Aku nggak tau kenapa
aku masih di sini. Aku ngerasa kayak alien yang tersesat di planet lain.
Aku kangen atmosfer masa-masa SMA. Could
I turn back the time?
Pagi kian meremang. Mentari
bersembunyi di balik awan hitam nan tebal. Jarum jam menunjukkan pukul 05.45.
Aku telah bersiap untuk berangkat sekolah.
“Aduh kesiangan nih.” Gumamku seraya
menggendong tasku yang menggembung besar. Maklumlah anak kos bawaannya banyak.
Kuturunkan kembali tas yang ku gendong untuk mengabsen barang bawaanku
“Beras,
seragam pramuka, buku pelajaran, jajan. Siip lah semua lengkap.”, kataku pelan.
Kugendong tasku kembali dan beranjak
menemui orang tuaku untuk berpamitan. Kulihat ayah tengah membaca koran di
teras depan.
“Yah, berangkat.”, kataku seraya mengulurkan
tangan kananku.
Ayah menyambut uluran tanganku namun
ia tidak seperti biasanya yang langsung mengambil dompet dari sakunya tanpa ku
minta. Ayah melirikku dengan tatapan meledek dan kembali asyik dengan korannya.
“Yah, gajinya mana?” aku membuka
mulut.
Ayah
tersenyum dan mengeluarkan beberapa uang kertas dari dompetnya.
“Di rumah cuma numpang tidur sama makan minta
digaji.”, ledeknya.
“Hahaha. Iya dong. Ah udah siang yah, Fira
berangkat ya. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam. Udah pamitan sama
ibu?” tanyanya.
Aku terus berjalan berpura-pura tidak
mendengar. Aku sengaja tidak berpamitan kepada ibuku karena aku masih jengkel
akibat perdebatan semalam.
Sesampainya di gardu tempatku menunggu
angkutan, aku mengeluarkan buku TIKku dan membacanya. Hari itu aku tengah
menghadapi Ulangan Akhir Semester 1. Tak lama kemudian angkutan datang dan aku
segera naik.
Kebiasaan anak sekolah yang suka
pilih-pilih angkutan yang cepat kini mulai menular kepadaku. Aku tak banyak tau
cara membedakan angkutan yang cepat yang mana. Oleh karena itu, kuputuskan
untuk mengikuti kedua siswi SMA yang berdiri di sampingku saja. Tak lama
kemudian, sebuah angkutan bertuliskan “IDOL” melintas. Kedua siswi SMA yang
berdiri di sampingku beranjak naik dan aku pun mengikutinya. Aku duduk di
bangku nomor dua dari pintu. Ku buka
kembali buku TIKku dan mulai membacanya. Di tengah perjalanan, angkutanpun
berhenti. Tak lama kemudian suara dentuman keras terdengar dan angkutan yang
kunaiki terguling ke irigasi di sebelah selatan jalan. Dentuman keras itu
membuatku kehilangan kesadaran. Aku tak tahu apa yang terjadi padaku di dalam
angkutan itu. Semua terasa tenang dan gelap.
Aku tersadar saat benda berat yang
menindihku terangkat dan seorang laki-laki menarik tubuhku yang lemah keluar
dari tempat yang mengerikan itu. Ia membaringkanku di tepi jalan pada rumput
yang basah akibat hujan tadi malam. Laki-laki itu kemudian pergi menghilang
tanpa memberiku kesempatan untuk mengucapkan terima kasih padanya. Mungkin ia
tengah bersaing dengan waktu untuk menyelamatkan sebanyak mungkin korban yang
dia bisa tolong.
Langit tampak diselimuti awan hitam
nan tebal. Aku merasa malaikat maut telah mengepakkan sayapnya menuju tempat
mengerikan ini, bahkan mungkin telah menjemput beberapa orang di sini. Aroma
kematian tercium kental dan ketakutan mulai terasa. Aku merasakan kesakitan
yang amat sangat pada seluruh tubuhku. Tulang rusukku terasa berat dan enggan
untuk bergerak. Oh Tuhan, apakah malaikat maut-Mu tengah mengepakkan sayapnya
ke arahku sekarang? Aku tak tahu. Aku belum siap untuk pulang sekarang. Air
mataku mengalir deras dan mulutku tak henti-hentinya beristighfar.
Cerita-cerita pak ustad tentang kehidupan setelah mati terpampang dan
video-video dosaku di-replay satu per
satu.
Teriakan orang-orang menyita
perhatianku. Orang-orang tersebut tengah bergotong-royong untuk mengeluarkan
pemilik jib yang menabrak angkutanku dari jibnya yang ringsek. Sungguh
pemandangan yang mengerikan. Darah bercecer di sana-sini, teriakan, tangisan,
dan istighfar berdendang menjadi satu dan terdengar memilukan. Tiba-tiba aku
teringat dengan dua siswi SMA yang naik angkutan ini. Bagaimana nasibnya
sekarang? Ku putar mataku ke seluruh
jalan berharap menemukan sosok mereka. Namun hanya salah satu dari mereka yang
kutemukan. Ia tengah berdiri di bawah pohon. Sepertinya ia tidak terluka parah.
Hanya keluar sedikit cairan merah di tangan kanannya. Tak lama kemudian sebuah
angkutan lewat dan seseorang menghentikan angkutan itu. Para siswa yang menaiki
angkutan itupun satu persatu turun. Sepertinya orang yang menghentikan angkutan
itu meminta mereka untuk mecari orang yang mereka kenal di antara para korban
kecelakaan. Seorang cowok melangkah
keluar dari angkot. Cowok itu
mengenakan seragam putih abu-abu. Wajahnya tak asing lagi bagiku. Ya, wajahnya
sangat familiar. Aku mengengenalnya. Ia menemui gadis di bawah pohon itu dan
mengajaknya untuk menaiki angkutan yang ia tumpangi.
Aku takut. Takut sekali. Aku takut
kematian menghampiriku. Oh, Tuhan. Tiba-tiba aku terbayang wajah ibuku. Kami
berdua bertengkar semalam. Aku belum meminta maaf padanya. Aku tak berpamitan
saat berangkat sekolah. Aku berharap ini hanya mimpi buruk dan ketika aku
terbangun, aku telah berada di kasurku. Bukan rumput yang basah dan kotor ini. Air
mataku terus mengalir dan aku merasakan sakit yang amat sangat.
Tiba-tiba aku mendengar jeritan yang
amat menyayat hati. Seorang ibu menggendong anaknya yang masih kecil meminta
pertolongan agar mereka segera dibawa ke rumah sakit. Ibu itu mengelus-elus
anaknya yang diam tak bergerak. Bahkan kembang kempis dadanya pun tak terlihat.
Sepertinya Izroil telah membawanya pulang. Ia terus berjalan meminta bantuan.
Tak peduli dengan luka kakinya yang parah. Seorang laki-laki mendekatinya.
Memintanya untuk tenang. Laki-laki itu kemudian berjalan untuk meminta bantuan
kepada pengendara mobil yang lewat agar membawa ibu itu dan anaknya ke rumah
sakit terdekat, namun mereka menolak.
“Permisi, nama mbak siapa?” Tanya
seorang laki-laki yang tiba-tiba berdiri di sampingku. Aku kaget sekaligus
ketakutan. “Siapa dia? Kenapa dia
tiba-tiba bertanya namaku? Apa dia malaikat Izrail yang siap menjemputku? Apa
dia malaikat Izrail?”, tanyaku dalam hati.
Kutarik nafasku dalam-dalam
menenangkan. “Fira Kusumawati” Jawabku pelan seraya menahan sakit pada bibirku
saat menggerakkannya. Kulihat raut wajahnya penuh dengan tanya. Sepertinya ia
belum mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Aku mengacungkan tanganku ke arah
tas biru yang tergeletak tak jauh dari tempatku terbaring. Laki-laki itu
akhirnya mengerti. Ia memungut tas itu dan memberikannya kepadaku. Kuambil
dompetku dari dalam tas dan memberikan kartu identitasku kepadanya. Ia kemudian
pergi dan aku masih di sini. Terbaring di rumput basah.
Tak
lama kemudian, sebuah VIAR datang. Seorang laki-laki mengangkatku ke atasnya.
Kulihat seorang bapak-bapak berbadan gemuk telah terbaring di sana. Lututnya
sobek memperlihatkan daging dan tulangnya. Sungguh mengerikan. Laki-laki yang
mengangkatku duduk di sampingku dan membimbingku untuk terus beristighfar. Di
perjalanan menuju rumah sakit, laki-laki yang terluka itu terlihat gelisah. Ia
tak berkata sepatah katapun. Ia hanya berbaring bangun dan berbaring bangun
lagi. Kulihat kegelisahan dan ketakutan di raut wajahnya.
Sesampainya di rumah sakit, laki-laki
disampingku kembali mengangkatku. Kulihat seorang perawat telah bersiap di
lobi. Perawat tersebut membantunya membawaku ke ranjang di lobi rumah sakit.
Tak lama kemudian, seorang perempuan mengenakan baju perawat datang dengan
baskom berisi air hangat di tangannya.
“Saya bersihkan dulu ya, Mbak.”, sapa
perawat itu. “Seseorang yang dibawa
bersama Mbak tadi meninggal.”, sambungnya.
“Innalillahi
wa Inna Illaihi Roji’un.”, kataku pelan.
“Oh iya mba, sementara di lobi dulu
ya, karena kamarnya penuh.”, kata perawat tersebut sembari membersihkan kotoran
dan darah di wajahku.
“Sini, sementara mayatnya ditidurkan
di sini dulu” perintah seorang laki-laki kepada beberapa orang yang membawa
tubuh laki-laki yang dibawa bersamaku.
“Orang yang baru meninggal tadi mau
ditempatin di sana, Mbak?”, tanyaku kepada perawat yang sedang membersihkan
badanku.
“Iya, Mbak. Gapapa ya?”tanyanya
“Nggak mau, Mbak. Lobi ini kan sepi.
Nanti kalo Mbak pergi, aku cuma berdua aja sama bapak yang meninggal tadi” aku
menangis.
“Ya udah, nanti saya usahakan biar
segera dapet kamar ya, Mbak”
Aku mengangguk. Beberapa menit
kemudian perawat yang berbeda datang memberiku suntikan alergi dan memasang
jarum infus ke lengan kiriku. Tak lama kemudian aku dipindahkan ke sebuah ruang
kamar di pojok gedung. Aku terus menangis. Bayang wajah ibu terus terpampang
beserta adegan perdebatan semalam. Aku takut ibu datang setelah Izrail menjemputku.
Aku takut tak sempat meminta maaf padanya. Aku takut masuk neraka akibat
durhaka seperti yang pak Ustad sering ceritakan. Ah! aku takut. Andai aku diberi kesempatan untuk hidup. Aku akan menjadi
lebih baik lagi. Aku menyesal ya Allah”kataku dalam hati.
“Apa yang ini keluarganya, Mas?”terdengar
suara laki-laki yang tak lain adalah seorang perawat dari balik pintu.
“Bukan, Mas” jawab laki-laki
berseragam putih abu-abu yang wajahnya tak asing lagi bagiku.
“Kakak, ini aku” aku memanggilnya. “Kakak
ngga kenal aku?” tanyaku sedih.
“Dek, itu kamu?” tanyanya seraya
mengamati wajahku yang sedikit berubah karena luka dan bengkak.
Aku mengangguk. Air mataku terus
mengalir. Kakak kemudian masuk dan menarik kursi, duduk di dekat ranjangku.
“Gimana kejadiannya, Dek. Kok bisa
begini?”
“Kakak ingin aku cerita dengan bibir
bengkakku ini?” tanyaku manyun.
Raut wajah Kakak yang awalnya iba
berubah menahan tawa. Aku menangis makin deras. Rasanya ingin mencubit kakakku
itu. Bisa-bisanya ia tertawa melihat adiknya seperti ini. Huh!
“Tau nomor telepon sekolahmu?” tanyanya.
Aku mengangguk dan menyebutkannya. “Sebentar lagi bapak ibu pasti datang. Aku keluar
telepon pihak sekolah dulu ya!”
Kakak melangkah keluar, tak lama
kemudian ia datang bersama pakdhe dan ayah. Tersirat kekhawatir di raut
wajahnya. Namun ia berusaha menyembunyikannya.
“Apa yang sakit, Fir?” tanya ayah
tegar. Aku hanya menggeleng.”Ibu kok belum dating, Yah”tanyaku.
“Ibumu kan mengajarnya jauh. Mungkin sebentar
lagi sampai”
Benar kata ayah, tak lama kemudian seorang
perempuan dengan seragam PSH memelukku erat. Sekujur tubuhnya gemetar. Air mata
membanjiri wajahnya.
“Ya Allah, mengapa bisa begini?” tanya
ibuku sambal tersedu-sedu. Akupun menangis dalam pelukan ibu.
Ibuku terus memelukku erat. “Mana yang
sakit sayang? Apa yang sakit?”tanyanya. “Tak ada, Ibu” Aku menggeleng.”Tak
Ada.”kataku menenangkan. Air mata terus mengalir dari kelopak mataku. Tiba-tiba
nenekku datang bersama sepupuku yang masih SD dengan perban di kepala. Ia
memelukku erat seperti ibu. Ia menangis sejadi-jadinya.
“Anwar kenapa, Mbah?”tanyaku setelah
melihat perban di kepala Anwar.
Embahpun bercerita bahwa ketika
bersiap-siap kerumah sakit untuk menjengukku, sepupuku yang masih duduk di
kelas 2 SD pulang dengan memegangi kepalanya yang mengucurkan darah. Ia dilempar
batu oleh temannya dan mengenai kepala.
“Gimana kepalamu, An? Sakit?” tanyaku padanya.
Ia hanya mengangguk.
Sorenya, Kakak pulang untuk
mengambil pakaian ganti dan ayah tengah berbicara dengan pemilik angkutan. Ibu,
nenek, dan tante selalu berada di sampingku.
“Sewaktu bayi, kau pernah dirawat di
kamar ini, Fir.” Ibu membuka pembicaraan.
Aku menatapnya. Ia terlihat sangat
sedih. “Sejak bayi, kau sering sakit” lanjutnya “Sejak berumur tiga bulan kau
sudah diinfus. Fira dulu prematur. Itu salah ibu yang tak bisa menjagamu dengan
baik.” Ibu terus menangis mengingat sebuah kejadian.
November 1994
Tepat
pukul sembilan malam. Seorang lelaki paruh baya mengayuh sepedanya kuat-kuat.
Jantungnya berdebaran. Keringat bercucuran membasahi kaos tipisnya. Udara
dingin malam menelusup masuk hingga menusuk tulangnya. Bukan lelah, tetapi
gelisah yang dirasa. Air mata tiba-tiba menetes tanpa perintahnya. Dua nyawa.
Ya, dua nyawa yang kini harus dia pertaruhkan. Seorang wanita dengan perut
membesar berbungkus selendang diboncengnya. Selendang lainnya mengikat badannya
dengan sang pria. Sekujur tubuh wanita itu semakin dingin dan pucat. Keringat
bercucuran menahan sakit diperutnya yang baru berumur 7 bulan. Dengan berbekal
lentera, sepasang suami istri itu memperjuangkan nyawa. Mulut mereka
berkomat-kamit tak henti mengucap doa agar Tuhan tak mengambil anaknya yang
ketiga seperti nasib anak keduanya.
Lima
belas menit berlalu, di plataran rumah sakit, lelaki itu melepas selendang yang
menahan istrinya dan membimbingnya berjalan memasuki rumah sakit. Seorang
perawat membantu mereka menuju ruang periksa. Tak lama kemudian diikuti seorang
bidan.
“Maaf
bu, kita harus melakukan persalinan malam ini juga.Air ketubannya sudah pecah.”
Katanya setelah selesai memeriksa kandungan sang ibu.
“Tapi
bu bidan, usia kandungan saya baru 7 bulan.”
“Tidak
apa-apa ibu, mari kita berusaha semaksimal mungkin dan berdoa”
Perempuan
itu hanya mengangguk dengan mulut yang tak hentinya mengucap doa.
Pukul
sebelas lebih lima menit, tangisan seorang bayi memecah rumah sakit. Haru biru
memenuhi setiap sudut kamar sempit itu. Setelah bidan hampir berputus asa dan
memutuskan untuk mengadakan operasi sesar, sang jabang bayi akhirnya lahir
membawa tangisan bahagia pasangan suami istri itu.
“Di
ruang ini. Ya, di ruang sempit sudut selatan rumah sakit ini kau dulu
dilahirkan. Dua puluh tahun yang lalu. Ibu ingat sekali. Ibu selalu berdoa agar kau tak bernasib sama
dengan almarhum kakakmu. Dia meninggal tanpa sempat menghirup udara kehidupan.
Ibu ingin melihatmu menjadi orang sukses dan bersuami dengan pria yang sholeh.
Menimang anak-anakmu dan..” Ceritanya terhenti. Air mata mengucur deras dari
kedua matanya. Tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi denganku.
Aku menggenggam tangan
ibuku erat. “Aku akan baik-baik saja, Bu. Percayalah.” Ibu memelukku erat. Air
mata kami berjatuhan. Dadaku terasa sesak. Bukan karena pelukan ibu, tetapi
karena terisak dengan penyesalanku. Peristiwa
ini. Peristiwa dimana malaikat Izrail mengepakkan sayapnya ke satu
persatu orang disekitarku hari ini. Bahkan mungkin dalam waktu yang bersamaan.
Saat orang orang terdekat mereka menangis histeris, aku terus terisak. Aku
takut. Takut yang amat sangat. Aku takut akan tiba giliranku. Aku takut jika
Izrail tiba-tiba mengepakkan sayapnya ke arahku. Membawaku pergi beserta penyesalanku. Slide-slide kejadian
masa lalu ditampilkan layaknya layar bioskop yang memutar memori masa lalu satu
persatu.
The world is the
way to construct the unfinished framework
I always sound
like it
Like I lost my
dream
And as I know,
it is gone
But I sincerely
prayed together and had a dream
It’s the time to
find the missing wing
Surviving in a
hard time is a gift
People could
carry their own dream
The dark night
sky is a beautiful thing
One by one, the
moon try to embroidered its beauty
After the heavy
rain and winds, the rainbow will rise
The sunset in
the sky is as a bold embroidered
No one should
giving up
Gotta get up, we run and run
Gotta get up, we run and run
Clunting, cincin itu menggelinding menjauhi tuannya.
Aku terduduk lemas diiringi tatapan kecewa terpancar dari raut wajahnya. Hidup
ini berjalan begitu cepat, tapi mengapa cinta datang dan memudar begitu lambat? Tentangnya, aku memanggilnya fajar. Kenapa? Seringkali aku bertemu dengannya tatkala fajar. Cinta pertama yang membuatku memeluk erat mimpi-mimpi di esok hari. Kisahku, tentang fajar dan aku, tentang mimpiku dan sekolah itu.
Love at first sight? Tidak.
Aku tidak begitu. Atau wiwiting tresna
jalaran seko kulina? apalagi. Aku tak pernah bersama dengannya. Sekedar
jalan ataupun ngobrol bersama sekalipun tak pernah. Aku rasa teori-teori cinta
tak bisa diterapkan pada kisahku ini. Anomali? Atau penemuan teori baru? Ah aku
tak tau. Yang jelas aku tak pernah mengadakan eksperimen tentang ini.
Pertemuan
ini terjadi begitu saja saat ia duduk di bangku SMP dan aku masih kelas 4 SD.
Setiap Jumat sore aku bersama adikku yang berumur dua tahun mengaji di TPQ
dekat rumahnya. Dia adalah pendatang baru di desaku. Pertama kali bertemu, dia
mengenakan baju koko hijau muda dengan kopyah ala pak haji. Mencolok memang,
tapi inilah yang membuatku mengingat pertemuan pertama kami. Ditambah lagi saat
ia berjalan di depan rumahnya ia hampir saja kejatuhan ular hijau yang warnanya
senada dengan bajunya dan panjangnya hampir selebar jalan. Hal itu menambah
kuatkan ingatanku tentang pertemuan pertama itu. Pertemuan kedua? Ketiga? Ah
aku tak ingat. Setelah kejadian itu, aku tak mengingat lagi pertemuanku
dengannya selama di TPQ selain pertemuan pertama dengan koko hijau muda itu. Yes. Thats the first meet and the first
sight. Nothing happened.
Di
ujung jalan itu aku mengenakan seragam putih biru dan kau putih abu-abu. Di ujung jalan itu kita menunggu. Di ujung jalan itu kita duduk bersebrangan
terkadang saling berhadapan namun terkadang juga saling membelakangi. Hanya
sekedar kau mengetahui namaku dan aku mengetahui namamu. Tak ada senyum, sapa,
apalagi canda. Hanya diam dan saling tatap. Itu berlangsung selama
bertahun-tahun hingga kau pertama kali menyapaku saat tanpa sengaja kita
menaiki angkutan yang sama sepulang sekolah.
“Udah
sembuh, Fi?”, tanyanya memecah keheningan dalam keramaian.
“Eh,
E iya, Mas.”, jawabku singkat. Aku tak percaya kalau dia baru saja menyapaku.
Kami
pun menyebrangi jalan bersama dalam hening. Waktu itu kau mengenakan seragam
putih abu-abumu dengan tas gendong hitam. Aku mengenakan seragam putih biru tua
dibalut jaket merah tipis. Sesampainya di terminal, aku langsung masuk ke dalam
angkutan yang mengetem dan kau duduk di kursi terminal seorang diri. Aku
sengaja masuk ke angkutan untuk menghindari kebekuan antara aku denganmu. Dari
balik kaca angkutan, aku memandangimu. “Mengapa kita tidak bisa berteman
seperti aku dengan teman-temanku lainnya? Apa ada yang salah diantara kita?”
Ah, mengapa banyak sekali pertanyaan berkecamuk dalam pikiranku tentangmu. Eh,
tadi dia bertanya apa padaku? Bagaimana dia tahu kalau aku baru saja sakit? Ah
menambah poin tanda tanya saja.
Setelah
pertemuan itu, Ia selalu menyapaku entah dengan memanggil namaku atau hanya
sekadar tersenyum manis saat bertemu. Awalnya aku biasa saja dengan itu namun
kemudian sapaan dan senyuman itu mulai menggangguku. Tepatnya setelah para
fansmu menanyaiku banyak hal tentangmu. Mereka menyangka aku mengetahui banyak
hal tentangmu. Mulai saat itulah aku mulai memperhatikanmu. Mencari setiap
detail tentangmu. Bukan karena aku jatuh hati padamu, tetapi lebih agar aku bisa
menjawab pertanyaan dari fansmu saja.
Ah,
takdirpun berpihak padaku. Memfasilitasi usahaku untuk mengetahui lebih
tentangmu. Ibumu satu tempat kerja dengan ibuku dan mereka menjadi teman
dekat. Hampir setiap hari ibumu berkunjung ke rumahku. Tak jarang ia bercerita tentangmu.
Dari beberapa anaknya, sepertinya kaulah yang paling sering dia ceritakan. Kau
memang anak kebanggaannya. Terkadang untuk bisa menguping, aku sengaja sedikit
agak lama saat meletakkan minuman, mondar manding keluar masuk
melewati ruang tamu, atau terkadang duduk meguping di balik pintu. Ah konyol
sekali kelakuanku waktu itu. Mengetahui banyak hal tentangmu, membuatku jatuh
hati padamu. Berawal dari penasaran menjadi perasaan. Perasaan aneh yang
membuatku tak mengenal diriku.
Saat
aku duduk di kelas tiga SMP yang berarti kau duduk di kelas tiga SMA, kau pun kos.
Kita menjadi jarang bertemu. Tak ada duduk berhadapan ataupun membelakangi. Aku
menunggu angkutan seorang diri. Hari-hari tanpamu membuatku merasa ada yang
hilang. Sampai suatu ketika, ibu menawariku untuk mengikuti bimbingan belajar
untuk persiapan ujian nasional. Ah, ibu seperti tidak mengenaliku saja. Aku
lebih suka belajar sendiri dengan setumpukan buku dari pada mengikuti bimbingan
belajar. Aku lebih suka mempelajari sesuai apa yang aku mau dan apa yang
kubutuhkan sesuai moodku. Bukan belajar
dengan jadwal yang menyesuaikan orang banyak. Namun setelah kutahu kau
mengikuti bimbingan belajar itu, tanpa babibu aku iyakan saja tawaran ibuku. Ah,
betapa senangnya ibuku mengetahui aku mau mengikuti bimbingan belajar itu.
Sampai biaya bimbingan belajar yang tak kecil ibu bayar cash dan berhadiah sebuah kaos.
Di
tempat bimbingan belajar itu, aku bertemu seorang teman baru yang supel,
crewet, sok kenal tapi asyik. Namanya Risty. Awalnya kita tak saling mengenal.
Namun karena sikap sok kenalnya itulah kami menjadi teman baik. Rumah kami pun
searah sehingga kami sering pulang bersama. Sampai suatu ketika, kalau tidak
salah hari itu hari sabtu. Saat aku dan Risty berjalan bersama, asyik bercanda
tawa, tanpa kusadari kau berjalan seorang diri di belakang kami. Saat tanpa
sengaja aku menengok ke belakang dan bersitatap denganmu, satu detik, dua detik
aku pun buru-buru kembali menghadap kedepan, tak sempat menyapa. Sejenak canda
tawaku terhenti. Entah mengapa sentak jantungku memompa darah dengan begitu
cepatnya. Darah dingin mengalir kesekujur tubuhku. Mukaku memerah dan aku
hilang kendali. Ah, allay sekali
tubuhku ini. Bertemu dengannya saja bak bertemu presiden. Sialnya, Risty yang
tak mengetahui apa yang terjadi resah dan khawatir dengan begitu berlebihan. Ah,
mungkin kalau aku menjadi dia, aku akan tertawa puas melihat aksiku waktu itu.
Sesampainya
di ujung jalan tenpat menunggu angkutan, aku mencoba menenangkan diriku mencoba
mengobrol dengan Risty. Tak lama kemudian, angkutanpun datang. Aku dan Risty
buru-buru naik. Namun tidak denganmu. Aku menengok ke arahmu dan kau hanya
berdiri diam tak bergeming disana. Apakah kau menunggu seseorang?
Setelah
kejadian itu, akupun bercerita kepada Risty tentang apa yang sebenarnya
terjadi. Sialnya, dia justru mentertawakanku. Aku ingat sekali nasihatnya waktu
itu, “kalau kamu suka, kamu ajak dia ngobrol, bukan malah kayak cumi keracunan
gitu.” Ah, menyebalkan sekali. Cumi keracunan? Memang dia pernah melihatnya?
uh, jadi nyesel cerita sama dia. Parahnya, setelah dia tau aku menyukai
seseorang, dia jadi super Kepo. Dia
selalu menanyakan “siapa namanya? apa dia ganteng? ko bisa si cewek dingin,
cuek, apatis sama cowok kayak kamu bisa jatuh cinta?” Haduh, tu kan bawelnya
mulai keluar. Aku juga manusia kali, yang menurut ilmu biologi yang aku
pelajari, saat masa puber bakal menunjukkan gejala tertarik kepada lawan jenis.
Puncak
penyesalanku adalah saat aku akhirnya aku menunjukkan foto kak Zaen yang
kudapat dari foto kelas di majalah SMAnya ke Risty. Sejak kejadian itu, Risty
menjadi semakin penasaran. Ia mencari beberapa akun facebook dengan nama Zaenal
Arifin namun akhirnya nihil. Sampai suatu ketika, saat bimbingan belajar, tanpa
sengaja aku melihat kak Zaen dan temannya melintas. Akupun berbisik kepada
Risty. “Kak Zaen lewat, Ris”. Sontak dia menarik tanganku ke arah tutor bimbel
meminta izin ke kamar mandi. Izinnya si ke kamar mandi tapi dia menyeretku ke
arah yang berlawanan. Sesampainya di tempat penempelan jadwal, refleks dia
berseru “ Itu kak Zaen Fi?” tanyanya dengan suara menggelegar bak pake toa. Kak
Zaen dan temannya pun menengok kearahku. “Ko cakepan di foto si dari aslinya”
Sambungnya tanpa merasa bersalah. Ah, rasanya aku ingin meminjam pintu kemana
sajanya doraemon dan enyah dari tempat itu. Ah bisa-bisanya anak ini sepercaya
diri itu.
Setelah
kejadian itu, ingin rasanya aku tak pernah bertemu lagi dengan kak Zaen. Tapi
takdir justru berlawanan. Setelah kejadian itu aku justru semakin sering
bertemu dengannya. Walaupun sama seperti biasa hanya saling menyapa dengan
senyuman. Sampai terakhir kali bertemu saat pengumuman calon siswa baru di
SMAnya. Aku senang, namaku termasuk dalam daftar nama siswa yang lolos seleksi.
Bertemu denganmu disana ibarat ucapan selamat dari Tuhan untukku. Setelah
pertemuan itu, aku benar-benar tak pernah bertemu lagi denganmu. Aku hanya
mendengar cerita-certita tentangmu di rantau dari ibumu.
There is always some madness in love,
but there is also
always some reason in madness
that nothing can disturb your peace of mind.
To talk health, happiness, and prosperity
to every person you meet.
To make all your friends feel
that there is something in them
to look at the sunny side of everything
and make your optimism come true.
To think only the best, to work only for the best,
and to expect only the best.
To be just as enthusiastic about the success of others
as you are about your own.
To forget the mistakes of the past
and press on to the greater achievements of the future.
To wear a cheerful countenance at all times
and give every living creature you meet a smile.
To give so much time to the improvement of yourself
that you have no time to criticize others.
To be too large for worry, too noble for anger, too strong for fear,
and too happy to permit the presence of trouble.
To think well of yourself and to proclaim this fact to the world,
not in loud words but great deeds.
To live in faith that the whole world is on your side
so long as you are true to the best that is in you.
-Christian D. Larson, Your Forces and How to Use Them-
In the place you find peace
One of god's wonderful place
Listening to the symphony of waves
The voice of crashing waves in your ears
Listening the sounds of the beach
Feeling one with the rhythm and harmony
In the beach you find peace
Looking the stretch of endless blue
A boundary between sky and sea fade away
Never-ceasing little waves running at you
Playing across the shores
In the beach you find peace
Feeling the mild salty mist wet your skin
The smell of the salt refreshed your tired minds.
A chilly breeze blowing on your face
Setting your soul free
Let’s have some fun
Running on the border of two worlds
Feeling the freedom to run
Being totally free
Walking bare foot
Making footprint in the sand
Picking up shells
Building stormy sand
castles
Let's being a kid
Forgetting your problems and being happy
---Izzah M,(2012)---
---Izzah M,(2012)---
Source: https://reelrundown.com/tv/top-30-best-historical-korean-dramas-sageuks-you-must-watch |
Do you like watching Korean dramas? I do like it very much. I've watched it since I was in elementary school. First drama I've watched was Endless love (2000). Maybe also called as Autumn tale or Autumn In My Heart. Have you watched it? It really tears me so much (if you like romance tragedy, you should watch it. Sure, it will drain your tears).
Same with Endless Love, Jewel in The Palace (2003) also touched me. (Actually, I'm easily touched person. Not only because of sadness but also something amazed me). This drama made me both. This historical drama was inspired by the real story about a remarkable and determined girl who became the first woman to overcome social discrimination.
Although in some scenes felt like beyond the limits of reason, but the main character, Jang Geum truly inspired me with her character who dared to take different path and was not afraid to face the risks.
Jewel in The Palace is really unforgettable. It's inspired me about life. The most memorable dialogue was when lady Jung ask to Jang Geum "If you faced to choose life with easy or difficult way, what will you choose?" she replied that "Can we choose? I choose to life in easy way, but sometimes I get some difficulties."
Although in some scenes felt like beyond the limits of reason, but the main character, Jang Geum truly inspired me with her character who dared to take different path and was not afraid to face the risks.
Jewel in The Palace is really unforgettable. It's inspired me about life. The most memorable dialogue was when lady Jung ask to Jang Geum "If you faced to choose life with easy or difficult way, what will you choose?" she replied that "Can we choose? I choose to life in easy way, but sometimes I get some difficulties."
I learned from it so much. No matter how many times you fall, don't be afraid to wake up. You should always do the best things in many chances you have.
NOTE:
NOTE:
actually I kept writing some articles in English (even my English wasn't good) to improve my English, to make it fluently, and to learn more vocabulary. You can help me by correcting and giving some advice. Thank you :)
Hello friends. Now here is a
little about me.
I am Izzah
Muyassaroh. An Indonesian girl who like writing and trying something new. I'm
twenty more years old. For me blogging is the only way to get out of my daily
routine and to express something in my mind. It's almost about my hobbies, education, and myself. I am very
grateful to you for taking the time to visit my blog. Hope you enjoy it. Happy
reading :)
Find me in
Email : Izzahmysr@gmail.com
Instagram :
@izzahmysr
Twitter :
@izzahmysr
Facebook :
Izzah Muyassaroh