Potret Pendidikan di Indonesia, Persoalan, dan Solusi
Pendidikan merupakan agen perubahan pada
berbagai aspek. Sekolah sebagai komponen sistem pendidikan merupakan ruang
utama pembentuk karakter dan nation builders bangsa yang diharapkan
mampu bersaing di kancah global. Seiring dengan perkembangan global, tantangan
yang dihadapi dunia pendidikan juga semakin besar. Kebutuhan akan pendidikan
tidak hanya terbatas pada “knowing and understanding”, akan tetapi juga
kemampuan bagaimana seseorang mengeksplor apa yang mereka ketahui dan pahami
sebagai bekal untuk memperoleh kesejahteraan dan kemuliaan hidup (ennobling
life). Terlebih lagi setelah memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), tantangan
pendidikan dihadapkan pada bagaimana mencetak Sumber Daya Manusia (SDM) yang
unggul dan kompetitif. Pendidikan Indonesia harus tanggap dalam menghadapi MEA
dengan cara membekali produknya dengan kemampuan berinovasi, penguasaan
teknologi, networking, serta keterampilan-keterampilan abad ke-21
lainnya yang tercermin dari ways
of thinking (cara berpikir), ways of working (cara bekerja), tools for working (peratatan yang digunakan), and skills for living the word (keterampilan hidup). Griffin (2012: 6) memaparkan Ways of thinking (cara berfikir), mencakup kompetensi berpikir kreatif, inovatif, kritis, dan pemecahan masalah; ways of working (cara bekerja), meliputi
kemampuan berkomunikasi, berkolaborasi, dan bekerja sama; tools for working, meliputi kemampuan
penguasaan teknologi dan ICT literasi; serta skills for living the word, berkenaan dengan peranannya sebagai warga
negara lokal maupun
global, aspek kehidupan, pengembangan karir, tanggung jawab
pribadi, dan respon sosial.
Pendidikan di Indonesia menurut Undang-undang
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terdiri dari empat
jenjang utama yaitu pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi. Usia anak sekolah dasar berkisar antara 7-13
tahun dimana anak usia sekolah dasar merupakan masa-masa strategis untuk
menanamkan nilai-nilai karakter (character buiding), dasar-dasar
pengetahuan yang benar (true knowledge), dan keterampilan hidup (life
skills) sebagai bekal hidup dan melanjutkan pendidikan ke jenjang
selanjutnya. Pendidikan dasar sebagai komponen penting pendidikan nasional
perlu mendapatkan fokus utama dalam peningkatan kualitas pendidikan mengingat
pendidikan dasar berperan melahirkan cikal bakal penerus bangsa. Kualitas
berkaitan dengan kepuasan produk yang dihasilkan. Pendidikan yang berkualitas
berarti pendidikan yang mampu menghasilkan produk-produk pendidikan baik output
maupun outcome pendidikan yang memuaskan keinginan pelanggan.
Berbicara
mengenai kualitas pendidikan, bagaimanakah kualitas pendidikan dasar di
Indonesia? Apakah kualitas produk pendidikan di Indonesia telah mampu memuaskan
pelanggan? Lalu apa saja yang masih menjadi kendala yang dihadapi oleh
pendidikan dasar di Indonesia? Bagaimanakah solusi yang ditawarkan? Untuk
menjawab pertanyaan pertanyaan tersebut, penulis mencoba memaparkan dalam
makalah ini mengenai potret pendidikan dasar di Indonesia, kendala-kendala yang
dihadapi pendidikan dasar di Indonesia, serta beberapa solusi yang ditawarkan sebagai
hasil analisis terhadap kajian yang relevan seperti buku dan jurnal serta sebagai
hasil kajian selama perkuliahan peningkatan kualitas pendidikan di Sekolah
Dasar selama satu semester ini.
A.
Potret Pendidikan Dasar di Indonesia dan
Permasalahan yang Dihadapi
Pencapaian kualitas pendidikan di Indonesia
diukur melalui 8 standar pendidikan yang diatur dalam PP Nomor 32 tahun 2013
sebagai perbaikan terhadap PP Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan meliputi (1) standar isi; (2) standar proses; (3) standar sarana dan
prasarana; (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan; (5) standar
pembiayaan; (6) standar kompetensi lulusan; (7) standar pengelolaan; serta (8)
standar penilaian pendidikan. Sedangkan dimensi standar kualitas pendidikan
dasar (primary education) yang dikemukakan oleh UNICEF (2000: 3)
mencakup: (1) Peserta didik (learners) yang sehat, mendapatkan nutrisi
dengan baik dan siap untuk berpartisipasi dalam pembelajaran, serta mendapat
dukungan dari keluarga untuk belajar; (2) Lingkungan (environtment) yang
sehat, aman, melindungi, memfasilitasi perbedaan gender, dan menyedikan sumber daya dan fasilitas
belajar yang memadai; (3) konten isi yang relevan dengan kurikulum dan
materi-materi yang mengasah kemahiran keterampilan-keterampilan dasar, terutama
terkait dengan kemampuan literasi, kemampuan matematis dan keterampilan-keterampilan
hidup, serta pengetahuan mengenai gender, kesehatan, nutrisi, pencegahan
HIV/AIDS dan perdamaian; (4) standar proses melalui guru-guru yang terlatih
dengan menerapkan pembelajaran yang berpusat kepada siswa (student-centered)
dan mampu mengelola kelas dengan baik, mahir dalam melakukan penilaian untuk
memasilitasi pembelajaran dan mengurangi perbedaan antar siswa; serta (5) outcomes
yang memiliki pengetahuan, keterampilan-keterampilan, dan sikap yang berkaitan
dengan tujuan nasional pendidikan dan berperan positif dalam masyarakat.
Berdasarkan beberapa aspek tersebut, informasi
terkait kualitas pendidikan di Indonesia berdasarkan hasil studi Internasional
jika disandingkan dengan beberapa negara lain dipaparkan sebagai berikut.
Berdasarkan data yang dirilis UNESCO dalam
Education For All Global Monitoring (EFA-GMR), indeks pembangunan pendidikan
untuk semua ( The Education For All Development Index) atau biasa
disingkat EDI pada tahun 2014 menduduki peringkat 57 dari 115 negara di dunia
dan berada dalam kategori rendah berdasarkan kategori penilaian angka
partisipasi mengenyam pendidikan di sekolah dasar, melek huruf, kesetaraan
gender, dan masih bertahannya siswa sekolah hingga kelas 5 SD (UNESCO, 2015).
Akses pendidikan di Indonesia selama dekade
terakhir mengalami peningkatan. Angka partisipasi kasar untuk pendidikan dasar
di tahun 2013-2014 meningkat sebesar 110,68% dan angka partisipasi murni 93,30%.
Peningkatan secara signifikan dalam angka partisipasi kasar pendidikan menengah
dari 76,1% di tahun 2001 naik menjadi 96,9% pada tahun 2013 dengan angka
partisipasi murni meningkat dari 58,6% di tahun 2001 menjadi 76,5% pada tahun
2013 (EOCD, 2015:105). Namun angka pendaftaran dalam pendidikan dasar dan
menengah di Indonesia masih tertinggal jika dibandingkan berberapa negara ASEAN
seperti thailand dan malaysia, meskipun masih mengungguli Filipina. Berikut
merupakan data akses pendidikan dasar yang dirilis EOCD (2015: 106).
Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan
akses, ketersediaan dan keterjangkauan pendidikan, serta kualitas pendidikan di
Indonesia. Beberapa kebijakan seperti pengalokasian dana pendidikan diluar gaji
guru dan biaya pendidikan kedinasan minimal 20% APBN dan 20% APBD untuk sektor
pendidikan (UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional) serta Bantuan
Operasional Pendidikan (BOS) sebagai upaya mewujudkan wajib belajar 9 tahun (SD
dan SMP) yang dikenalkan sejak tahun 2005 memiliki dampak yang signifikan
terhadap peningkatan pemerataan akses pendidikan terutama di daerah terpencil
(EOCD, 2015: 102). Akan tetapi angka putus sekolah di Indonesia masih tinggi,
hal tersebut karena permasalahan akses pendidikan tidak hanya dilatarbelakangi
oleh biaya melainkan juga faktor-faktor lain seperti faktor demografi,
pemikiran masyarakat, dan kemiskinan, dimana seorang anak dipekerjakan untuk
membantu perekonomian keluarga. Selain data yang dilansir oleh UNESCO, sebuah organisasi kerja sama dan pembangunan
ekonomi, Organization for Economic Co-Operation and
Development (EOCD) melalui
Programme for International Student
Assessment (PISA) yang dirilis pada
tanggal 13 Mei 2015 menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat 52 dari 60 negara yang
bergabung dalam PISA. Skor tersebut sedikit beranjak dari periode sebelumnya
yaitu pada tahun 2012 dimana Indonesia menduduki peringkat 64 dari 65 negara.
Skor tersebut menunjukkan bahwa kemampuan sains, matematika, dan literasi siswa
Indonesia masih rendah jika disandingkan dengan negara-negara lain. Hasil yang
sama juga ditunjukkan dari skor TIMSS dimana Indonesia berada di peringkat 42
dari 47 negara dengan skor 397.
Menurut hasil survei EOCD (2015), pendidikan
Indonesia telah menciptakan kemajuan yang baik dalam membangun fondasi dan
menciptakan kualitas pendidikan dasar. Kemajuan telah dilakukan dengan sasaran
penyediaan guru yang berkualitas, ruang kelas, dan bahan ajar. Kualitas praktek
mengajar dan inovasi bermunculan di tingkat sekolah dasar. Pembelajaran
berlangsung komunikatif dan berlangsung dua arah antara guru dan siswa. Namun
kemajuan yang kuat tersebut tidak seluruhnya dialami oleh daerah-daerah di seluruh
pelosok negeri. Kesenjangan regional dan kabupaten pada daerah-daerah terpencil
masih menjadi isu utama permasalahan pendidikan di Indonesia.
Pada negara-negara berkinerja tinggi,
pendistribusian sumber daya terjadi secara merata baik di daerah pedesaan
maupun perkotaan. Namun yang terjadi di Indonesia pendistribusian sumber daya
di beberapa daerah di Indonesia masih ada gap seperti yang dilaporkan oleh
beberapa kepala sekolah di daerah pedesaan tentang ketersediaan sumber daya
yang kurang memadai (PISA, 2012)
Data yang dirilis EOCD (2013) rasio siswa dan
guru pendidikan dasar di Indonesia adalah 18,6.
Rasio ini lebih tinggi dari rata-rata EOCD yang mencapai 15,4 dan
sebagian negara tetangga seperti Thailand yang mencapai 16,3 dan Malaysia
(12,5). Namun di daerah terpencil dan pedesaan, kekurangan guru masih menjadi
masalah. Guru-guru berkualitas masih terbatas dan banyak ditemui guru yang
sering kali tidak masuk mengajar.
B.
Solusi-solusi yang Memungkinkan untuk
Diterapkan
Meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia
dihadapkan pada tantangan yang sangat besar terkait dengan negara Indonesia
yang luas dan beragam. Indonesia merupakan populasi penduduk terpadat ke empat
di dunia yang tersebar di 33 provinsi dan lebih dari 500 kabupaten dengan
sekitar 55 juta siswa, 3 juta guru, dan 236.000 Sekolah (Mendikbud,2013). Namun
hal tersebut tidak menyurutkan semangat kita untuk terus meningkatkan kualitas
pendidikan di Indonesia.
Salah satu tujuan pembelajaran pada mata
kuliah peningkatan kualitas pendidikan di sekolah dasar ini adalah mengeskplor
potret pendidikan di seluruh belahan dunia sebagai gambaran mengenai
kebijakan-kebijakan pendidikan yang mungkin dapat diadopsi sebagai solusi
terhadap permasalahan pendidikan di Indonesia. Berdasarkan hasil analisis
jurnal, diskusi, dan kajian selama perkuliahan peningkatan kualitas pendidikan
di sekolah dasar, beberapa solusi yang mungkin dapat diterapkan berdasarkan
permasalahan-permasalahan pendidikan dasar di Indonesia seperti yang telah
dipaparkan adalah sebagai berikut.
Peningkatan kualitas pendidik
Pendidik dalam hal ini guru, memiliki peranan
penting dalam keberhasilan pendidikan. Untuk mencetak produk-produk pendidikan
yang berkualitas diperlukan pendidik-pendidik yang profesional. Proesionalitas
guru diukur melalui standar pendidik dan tenaga pendidikan dimana guru harus
memiliki 4 kompetensi utama sesuai yang termuat dalam undang-undang Nomor 14
tahun 2005 tentang Guru dan dosen, meliputi kompetensi paedagogik, kepribadian,
sosial, dan profesional.
Untuk mencetak generasi-generasi abad ke-21
diperlukan guru-guru abad ke-21. Berkaca dari beberapa negara dengan kualitas
pendidikan terbaik di dunia, terbukti sangat menjaga profesionalitas gurunya
baik dari proses rekruitmen maupun peningkatan kualitas guru-guru yang telah
berprofesi. Seperti negara Singapura, negara yang menyebut dirinya sebagai noktah
kecil dalam peta tanpa sumber daya mampu menciptakan perubahan yang
revolusioner dalam bidang pendidikan sehingga selalu menduduki peringkat
teratas pendidikan berdasarkan hasil survei EOCD. Negara tersebut juga terkenal
unggul dalam pembangunan ekonomi dan
kemajuan teknologinya. Mereka berkomitmen bahwa melalui pendidikan,
mereka mampu menciptakan kemajuan dan denga itulah perekonomiannya menjadi
lebih baik. Berkaca dari Singapura, negara tersebut menerapkan proses
rekruitmen yang ketat dimana mereka membidik lulusan terbaik universitasnya yang
kemudian melalui serentetan tes dan wawancarai untuk menjadi calon guru yang
kemudian di kirim ke institusi pendidikan di Singapura, The National Institute of Education (NIE) sebagai institusi yang menyelenggarakan pelatihan (training) untuk guru. Untuk
meningkatkan kompetensi guru, pemerintah Singapura setiap tahunnya tidak hanya
menyediakan pendidikan dan pelatihan untuk 2000 guru baru tetapi juga
meningkatakan proesionalitas 31.000 guru yang telah berprofesi di setiap
jenjang pendidikan. Setiap guru
adalah longlife leaner atau pembelajar sepanjang hidup pada berbagai
level. Setiap guru harus aktif mengembangkan diri dan meningkatkan
profesionalitasnya dengan melibatkan diri pada pembelajaran yang
berkesinambungan sepanjang hayat. Selain itu, ada juga pendekatan sistematik
dalam pengembangan tenaga pendidik yang telah mengajar di sekolah untuk meningkatkan profesionalitasnya. Bahkan
hal tersebut didukung oleh kementrian pendidikan dengan memberikan memberikan
waktu 100 jam untuk setiap guru mengembangkan proesionalitasnya agar menjadi
lebih baik. Departemen pendidikan juga menyediakan forum untuk guru berbagi, belajar
bersama, dan saling memberikan masukan untuk meningkatkan keterampilan mengajar
yang disebut dengan PLC (Professional Learning Communities) yang
melibatkan sedikitnya 217 sekolah di Singapura (EOCD, 2010).
Tidak jauh dari kebijakan yang diterapkan di
Singapura, Indonesia juga menerapkan berbagai kebijakan sebagai upaya peningkatan
kualitas guru di Indonesia diantaranya melalui pelatihan, sertifikasi, dan Program
Provesionalisme Guru (PPG). Gelombang reformasi pendidikan terkait dengan
sertifikasi meningkatkan kualifikasi tenaga pengajar, dimana sertifikasi
mensyaratkan pendidikan minimal Diploma 4 (D4) atau Sarjana dan mengajar minimal 24 jam per minggu. Hal
tersebut membawa dampak pada peningkatan kualifikasi guru yang meraih gelar
sarjana sekitar 40% dan pada tahun 2011 sekitar 500.000 guru mendaftarkan diri
di Universitas Terbuka (World Bank, 2012d). Penerapan kebijakan sertifikasi
tersebut diharapkan mampu meningkatkan input calon guru, meningkatkan
kualifiaksi dan profesionalitas guru, serta menangani isu- isu terkait rendahnya
gaji guru dan memotivasi guru dalam mengajar.
Pendistribusian Guru Secara Merata
Sejak tahun 2000an Indonesia berkembang pesat dan
signifikan alam ekspansi perekrutan guru dan melakukan reformasi distribusi dan
manajemen (Tobias etal, 2014:22). Rasio guru dan murid. Data yang dirilis EOCD
(2013) rasio siswa dan guru pendidikan dasar di Indonesia adalah 18,6. Rasio
tersebut meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dimana pada tahun 2011
mencapai 15,9. Pemerintah terus berupaya untuk memperrbaiki keefektifan guru
serta pendistribusian guru di berbagai wilayah. Menurut bapak Anies baswedan,
masalah pendistribusian guru dan pemerataan akses pendidikan dapat diatasi
dengan pembangunan insfrastruktur dan ekonomi di daerah pedesaan. Hal tersebut
karena salah satu faktor meningkatnya arus urbanisasi disebabkan karena
masyarakat tidak menemukian apa yang mereka butuhkan di lingkungan tempat
tinggal mereka.
Membangun Kemitraan Bersama antar strakeholders Sekolah
Stakeholder merupakan individu atau kelompok
yang berkaitan atau memiliki peran dalam pencapaian misi dalam sebuah organisai
sekolah. Stakeholders dibedakan menjadi: (1) internal stakeholders yaitu
seseorang atau kelompok yang bekera dalam sistem sekolah setiap hari an
mengendalikan proses/kegiatan yang terjadi. Seperti diantaranya adalah staf
sekolah, staf distrik, dan komite sekolah; sedangkan (2) external stakeholders
meliputi siapapun yang berada di luar kegiatan keseharian di sekolah namun ikut
mempengaruhi hasil kegiatan sekolah seperti orang tua dan lingkungan masyarakat
(Sustaining Reading First, 2009:4-5).
Pendidiksn tidak hanya menjadi tanggung jawab
sekolah. Untuk meningkatkan kualitas output dan outcomes produk
pendidikan diperlukan sinergi bersama antar stakeholders sekolah. Hal
ini sejalan dengan yang dipaparkan UNICEF (2009) bahwa proses belajar anak berlangsung
sepanjang waktu, dimanapun sepanjang hayatnya. Proses belajar anak tidak hanya
terbatas saat anak berjalan memasuki pintu sekolah dan berakhir ketika anak
keluar dari pintu tersebut. Setiap anak membawa berbagai persepsi dan keyakinan
maupun perilaku yang mereka dapatkan di lingkungan keluarga, lingkungan
bermain, dan lingkungan masyarakat. Demikian pula sepulang dari sekolah anak
mendapatkan pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan baru. Oleh karena itu
sangat diperlukan adanya pembangunan persepsi, pengetahuan, sikap, dan
keterampilan yang saling mendukung antara lingkungan sekolah, keluarga, dan
masyarakat. Dalam hal ini, komite sekolah mengambil peran untuk menjembatani
sekolah dengan keluarga siswa dan lingkungan masyarakat. Sekolah tidak mampu
menjalanankan peranannya secara Independen, melainkan perlu melibatkan beberapa
aktor pendidikan seperti orang tua, masyarakat, dan komite sekolah. Sangat
penting bagi sekolah untuk membangun kemitraan bersama membangun komunikasi dan
melibatkan peran setiap stakeholders dalam penetapan kebijakan. Selain
itu meningkatkan kemitraan dengan orang tua dapat dilakukan dengan training dan
voluntering terhadap orang tua serta memberikan support dan pengetahuan kepada
orang tua akan perannannya dalam perkembagan anak (Sustaining Reading First,
2009: 6). Kesuksesan kemitraan sekolah dengan lingkungan luar baik keluarga
maupun masyarakat, tidak terjadi secara independen melainkan terintegrasi
dengan baik untuk mencapai visi dan misi sekolah (Roekoel, 2008).
Fokus Pada Reformasi di Level Sekolah/Kelas
Salah satu jurnal yang pernah penulis kaji, membahas
tentang pentingnya reformasi di tingkat sekolah atau kelas. Reformasi
pendidikan yang terjadi pada skala
nasional belum tentu sesuai untuk diterapkan pada level daerah atau sekolah
yang notabenya kondisi negara Indonesia yang memiliki kondisi daerah dan budaya
yang beragam. Reformasi tersebut lebih cenderung sebagai standar yang harus
dipenuhi dalam skala nasional, dan sekolah memiliki otonomi dalam menerapkan kebijakan
tersebut sesuai dengan kondisi lingkungan dan kapasitas sekolah. Reformasi
sekolah perlu menjadi fokus dalam peningkatan kualitas pendidikan mengingat
sekolah lah yang lebih mengetahui potensi lingkungan masyarakat di sekitar
sekolah serta potensi dan karakteristik setiap peserta didiknya. Sekolah perlu
terus meng-upgrade kebijakan-kebijakan yang ada agar relevan dengan kebutuhan di
lingkungan mesyarakat dan perkembangan zaman yang sangat dinamis. EOCD (2015:157) mengemukakan bahwa reformasi pada level sekolah seringkali lebih terasa
secara langsung dampaknya. Reformasi sekolah menyoroti 3 elemen kunci untuk meningkatkan kualitas
sekolah meliputi fokus pada pembelajaran di kelas, membangun kapasitas sekolah,
serta keselarasan kebijakan. Memokuskan pada praktek di kelas mencakup
pengenalan kurikulum, penggunaan metode dan model pengajaran, serta pemanfaatan
data hasil evaluasi untuk merancang pembelajaran atau kebijaka selanjutnya. Dalam ini guru berperan sebagai
aktor kunci. Memfokuskan perbaikan di kelas berarti mengefisienkan peran guru dalam
mengajar dan peran siswa sebagai pelajar dalam suatu bingkai proses
pembelajaran. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan NCAA (2010) bahwa kelas
adalah agen perubahan (classrooms as
sites of change).
Menciptakan Lingkungan Belajar Inovatif
Lingkungan belajar dapat diartikan sebagai sebuah
ekosistem mencakup peserta didik, pendidik, keluarga, komunitas, dan sumber
daya seperti properti dan teknologi yang mendukung proses pembelajaran untuk
menghasilkan suatu produk pembelajaran (EOCD, 2013:3; Lindsay & Edmunds,
2016). Pendidikan sebagai agen pencetak kader-kader pelukis masa depan bangsa,
dituntut untuk responsif terhadap perubahan dan kebutuhan zaman. Pendidikan,
layaknya dunia Industri harus mampu menciptakan inovasi-inovasi untuk terus
menjaga dan meningkatkan kualitasnya. Produk-produk pendidikan dalam hal ini output
dan outcomes pendidikan yang berkualitas dan kompetitif secara global
saat ini harus relevan dengan kompetensi-kompetensi yang menjadi fokus
pencapaian pada abad ke-21ini.
Peserta didik pada abad ke 21 memerlukan
lingkungan belajar yang mendukung pengembangan skills abad ke 21.
Pendapat ini didukung oleh NCAA (2010) bahwa lingkungan belajar bagi anak usia
dini dan anak usia sekolah dasar memerlukan lingkungan yang mampu menumbuhkan,
memupuk, dan mengembangkan keterampilan-keterampilan abad ke 21. Sekola harus
mampu membangun tradisi dan kekuatan di sektor sekolah dengan menciptakan
kombinasi yan unik dari kekuatan pengajaran berkualitas tinggi, hubungan yang
baik antara siswa dan guru, rasa kepedulian dan komitmen yang kuat di sekolah,
dan keterbukaan terhadap hal-hal yang baru dan berbeda. Lingkungan belajar yang
inovatif versi EOCD (2013) yang relevan dengan pembelajaran abad 21
didefinisikan sebagai berikut: (1) proses pembelajaran disusun berbasis
penelitian, (2) melakukan inovasi yang berfokus pada unsur dan dinamika inti
pedagogis, (3) organisasasi kepemimpinan, evaluasi dan tindak lanjut, serta
desain strategi yang sesuai, dan (4) terbuka terhadap kemitraan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Griffin, et al. (2012). Assesment and Teaching of 21st
Learning Century Skills.Heidelberg: Spinger
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2013). Sekilas
Sektor Pendidikan di Indonesia 2012: Prestasi dan Tantangan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Lindsay, L & Edmunds, B. (2016). Innovative Learning Environments diunduh
dari https://23teaching.com/2016/08/01/16-innovative-learning-environments/
pada tanggal 14 Juni
2017.
National Council for Curriculum and Assesment (NCAA). (2010). Innovation happens: Classroom as
site of change.
OECD (2010), Strong Performers and
Successful Reformers in Education: Lessons from PISA for the United States. EOCD Publising http://dx.doi.org/10.1787/9789264096660-en
OECD (2013), Education at a Glance 2013: OECD Indicators, OECD Publishing, Paris,
http://dx.doi.org/10.1787/eag-2013-en.
OECD (2014), PISA 2012
Results: What Students Know and Can Do
(Volume I, Revised
edition, February 2014): Student Performance
in Mathematics, Reading and Science, PISA, OECD Publishing, http://dx.doi.org/10.1787/9789264208780-en.
OECD (2015), Education Policy Outlook
2015: Making Reforms Happen, OECD Publishing. http://dx.doi.org/10.1787/9789264225442-en
OECD. (2013). Innovative Learning
Environments. Santiago Conference Report, OECD Publishing.
OECD.(2013). Innovative Learning
Environments. Educational Research and Innovation, OECD Publishing.
OECD/Asian Development Bank. (2015). Education in Indonesia: Rising to the Challenge, OECD Publishing, Paris. http://dx.doi.org/10.1787/9789264230750-en.
Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar
Nasional Pendidikan.
Roekoel, D.V. (2008). Parent, Family, Community
Involvement in Education. National Education Association Article
Sustaining Reading First. (2009). Sustainability
Series Number 6: Engaging Stakeholders.
Tobias, et all. (2014). Towards Better Education
Quality Indonesia,s Promising Path. London: Overseas Development Institute
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.
UNESCO.
(2015). Education for All 2000-2015:
Achievments and Challenges. Paris: United Nations Educational, Scientific
and Cultural Organization
UNICEF. (2000). Defining Quality in Education. New York: Publication of
UNICEF
UNICEF. (2009). Child
Friendly Schools. Chapter 4 School and Community. New York: UNICEF Division of
Communication
World
Bank. (2012d). ‘Teacher Certification in Indonesia: a Doubling of Pay, or a Way to Improve Learning?’ Policy
Brief 73264. Washington, DC: World Bank.
0 comments