakan, tangisan, dan istighfar berdendang menjadi satu dan terdengar memilukan. Tiba-tiba aku teringat dengan dua siswi SMA yang naik angkutan ini. Bagaimana nasibnya sekarang?  Ku putar mataku ke seluruh jalan berharap menemukan sosok mereka. Namun hanya salah satu dari mereka yang kutemukan. Ia tengah berdiri di bawah pohon. Sepertinya ia tidak terluka parah. Hanya keluar sedikit cairan merah di tangan kanannya. Tak lama kemudian sebuah angkutan lewat dan seseorang menghentikan angkutan itu. Para siswa yang menaiki angkutan itupun satu persatu turun. Sepertinya orang yang menghentikan angkutan itu meminta mereka untuk mecari orang yang mereka kenal di antara para korban kecelakaan. Seorang cowok melangkah keluar dari angkot. Cowok itu mengenakan seragam putih abu-abu. Wajahnya tak asing lagi bagiku. Ya, wajahnya sangat familiar. Aku mengengenalnya. Ia menemui gadis di bawah pohon itu dan mengajaknya untuk menaiki angkutan yang ia tumpangi.
          Aku takut. Takut sekali. Aku takut kematian menghampiriku. Oh, Tuhan. Tiba-tiba aku terbayang wajah ibuku. Kami berdua bertengkar semalam. Aku belum meminta maaf padanya. Aku tak berpamitan saat berangkat sekolah. Aku berharap ini hanya mimpi buruk dan ketika aku terbangun, aku telah berada di kasurku. Bukan rumput yang basah dan kotor ini. Air mataku terus mengalir dan aku merasakan sakit yang amat sangat.
          Tiba-tiba aku mendengar jeritan yang amat menyayat hati. Seorang ibu menggendong anaknya yang masih kecil meminta pertolongan agar mereka segera dibawa ke rumah sakit. Ibu itu mengelus-elus anaknya yang diam tak bergerak. Bahkan kembang kempis dadanya pun tak terlihat. Sepertinya Izroil telah membawanya pulang. Ia terus berjalan meminta bantuan. Tak peduli dengan luka kakinya yang parah. Seorang laki-laki mendekatinya. Memintanya untuk tenang. Laki-laki itu kemudian berjalan untuk meminta bantuan kepada pengendara mobil yang lewat agar membawa ibu itu dan anaknya ke rumah sakit terdekat, namun mereka menolak.
          “Permisi, nama mbak siapa?” Tanya seorang laki-laki yang tiba-tiba berdiri di sampingku. Aku kaget sekaligus ketakutan. “Siapa dia? Kenapa dia tiba-tiba bertanya namaku? Apa dia malaikat Izrail yang siap menjemputku? Apa dia malaikat Izrail?”, tanyaku dalam hati.
          Kutarik nafasku dalam-dalam menenangkan. “Fira Kusumawati” Jawabku pelan seraya menahan sakit pada bibirku saat menggerakkannya. Kulihat raut wajahnya penuh dengan tanya. Sepertinya ia belum mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Aku mengacungkan tanganku ke arah tas biru yang tergeletak tak jauh dari tempatku terbaring. Laki-laki itu akhirnya mengerti. Ia memungut tas itu dan memberikannya kepadaku. Kuambil dompetku dari dalam tas dan memberikan kartu identitasku kepadanya. Ia kemudian pergi dan aku masih di sini. Terbaring di rumput basah.
          Tak lama kemudian, sebuah VIAR datang. Seorang laki-laki mengangkatku ke atasnya. Kulihat seorang bapak-bapak berbadan gemuk telah terbaring di sana. Lututnya sobek memperlihatkan daging dan tulangnya. Sungguh mengerikan. Laki-laki yang mengangkatku duduk di sampingku dan membimbingku untuk terus beristighfar. Di perjalanan menuju rumah sakit, laki-laki yang terluka itu terlihat gelisah. Ia tak berkata sepatah katapun. Ia hanya berbaring bangun dan berbaring bangun lagi. Kulihat kegelisahan dan ketakutan di raut wajahnya.
          Sesampainya di rumah sakit, laki-laki disampingku kembali mengangkatku. Kulihat seorang perawat telah bersiap di lobi. Perawat tersebut membantunya membawaku ke ranjang di lobi rumah sakit. Tak lama kemudian, seorang perempuan mengenakan baju perawat datang dengan baskom berisi air hangat di tangannya.
          “Saya bersihkan dulu ya, Mbak.”, sapa perawat itu.  “Seseorang yang dibawa bersama Mbak tadi meninggal.”, sambungnya.
          “Innalillahi wa Inna Illaihi Roji’un.”, kataku pelan.
          “Oh iya mba, sementara di lobi dulu ya, karena kamarnya penuh.”, kata perawat tersebut sembari membersihkan kotoran dan darah di wajahku.
          “Sini, sementara mayatnya ditidurkan di sini dulu” perintah seorang laki-laki kepada beberapa orang yang membawa tubuh laki-laki yang dibawa bersamaku.
          “Orang yang baru meninggal tadi mau ditempatin di sana, Mbak?”, tanyaku kepada perawat yang sedang membersihkan badanku.
          “Iya, Mbak. Gapapa ya?”tanyanya
          “Nggak mau, Mbak. Lobi ini kan sepi. Nanti kalo Mbak pergi, aku cuma berdua aja sama bapak yang meninggal tadi” aku menangis.
          “Ya udah, nanti saya usahakan biar segera dapet kamar ya, Mbak”
          Aku mengangguk. Beberapa menit kemudian perawat yang berbeda datang memberiku suntikan alergi dan memasang jarum infus ke lengan kiriku. Tak lama kemudian aku dipindahkan ke sebuah ruang kamar di pojok gedung. Aku terus menangis. Bayang wajah ibu terus terpampang beserta adegan perdebatan semalam. Aku takut ibu datang setelah Izrail menjemputku. Aku takut tak sempat meminta maaf padanya. Aku takut masuk neraka akibat durhaka seperti yang pak Ustad sering ceritakan. Ah! aku takut. Andai aku diberi kesempatan untuk hidup. Aku akan menjadi lebih baik lagi. Aku menyesal ya Allah”kataku dalam hati.
          “Apa yang ini keluarganya, Mas?”terdengar suara laki-laki yang tak lain adalah seorang perawat dari balik pintu.
          “Bukan, Mas” jawab laki-laki berseragam putih abu-abu yang wajahnya tak asing lagi bagiku.
          “Kakak, ini aku” aku memanggilnya. “Kakak ngga kenal aku?” tanyaku sedih.
          “Dek, itu kamu?” tanyanya seraya mengamati wajahku yang sedikit berubah karena luka dan bengkak.
          Aku mengangguk. Air mataku terus mengalir. Kakak kemudian masuk dan menarik kursi, duduk di dekat ranjangku.
          “Gimana kejadiannya, Dek. Kok bisa begini?”
          “Kakak ingin aku cerita dengan bibir bengkakku ini?” tanyaku manyun.
          Raut wajah Kakak yang awalnya iba berubah menahan tawa. Aku menangis makin deras. Rasanya ingin mencubit kakakku itu. Bisa-bisanya ia tertawa melihat adiknya seperti ini. Huh!
          “Tau nomor telepon sekolahmu?” tanyanya. Aku mengangguk dan menyebutkannya. “Sebentar lagi bapak ibu pasti datang. Aku keluar telepon pihak sekolah dulu ya!”
          Kakak melangkah keluar, tak lama kemudian ia datang bersama pakdhe dan ayah. Tersirat kekhawatir di raut wajahnya. Namun ia berusaha menyembunyikannya.
          “Apa yang sakit, Fir?” tanya ayah tegar. Aku hanya menggeleng.”Ibu kok belum dating, Yah”tanyaku.
          “Ibumu kan mengajarnya jauh. Mungkin sebentar lagi sampai”
          Benar kata ayah, tak lama kemudian seorang perempuan dengan seragam PSH memelukku erat. Sekujur tubuhnya gemetar. Air mata membanjiri wajahnya.
          “Ya Allah, mengapa bisa begini?” tanya ibuku sambal tersedu-sedu. Akupun menangis dalam pelukan ibu.
          Ibuku terus memelukku erat. “Mana yang sakit sayang? Apa yang sakit?”tanyanya. “Tak ada, Ibu” Aku menggeleng.”Tak Ada.”kataku menenangkan. Air mata terus mengalir dari kelopak mataku. Tiba-tiba nenekku datang bersama sepupuku yang masih SD dengan perban di kepala. Ia memelukku erat seperti ibu. Ia menangis sejadi-jadinya.
          “Anwar kenapa, Mbah?”tanyaku setelah melihat perban di kepala Anwar.
          Embahpun bercerita bahwa ketika bersiap-siap kerumah sakit untuk menjengukku, sepupuku yang masih duduk di kelas 2 SD pulang dengan memegangi kepalanya yang mengucurkan darah. Ia dilempar batu oleh temannya dan mengenai kepala.
           “Gimana kepalamu, An? Sakit?” tanyaku padanya. Ia hanya mengangguk.
                 Sorenya, Kakak pulang untuk mengambil pakaian ganti dan ayah tengah berbicara dengan pemilik angkutan. Ibu, nenek, dan tante selalu berada di sampingku.
          “Sewaktu bayi, kau pernah dirawat di kamar ini, Fir.” Ibu membuka pembicaraan.
          Aku menatapnya. Ia terlihat sangat sedih. “Sejak bayi, kau sering sakit” lanjutnya “Sejak berumur tiga bulan kau sudah diinfus. Fira dulu prematur. Itu salah ibu yang tak bisa menjagamu dengan baik.” Ibu terus menangis mengingat sebuah kejadian.

November 1994
Tepat pukul sembilan malam. Seorang lelaki paruh baya mengayuh sepedanya kuat-kuat. Jantungnya berdebaran. Keringat bercucuran membasahi kaos tipisnya. Udara dingin malam menelusup masuk hingga menusuk tulangnya. Bukan lelah, tetapi gelisah yang dirasa. Air mata tiba-tiba menetes tanpa perintahnya. Dua nyawa. Ya, dua nyawa yang kini harus dia pertaruhkan. Seorang wanita dengan perut membesar berbungkus selendang diboncengnya. Selendang lainnya mengikat badannya dengan sang pria. Sekujur tubuh wanita itu semakin dingin dan pucat. Keringat bercucuran menahan sakit diperutnya yang baru berumur 7 bulan. Dengan berbekal lentera, sepasang suami istri itu memperjuangkan nyawa. Mulut mereka berkomat-kamit tak henti mengucap doa agar Tuhan tak mengambil anaknya yang ketiga seperti nasib anak keduanya.
Lima belas menit berlalu, di plataran rumah sakit, lelaki itu melepas selendang yang menahan istrinya dan membimbingnya berjalan memasuki rumah sakit. Seorang perawat membantu mereka menuju ruang periksa. Tak lama kemudian diikuti seorang bidan.
“Maaf bu, kita harus melakukan persalinan malam ini juga.Air ketubannya sudah pecah.” Katanya setelah selesai memeriksa kandungan sang ibu.
“Tapi bu bidan, usia kandungan saya baru 7 bulan.”
“Tidak apa-apa ibu, mari kita berusaha semaksimal mungkin dan berdoa”
Perempuan itu hanya mengangguk dengan mulut yang tak hentinya mengucap doa.
Pukul sebelas lebih lima menit, tangisan seorang bayi memecah rumah sakit. Haru biru memenuhi setiap sudut kamar sempit itu. Setelah bidan hampir berputus asa dan memutuskan untuk mengadakan operasi sesar, sang jabang bayi akhirnya lahir membawa tangisan bahagia pasangan suami istri itu.
“Di ruang ini. Ya, di ruang sempit sudut selatan rumah sakit ini kau dulu dilahirkan. Dua puluh tahun yang lalu. Ibu ingat sekali.  Ibu selalu berdoa agar kau tak bernasib sama dengan almarhum kakakmu. Dia meninggal tanpa sempat menghirup udara kehidupan. Ibu ingin melihatmu menjadi orang sukses dan bersuami dengan pria yang sholeh. Menimang anak-anakmu dan..” Ceritanya terhenti. Air mata mengucur deras dari kedua matanya. Tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi denganku.
Aku menggenggam tangan ibuku erat. “Aku akan baik-baik saja, Bu. Percayalah.” Ibu memelukku erat. Air mata kami berjatuhan. Dadaku terasa sesak. Bukan karena pelukan ibu, tetapi karena terisak dengan penyesalanku. Peristiwa  ini. Peristiwa dimana malaikat Izrail mengepakkan sayapnya ke satu persatu orang disekitarku hari ini. Bahkan mungkin dalam waktu yang bersamaan. Saat orang orang terdekat mereka menangis histeris, aku terus terisak. Aku takut. Takut yang amat sangat. Aku takut akan tiba giliranku. Aku takut jika Izrail tiba-tiba mengepakkan sayapnya ke arahku. Membawaku pergi  beserta penyesalanku. Slide-slide kejadian masa lalu ditampilkan layaknya layar bioskop yang memutar memori masa lalu satu persatu. 


KET: Ini cerpen jaman SMA pas ada tugas nulis cerpen. Terinspirasi dari kisah nyata pas kecelakaan SMP dulu.

You May Also Like

0 comments