Potret Pendidikan di Indonesia, Persoalan, dan Solusi

by - Januari 18, 2019

Pendidikan merupakan agen perubahan pada berbagai aspek. Sekolah sebagai komponen sistem pendidikan merupakan ruang utama pembentuk karakter dan nation builders bangsa yang diharapkan mampu bersaing di kancah global. Seiring dengan perkembangan global, tantangan yang dihadapi dunia pendidikan juga semakin besar. Kebutuhan akan pendidikan tidak hanya terbatas pada “knowing and understanding”, akan tetapi juga kemampuan bagaimana seseorang mengeksplor apa yang mereka ketahui dan pahami sebagai bekal untuk memperoleh kesejahteraan dan kemuliaan hidup (ennobling life). Terlebih lagi setelah memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), tantangan pendidikan dihadapkan pada bagaimana mencetak Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul dan kompetitif. Pendidikan Indonesia harus tanggap dalam menghadapi MEA dengan cara membekali produknya dengan kemampuan berinovasi, penguasaan teknologi, networking, serta keterampilan-keterampilan abad ke-21 lainnya yang tercermin dari ways of thinking (cara berpikir), ways of working (cara bekerja), tools for working (peratatan yang digunakan), and skills for living the word (keterampilan hidup). Griffin (2012: 6) memaparkan Ways of thinking (cara berfikir), mencakup kompetensi berpikir kreatif, inovatif, kritis, dan pemecahan masalah; ways of working (cara bekerja), meliputi kemampuan berkomunikasi, berkolaborasi, dan bekerja sama;  tools for working, meliputi kemampuan penguasaan teknologi dan ICT literasi; serta  skills for living the word, berkenaan dengan peranannya sebagai warga negara lokal maupun global, aspek kehidupan, pengembangan karir, tanggung jawab pribadi, dan respon sosial.
Pendidikan di Indonesia menurut Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terdiri dari empat jenjang utama yaitu pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Usia anak sekolah dasar berkisar antara 7-13 tahun dimana anak usia sekolah dasar merupakan masa-masa strategis untuk menanamkan nilai-nilai karakter (character buiding), dasar-dasar pengetahuan yang benar (true knowledge), dan keterampilan hidup (life skills) sebagai bekal hidup dan melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Pendidikan dasar sebagai komponen penting pendidikan nasional perlu mendapatkan fokus utama dalam peningkatan kualitas pendidikan mengingat pendidikan dasar berperan melahirkan cikal bakal penerus bangsa. Kualitas berkaitan dengan kepuasan produk yang dihasilkan. Pendidikan yang berkualitas berarti pendidikan yang mampu menghasilkan produk-produk pendidikan baik output maupun outcome pendidikan yang memuaskan keinginan pelanggan.
Berbicara mengenai kualitas pendidikan, bagaimanakah kualitas pendidikan dasar di Indonesia? Apakah kualitas produk pendidikan di Indonesia telah mampu memuaskan pelanggan? Lalu apa saja yang masih menjadi kendala yang dihadapi oleh pendidikan dasar di Indonesia? Bagaimanakah solusi yang ditawarkan? Untuk menjawab pertanyaan pertanyaan tersebut, penulis mencoba memaparkan dalam makalah ini mengenai potret pendidikan dasar di Indonesia, kendala-kendala yang dihadapi pendidikan dasar di Indonesia, serta beberapa solusi yang ditawarkan sebagai hasil analisis terhadap kajian yang relevan seperti buku dan jurnal serta sebagai hasil kajian selama perkuliahan peningkatan kualitas pendidikan di Sekolah Dasar selama satu semester ini. 

A.    Potret Pendidikan Dasar di Indonesia dan Permasalahan yang Dihadapi
Pencapaian kualitas pendidikan di Indonesia diukur melalui 8 standar pendidikan yang diatur dalam PP Nomor 32 tahun 2013 sebagai perbaikan terhadap PP Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan meliputi (1) standar isi; (2) standar proses; (3) standar sarana dan prasarana; (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan; (5) standar pembiayaan; (6) standar kompetensi lulusan; (7) standar pengelolaan; serta (8) standar penilaian pendidikan. Sedangkan dimensi standar kualitas pendidikan dasar (primary education) yang dikemukakan oleh UNICEF (2000: 3) mencakup: (1) Peserta didik (learners) yang sehat, mendapatkan nutrisi dengan baik dan siap untuk berpartisipasi dalam pembelajaran, serta mendapat dukungan dari keluarga untuk belajar; (2) Lingkungan (environtment) yang sehat, aman, melindungi, memfasilitasi perbedaan gender,  dan menyedikan sumber daya dan fasilitas belajar yang memadai; (3) konten isi yang relevan dengan kurikulum dan materi-materi yang mengasah kemahiran keterampilan-keterampilan dasar, terutama terkait dengan kemampuan literasi, kemampuan matematis dan keterampilan-keterampilan hidup, serta pengetahuan mengenai gender, kesehatan, nutrisi, pencegahan HIV/AIDS dan perdamaian; (4) standar proses melalui guru-guru yang terlatih dengan menerapkan pembelajaran yang berpusat kepada siswa (student-centered) dan mampu mengelola kelas dengan baik, mahir dalam melakukan penilaian untuk memasilitasi pembelajaran dan mengurangi perbedaan antar siswa; serta (5) outcomes yang memiliki pengetahuan, keterampilan-keterampilan, dan sikap yang berkaitan dengan tujuan nasional pendidikan dan berperan positif dalam masyarakat. 
Berdasarkan beberapa aspek tersebut, informasi terkait kualitas pendidikan di Indonesia berdasarkan hasil studi Internasional jika disandingkan dengan beberapa negara lain dipaparkan sebagai berikut. 
Berdasarkan data yang dirilis UNESCO dalam Education For All Global Monitoring (EFA-GMR), indeks pembangunan pendidikan untuk semua ( The Education For All Development Index) atau biasa disingkat EDI pada tahun 2014 menduduki peringkat 57 dari 115 negara di dunia dan berada dalam kategori rendah berdasarkan kategori penilaian angka partisipasi mengenyam pendidikan di sekolah dasar, melek huruf, kesetaraan gender, dan masih bertahannya siswa sekolah hingga kelas 5 SD (UNESCO, 2015).
Akses pendidikan di Indonesia selama dekade terakhir mengalami peningkatan. Angka partisipasi kasar untuk pendidikan dasar di tahun 2013-2014 meningkat sebesar 110,68% dan angka partisipasi murni 93,30%. Peningkatan secara signifikan dalam angka partisipasi kasar pendidikan menengah dari 76,1% di tahun 2001 naik menjadi 96,9% pada tahun 2013 dengan angka partisipasi murni meningkat dari 58,6% di tahun 2001 menjadi 76,5% pada tahun 2013 (EOCD, 2015:105). Namun angka pendaftaran dalam pendidikan dasar dan menengah di Indonesia masih tertinggal jika dibandingkan berberapa negara ASEAN seperti thailand dan malaysia, meskipun masih mengungguli Filipina. Berikut merupakan data akses pendidikan dasar yang dirilis EOCD (2015: 106).
Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan akses, ketersediaan dan keterjangkauan pendidikan, serta kualitas pendidikan di Indonesia. Beberapa kebijakan seperti pengalokasian dana pendidikan diluar gaji guru dan biaya pendidikan kedinasan minimal 20% APBN dan 20% APBD untuk sektor pendidikan (UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional) serta Bantuan Operasional Pendidikan (BOS) sebagai upaya mewujudkan wajib belajar 9 tahun (SD dan SMP) yang dikenalkan sejak tahun 2005 memiliki dampak yang signifikan terhadap peningkatan pemerataan akses pendidikan terutama di daerah terpencil (EOCD, 2015: 102). Akan tetapi angka putus sekolah di Indonesia masih tinggi, hal tersebut karena permasalahan akses pendidikan tidak hanya dilatarbelakangi oleh biaya melainkan juga faktor-faktor lain seperti faktor demografi, pemikiran masyarakat, dan kemiskinan, dimana seorang anak dipekerjakan untuk membantu perekonomian keluarga. Selain data yang dilansir oleh UNESCO, sebuah organisasi kerja sama dan pembangunan ekonomi, Organization for Economic Co-Operation and Development (EOCD) melalui Programme for International Student Assessment (PISA) yang dirilis pada tanggal 13 Mei 2015 menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat 52 dari 60 negara yang bergabung dalam PISA. Skor tersebut sedikit beranjak dari periode sebelumnya yaitu pada tahun 2012 dimana Indonesia menduduki peringkat 64 dari 65 negara. Skor tersebut menunjukkan bahwa kemampuan sains, matematika, dan literasi siswa Indonesia masih rendah jika disandingkan dengan negara-negara lain. Hasil yang sama juga ditunjukkan dari skor TIMSS dimana Indonesia berada di peringkat 42 dari 47 negara dengan skor 397.
Menurut hasil survei EOCD (2015), pendidikan Indonesia telah menciptakan kemajuan yang baik dalam membangun fondasi dan menciptakan kualitas pendidikan dasar. Kemajuan telah dilakukan dengan sasaran penyediaan guru yang berkualitas, ruang kelas, dan bahan ajar. Kualitas praktek mengajar dan inovasi bermunculan di tingkat sekolah dasar. Pembelajaran berlangsung komunikatif dan berlangsung dua arah antara guru dan siswa. Namun kemajuan yang kuat tersebut tidak seluruhnya dialami oleh daerah-daerah di seluruh pelosok negeri. Kesenjangan regional dan kabupaten pada daerah-daerah terpencil masih menjadi isu utama permasalahan pendidikan di Indonesia.   
Pada negara-negara berkinerja tinggi, pendistribusian sumber daya terjadi secara merata baik di daerah pedesaan maupun perkotaan. Namun yang terjadi di Indonesia pendistribusian sumber daya di beberapa daerah di Indonesia masih ada gap seperti yang dilaporkan oleh beberapa kepala sekolah di daerah pedesaan tentang ketersediaan sumber daya yang kurang memadai (PISA, 2012)
Data yang dirilis EOCD (2013) rasio siswa dan guru pendidikan dasar di Indonesia adalah 18,6.  Rasio ini lebih tinggi dari rata-rata EOCD yang mencapai 15,4 dan sebagian negara tetangga seperti Thailand yang mencapai 16,3 dan Malaysia (12,5). Namun di daerah terpencil dan pedesaan, kekurangan guru masih menjadi masalah. Guru-guru berkualitas masih terbatas dan banyak ditemui guru yang sering kali tidak masuk mengajar.

B.     Solusi-solusi yang Memungkinkan untuk Diterapkan
Meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia dihadapkan pada tantangan yang sangat besar terkait dengan negara Indonesia yang luas dan beragam. Indonesia merupakan populasi penduduk terpadat ke empat di dunia yang tersebar di 33 provinsi dan lebih dari 500 kabupaten dengan sekitar 55 juta siswa, 3 juta guru, dan 236.000 Sekolah (Mendikbud,2013). Namun hal tersebut tidak menyurutkan semangat kita untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Salah satu tujuan pembelajaran pada mata kuliah peningkatan kualitas pendidikan di sekolah dasar ini adalah mengeskplor potret pendidikan di seluruh belahan dunia sebagai gambaran mengenai kebijakan-kebijakan pendidikan yang mungkin dapat diadopsi sebagai solusi terhadap permasalahan pendidikan di Indonesia. Berdasarkan hasil analisis jurnal, diskusi, dan kajian selama perkuliahan peningkatan kualitas pendidikan di sekolah dasar, beberapa solusi yang mungkin dapat diterapkan berdasarkan permasalahan-permasalahan pendidikan dasar di Indonesia seperti yang telah dipaparkan adalah sebagai berikut.

Peningkatan kualitas pendidik
Pendidik dalam hal ini guru, memiliki peranan penting dalam keberhasilan pendidikan. Untuk mencetak produk-produk pendidikan yang berkualitas diperlukan pendidik-pendidik yang profesional. Proesionalitas guru diukur melalui standar pendidik dan tenaga pendidikan dimana guru harus memiliki 4 kompetensi utama sesuai yang termuat dalam undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan dosen, meliputi kompetensi paedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
Untuk mencetak generasi-generasi abad ke-21 diperlukan guru-guru abad ke-21. Berkaca dari beberapa negara dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia, terbukti sangat menjaga profesionalitas gurunya baik dari proses rekruitmen maupun peningkatan kualitas guru-guru yang telah berprofesi. Seperti negara Singapura, negara yang menyebut dirinya sebagai noktah kecil dalam peta tanpa sumber daya mampu menciptakan perubahan yang revolusioner dalam bidang pendidikan sehingga selalu menduduki peringkat teratas pendidikan berdasarkan hasil survei EOCD. Negara tersebut juga terkenal unggul dalam pembangunan ekonomi dan  kemajuan teknologinya. Mereka berkomitmen bahwa melalui pendidikan, mereka mampu menciptakan kemajuan dan denga itulah perekonomiannya menjadi lebih baik. Berkaca dari Singapura, negara tersebut menerapkan proses rekruitmen yang ketat dimana mereka membidik lulusan terbaik universitasnya yang kemudian melalui serentetan tes dan wawancarai untuk menjadi calon guru yang kemudian di kirim ke institusi pendidikan di Singapura, The National Institute of Education (NIE) sebagai institusi yang  menyelenggarakan pelatihan (training) untuk guru. Untuk meningkatkan kompetensi guru, pemerintah Singapura setiap tahunnya tidak hanya menyediakan pendidikan dan pelatihan untuk 2000 guru baru tetapi juga meningkatakan proesionalitas 31.000 guru yang telah berprofesi di setiap jenjang pendidikan. Setiap guru adalah longlife leaner atau pembelajar sepanjang hidup pada berbagai level. Setiap guru harus aktif mengembangkan diri dan meningkatkan profesionalitasnya dengan melibatkan diri pada pembelajaran yang berkesinambungan sepanjang hayat. Selain itu, ada juga pendekatan sistematik dalam pengembangan tenaga pendidik yang telah mengajar di sekolah  untuk meningkatkan profesionalitasnya. Bahkan hal tersebut didukung oleh kementrian pendidikan dengan memberikan memberikan waktu 100 jam untuk setiap guru mengembangkan proesionalitasnya agar menjadi lebih baik. Departemen pendidikan juga  menyediakan forum untuk guru berbagi, belajar bersama, dan saling memberikan masukan untuk meningkatkan keterampilan mengajar yang disebut dengan PLC (Professional Learning Communities) yang melibatkan sedikitnya 217 sekolah di Singapura (EOCD, 2010).
Tidak jauh dari kebijakan yang diterapkan di Singapura, Indonesia juga menerapkan berbagai kebijakan sebagai upaya peningkatan kualitas guru di Indonesia diantaranya melalui pelatihan, sertifikasi, dan Program Provesionalisme Guru (PPG). Gelombang reformasi pendidikan terkait dengan sertifikasi meningkatkan kualifikasi tenaga pengajar, dimana sertifikasi mensyaratkan pendidikan minimal Diploma 4 (D4) atau Sarjana dan  mengajar minimal 24 jam per minggu. Hal tersebut membawa dampak pada peningkatan kualifikasi guru yang meraih gelar sarjana sekitar 40% dan pada tahun 2011 sekitar 500.000 guru mendaftarkan diri di Universitas Terbuka (World Bank, 2012d). Penerapan kebijakan sertifikasi tersebut diharapkan mampu meningkatkan input calon guru, meningkatkan kualifiaksi dan profesionalitas guru, serta menangani isu- isu terkait rendahnya gaji guru dan memotivasi guru dalam mengajar.

Pendistribusian Guru Secara Merata
Sejak tahun 2000an Indonesia berkembang pesat dan signifikan alam ekspansi perekrutan guru dan melakukan reformasi distribusi dan manajemen (Tobias etal, 2014:22). Rasio guru dan murid. Data yang dirilis EOCD (2013) rasio siswa dan guru pendidikan dasar di Indonesia adalah 18,6. Rasio tersebut meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dimana pada tahun 2011 mencapai 15,9. Pemerintah terus berupaya untuk memperrbaiki keefektifan guru serta pendistribusian guru di berbagai wilayah. Menurut bapak Anies baswedan, masalah pendistribusian guru dan pemerataan akses pendidikan dapat diatasi dengan pembangunan insfrastruktur dan ekonomi di daerah pedesaan. Hal tersebut karena salah satu faktor meningkatnya arus urbanisasi disebabkan karena masyarakat tidak menemukian apa yang mereka butuhkan di lingkungan tempat tinggal mereka.

Membangun Kemitraan Bersama antar strakeholders Sekolah
Stakeholder merupakan individu atau kelompok yang berkaitan atau memiliki peran dalam pencapaian misi dalam sebuah organisai sekolah. Stakeholders dibedakan menjadi: (1) internal stakeholders yaitu seseorang atau kelompok yang bekera dalam sistem sekolah setiap hari an mengendalikan proses/kegiatan yang terjadi. Seperti diantaranya adalah staf sekolah, staf distrik, dan komite sekolah; sedangkan (2) external stakeholders meliputi siapapun yang berada di luar kegiatan keseharian di sekolah namun ikut mempengaruhi hasil kegiatan sekolah seperti orang tua dan lingkungan masyarakat (Sustaining Reading First, 2009:4-5).
Pendidiksn tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah. Untuk meningkatkan kualitas output dan outcomes produk pendidikan diperlukan sinergi bersama antar stakeholders sekolah. Hal ini sejalan dengan yang dipaparkan UNICEF (2009) bahwa proses belajar anak berlangsung sepanjang waktu, dimanapun sepanjang hayatnya. Proses belajar anak tidak hanya terbatas saat anak berjalan memasuki pintu sekolah dan berakhir ketika anak keluar dari pintu tersebut. Setiap anak membawa berbagai persepsi dan keyakinan maupun perilaku yang mereka dapatkan di lingkungan keluarga, lingkungan bermain, dan lingkungan masyarakat. Demikian pula sepulang dari sekolah anak mendapatkan pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan baru. Oleh karena itu sangat diperlukan adanya pembangunan persepsi, pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang saling mendukung antara lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat. Dalam hal ini, komite sekolah mengambil peran untuk menjembatani sekolah dengan keluarga siswa dan lingkungan masyarakat. Sekolah tidak mampu menjalanankan peranannya secara Independen, melainkan perlu melibatkan beberapa aktor pendidikan seperti orang tua, masyarakat, dan komite sekolah. Sangat penting bagi sekolah untuk membangun kemitraan bersama membangun komunikasi dan melibatkan peran setiap stakeholders dalam penetapan kebijakan. Selain itu meningkatkan kemitraan dengan orang tua dapat dilakukan dengan training dan voluntering terhadap orang tua serta memberikan support dan pengetahuan kepada orang tua akan perannannya dalam perkembagan anak (Sustaining Reading First, 2009: 6). Kesuksesan kemitraan sekolah dengan lingkungan luar baik keluarga maupun masyarakat, tidak terjadi secara independen melainkan terintegrasi dengan baik untuk mencapai visi dan misi sekolah (Roekoel, 2008).

Fokus Pada Reformasi di Level Sekolah/Kelas
Salah satu jurnal yang pernah penulis kaji, membahas tentang pentingnya reformasi di tingkat sekolah atau kelas. Reformasi pendidikan  yang terjadi pada skala nasional belum tentu sesuai untuk diterapkan pada level daerah atau sekolah yang notabenya kondisi negara Indonesia yang memiliki kondisi daerah dan budaya yang beragam. Reformasi tersebut lebih cenderung sebagai standar yang harus dipenuhi dalam skala nasional, dan sekolah memiliki otonomi dalam menerapkan kebijakan tersebut sesuai dengan kondisi lingkungan dan kapasitas sekolah. Reformasi sekolah perlu menjadi fokus dalam peningkatan kualitas pendidikan mengingat sekolah lah yang lebih mengetahui potensi lingkungan masyarakat di sekitar sekolah serta potensi dan karakteristik setiap peserta didiknya. Sekolah perlu terus meng-upgrade kebijakan-kebijakan yang ada agar relevan dengan kebutuhan di lingkungan mesyarakat dan perkembangan zaman yang sangat dinamis. EOCD (2015:157) mengemukakan bahwa reformasi pada level sekolah seringkali lebih terasa secara langsung dampaknya. Reformasi sekolah menyoroti  3 elemen kunci untuk meningkatkan kualitas sekolah meliputi fokus pada pembelajaran di kelas, membangun kapasitas sekolah, serta keselarasan kebijakan. Memokuskan pada praktek di kelas mencakup pengenalan kurikulum, penggunaan metode dan model pengajaran, serta pemanfaatan data hasil evaluasi untuk merancang pembelajaran atau kebijaka  selanjutnya. Dalam ini guru berperan sebagai aktor kunci. Memfokuskan perbaikan di kelas berarti mengefisienkan peran guru dalam mengajar dan peran siswa sebagai pelajar dalam suatu bingkai proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan NCAA (2010) bahwa kelas adalah agen perubahan (classrooms as sites of change).

Menciptakan Lingkungan Belajar Inovatif
Lingkungan belajar dapat diartikan sebagai sebuah ekosistem mencakup peserta didik, pendidik, keluarga, komunitas, dan sumber daya seperti properti dan teknologi yang mendukung proses pembelajaran untuk menghasilkan suatu produk pembelajaran (EOCD, 2013:3; Lindsay & Edmunds, 2016). Pendidikan sebagai agen pencetak kader-kader pelukis masa depan bangsa, dituntut untuk responsif terhadap perubahan dan kebutuhan zaman. Pendidikan, layaknya dunia Industri harus mampu menciptakan inovasi-inovasi untuk terus menjaga dan meningkatkan kualitasnya. Produk-produk pendidikan dalam hal ini output dan outcomes pendidikan yang berkualitas dan kompetitif secara global saat ini harus relevan dengan kompetensi-kompetensi yang menjadi fokus pencapaian pada abad ke-21ini.
Peserta didik pada abad ke 21 memerlukan lingkungan belajar yang mendukung pengembangan skills abad ke 21. Pendapat ini didukung oleh NCAA (2010) bahwa lingkungan belajar bagi anak usia dini dan anak usia sekolah dasar memerlukan lingkungan yang mampu menumbuhkan, memupuk, dan mengembangkan keterampilan-keterampilan abad ke 21. Sekola harus mampu membangun tradisi dan kekuatan di sektor sekolah dengan menciptakan kombinasi yan unik dari kekuatan pengajaran berkualitas tinggi, hubungan yang baik antara siswa dan guru, rasa kepedulian dan komitmen yang kuat di sekolah, dan keterbukaan terhadap hal-hal yang baru dan berbeda. Lingkungan belajar yang inovatif versi EOCD (2013) yang relevan dengan pembelajaran abad 21 didefinisikan sebagai berikut: (1) proses pembelajaran disusun berbasis penelitian, (2) melakukan inovasi yang berfokus pada unsur dan dinamika inti pedagogis, (3) organisasasi kepemimpinan, evaluasi dan tindak lanjut, serta desain strategi yang sesuai, dan (4) terbuka terhadap kemitraan baik. 


DAFTAR PUSTAKA

Griffin, et al. (2012). Assesment and Teaching of 21st Learning Century Skills.Heidelberg: Spinger
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2013). Sekilas Sektor Pendidikan di Indonesia 2012: Prestasi dan Tantangan. Jakarta: Departemen Pendidikan  Nasional.
Lindsay,& Edmunds, B. (2016). Innovative Learning Environments diunduh dari https://23teaching.com/2016/08/01/16-innovative-learning-environments/ pada tanggal 14 Juni 2017.
National Council for Curriculum and Assesment (NCAA). (2010). Innovation happens: Classroom as site of change.
OECD (2010), Strong Performers and Successful Reformers in Education: Lessons from PISA for the United States. EOCD Publising http://dx.doi.org/10.1787/9789264096660-en
OECD (2013), Education at a Glance 2013: OECD Indicators, OECD Publishing, Paris, http://dx.doi.org/10.1787/eag-2013-en.
OECD (2014), PISA 2012 Results: What Students Know and Can Do  (Volume  I,  Revised  edition,  February  2014):   Student  Performance   in Mathematics, Reading and Science, PISA, OECD Publishing, http://dx.doi.org/10.1787/9789264208780-en.
OECD (2015), Education Policy Outlook 2015: Making Reforms Happen, OECD Publishing. http://dx.doi.org/10.1787/9789264225442-en
OECD. (2013). Innovative Learning Environments. Santiago Conference Report, OECD Publishing.
OECD.(2013). Innovative Learning Environments. Educational Research and Innovation, OECD Publishing.
OECD/Asian Development Bank. (2015). Education in Indonesia: Rising to the Challenge, OECD Publishing, Paris. http://dx.doi.org/10.1787/9789264230750-en.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan.
Roekoel, D.V. (2008). Parent, Family, Community Involvement in Education. National Education Association Article
Sustaining Reading First. (2009). Sustainability Series Number 6: Engaging Stakeholders.
Tobias, et all. (2014). Towards Better Education Quality Indonesia,s Promising Path. London: Overseas Development Institute
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.
UNESCO. (2015). Education for All 2000-2015: Achievments and Challenges. Paris: United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
UNICEF. (2000). Defining Quality in Education. New York: Publication of UNICEF
UNICEF. (2009)Child Friendly Schools. Chapter 4 School and Community. New York: UNICEF Division of Communication
World Bank. (2012d). ‘Teacher Certification in Indonesia: a Doubling of Pay, or a Way to Improve Learning?Policy Brief 73264. Washington, DC: World Bank.

You May Also Like

0 comments