Don’t stop our civil war!

by - Desember 18, 2012

Ini cerpen pertamaku jaman SMA yang dimuat. Waktu SMA aku ngirim ini ke sebuah majalah dan hampir satu tahun kemudian, kalo ngga salah 30 November 2012 baru dapet telfon dari redaksinya kalo mau di muat. Lama bangeet, sampe lupa pernah ngirim. Soalnya waktu itu cuma iseng doang. Yaudah deh, happy reading dan semoga menghibur J


“Huft” keluhku seraya membanting remote ke sofa. Aku sangat jengkel dengan kakakku yang super jail dan nggak mau mengalah itu.
“Harusnya yang lebih tua itu mengalah!” Sambungku setengah membentak.
"Terserah gue dong.” Jawabnya dengan begitu santainya di atas penderitaanku karena harus merelakan episode terakhir film kesukaanku.
“ Lagian apa bagusnya sih nonton orang lari-lari rebutan bola?”Aku makin jengkel karena perkataanku yang­ tidak digubrisnya. Ia hanya diam memelototi tayangan sepakbola kesukannya. Hari ini tim andalannya tengah bergelut di lapangan.
            Semenjak televisi di kamar depan rusak, satu-satunya televisi  yang tersisa hanyalah yang berada di ruang keluarga ini. Akibatnya, sering terjadi perang saudara yang nggak kalah dahsyatnya dengan perang dunia kedua  memperebutkan kekuasaan sebagai pemegang remote. Sering juga untuk menghindari peperangan kami mengadakan genjatan senjata dengan membuat perjanjian  dan jadwal pemegang kuasa remote yang berarti berkuasa penuh untuk mengganti-ganti chanel televisi sesuka hati.
            Tiba-tiba terselinap di memori otakku bahwa kali ini masa genjatan senjata telah usai. Dengan segera kulontarkan senjata andalanku.
            “Ka, ayolah. Ini episode terakhir.” Kataku setengah merengek dengan air mata yang kupaksakan mengalir di pipiku. Ia hanya bergeming, asyik dengan tontonannya.
            “Kaaa…” rengekku lagi dengan suara yang lebih memelas, tetapi ia tetap tak bergerak sedikitpun. Matanya terus menatap lurus kearah televisi tanpa berkedip.
            “Gooooll….!” Serunya seraya menghentak-hentakkan kakinya di lantai.
Aku makin jengkel. Bisa-bisanya ia berteriak dan berjingkrak-jingkrak di atas penderitaanku. Akupun mulai putus asa dan pasrah melewatkan episode terakhir yang malang itu. Kini air mataku menetes lebih deras tanpa kupaksakan. Tiba-tiba kakakku yang super jail itu sejenak melirikku dan meletakkan remote yang telah dipungutnya ke meja.
            “Dasar cengeng!” ejeknya seraya mengacak-acak rambutku dan beranjak pergi. Kekuasaan remote kini di tanganku tetapi di hatiku terbersit rasa bersalah. Tak ingin sedetikpun rasanya aku melewatkan film favoritku. Pasti begitu juga dengan kakakku. Sangat berat untuknya meninggalkan tayangan pertandingan sepakbola favoritnya. Seharusnya aku mengerti. Tapi, Ah sudahlah. Memang harus ada yang berkorban untuk sebuah perdamaian.
            Aku mengerti kelemahan kakakku. Salah satunya ialah dia tidak suka melihat cewek menangis. Itulah kelemahan yang sering aku manfaatkan.
____

Ka jemput gue di sekolah dong! Kesorean nih dah nggak ada angkot lewat.
Ku tekan tombol ok pada pilihan send. Aku  berjalan mondar-mandir seraya berulang kali melirik jam tanganku. Tiba-tiba HPku bergetar. Terlihat nama Mr. jail disana. Ada SMS dari Mr. jail:
Y
“Huft nyebelin!Walaupun udah kubilang seribu kali supaya nggak balesin SMS cuma satu huruf,  masih aja dilakuinnya. Lagian mau berapa huruf bayarnya juga sama. Kebiasaan jelek kakakku itu memang nggak bisa hilang. Bales “Oke”  Cuma “k”, bales “iya” Cuma “y” dan  “nggak” Cuma “g”. Dasar pemalas!” keluhku.  Tak lama kemudian kakakku datang dengan motor  kesayangannya.
“Naek” Perintahnya.
“Nggih, Mbah.”. Jawabku dengan nada jutekku.
Di perjalanan seperti biasanya kupegang pundak kakakku erat-erat. Kulirik sedikit ke arah speedometer. Jarum  speedometer menunjukkan angka 100.
“Jangan kenceng- kenceng donk ka!” komplainku seraya memukul pundaknya.
Ia hanya diam mendengar komplainku dan mempercepat laju motornya. Ku yakin kini ia tengah menyeringai lebar atas ketakutanku. Mendekati area persawahan ia memperlambat laju motornya dan menepi ke sebelah kanan jalan.
“Ngapain kita berhenti di sini, ka? Udah sore nih aku mau ngerjain tugas!”Gerutuku
“Di otakmu cuma ada pelajaran ya. Otak juga perlu di-refresh kali biar nggak cepet rusak.” Ejeknya seraya menunjuk keningku.
“Kayak komputer aja di-refresh. Otakmu tu yang harus di scan biar trojan-trojannya ilang.” sanggahku
Ia duduk tak menanggapi ocehanku. Untuk sejuta kalinya ia mengacuhkan perkataanku dan membuatku malu pada diriku sendiri. Dengan terpaksa aku turut duduk di sampingnya. Memandangi sawah yang membentang luas, pohon-pohon kelapa yang melambai-lambai,dan  burung-burung yang berterbangan membentuk formasi yang unik.
“Bukannya ini yang membuat lo iri?” tanyanya membangunkan lamunanku.
“Eh…” Aku mengernyitkan keningku tak mengerti apa yang ia tanyakan.
Ia tak menanggapi pertanyaan yang terekspresi pada wajahku. Kini kami duduk dalam diam. Hening. Sejenak kulirik ke arahnya. Aku tak pernah melihat ia setenang ini menghadap ke hamparan luas langit merah. Perlahan sang surya mulai masuk  ke dalam perut bumi. Kututup mataku meresapi nikmat Tuhan yang amat besar ini. Merefresh otakku yang seharian ini berhadapan dengan tulisan dan angka. Kakakku benar. Kini  aku sependapat dengannya.
“Hei, bangun! Di ajak liat sunset malah tidur.” Kata-kata kakakku mengajakku kembali ke dunia nyata.
“Eh..” aku kehilangan kata-kata. Nyawaku belum sepenuhnya kembali.
“Pulang ”
“oh..” hanya kata itu yang keluar dari mulutku. Sejenak aku menjadi orang bodoh yang kehilangan kata-kata. Aku yakin ia menyadari itu dan menyeringai kepadaku.
____

Seminggu ini dunia tampak sepi karena salah satu pihak yang terlibat perang saudara tengah sibuk dengan aktifitasnya membuat laporan percobaan yang harus dikumpulkan minggu depan. Kubiarkan Mr.Jail menguasai remote untuk sementara waktu.  Setelah laporanku selesai, aku pasti akan menggencarkan serangan dari darat, laut, dan udara merebut kekuasan dari tangannya.
Hari-hari yang kami lalui minggu ini juga tampak sepi. Walaupun kami tinggal seatap, tetapi  kali ini kami jarang bercanda maupun bertengkar. Kalaupun berpapasan hanya sekedar bertegur sapa, senyum, atau mengacak-acak rambutku saja. Akhir-akhir ini ia menjadi pendiam. Aneh.
____

            “Oh my god, udah jam setengah tujuh.” Seruku setelah melihat angka yang ditunjuk kedua jarum jam. Dengan segera kuraih handukku dan beranjak menuju kamar mandi. Kukeluarkan jurus jangkrik cebokku dengan hanya menghabiskan waktu lima menit di dalam kamar mandi.
“ Dek, ayo berangkat!  udah siang nih. Kalo kelamaan gue tinggal lho.” Teriak kakakku yang telah siap dengan motornya.
“Iya” jawabku seraya membereskan dasiku. Dengan segera kuraih tasku dan berlari keluar. Kakak tengah berdiri tak sabar di sana.
“Dasar cewek dandannya lama banget sih. Bedaknya ketebelen tuh!” ledeknya.
“Orang gue nggak pake bedak ko. Udah kesiangan. Udah bohong ketahuan lagi. Malu-maluin!” Ejekku. Seperti biasa ia mengendarai motornya dengan kecepatan yang tidak wajar dan seperti biasanya juga kupukul-pukul pundak kakakku memintanya untuk memperlambat laju motornya. Namun ia hanya bergeming, berkonsentrasi dengan motornya. Kupukul pundak kakakku keras karena aku sudah tak mampu lagi menahan traumaku. Aku takut kejadian kecelakaan bersamannya terulang kembali. Ia memperlambat laju motornya dan menepi di persimpangan jalan antara sekolahku dan sekolahnya. Alasan mengapa kami tidak sekolah di SMA yang sama adalah karena ia tidak lulus tes seleksi masuk di SMAku yang tergolong SMA favorit bagi para pelajar di daerahku, bahkan tak jarang yang jauh-jauh datang dari luar kota.
“Turun! lo naek angkot aja.”
“Tapi, ini kan udah siang ka. Kalo gue telat gimana?”
“Siapa yang bilang masih pagi? Yang kelamaan dandan siapa? Ha? Kalo gue nganterin lo, ntar gue yang telat.” Iapun kemudian pergi menghilang dari hadapanku. Air mataku mengalir deras. Sejuta kutukan keluar dari mulutku untuknya. Tak lama kemudian angkotpun datang. Akupun segera beranjak naik.
____

  Bel berbunyi tanda waktu istirahat telah usai. Sekarang adalah pelajarannya Mr. Killer, guru paling galak plus super disiplin. Kadang bel masuk belum bunyi aja beliau telah stand by di depan kelas. Udah gitu dia paling nggak suka dengan siswa yang telat. Telat masuk dibelakangnya  aja udah nggak boleh masuk.  Beliau juga nggak suka dengan siswa yang nggak ngerjain PR, tidur di kelas, apalagi bolos pelajaran. Dengan begitu aku jadi nggak ada waktu buat ngantuk. Padahal tadi malam habis lembur ngerjain laporan yang numpuk.
“Huft.. biasanya kalo kayak gini mataku udah nggak bisa di ajak kompromi lagi. Pengennya merem mulu” gerutuku.
            Dug, dug, dug,,, temen sekelasku berlarian masuk kelas bak tawon bubar dan duduk di bangkunya masing-masing. Udah dapat ditebak kalo Mr. Killer pasti udah menuju ke sini.
            “ God morning, student. How are you today?” sapa Mr. Killer begitu duduk di mejanya.
            “Fine, thanks. And you?” jawab kami serempak.
            “Not bad
“Andhika Saputra, please come here!”  Panggil Mr.Killer dengan nada yang agak meninggi.
Seperti biasa sebelum pelajaran dimulai Mr.Killer memanggil  salah satu muridnya untuk maju dan ditanyai seputar pelajaran yang sudah diajarkan pertemuan sebelumnya. Temanku, Andhika sudah dapat ditebak pasti jantungnya berdebar-debar. Akupun pernah merasakan apa yang tengah dirasakannya sekarang.
            “Please clean the whiteboard!”  Kata Mr.Killer seraya mengacungkan penghapus Whiteboard. Dhikapun menghapus whiteboad dengan agak gemetar. Tidak bisa menjawab pertanyaan Mr. Killer sama saja mempermalukan diri sendiri di depan anak satu kelas.
“Okay. Sit down, please.” Perintah Mr. KillerSejenak aku terpaku mendengar perintah dari Mr.Killer, kulihat wajah Dhika tak setegang sebelumnya. Dia pasti merasa lega karena tak ditanyai materi yang telah berlalu dari kepalanya.
“DDerrrrr…Ddddderrrr” HPku bergetar. Tentunya dengan sembunyi-sembunyi kubuka sms yang ternyata dari ayah.
Air mataku mengalir deras setelah membaca sms itu. Ku bereskan bukuku yang berantakan di atas meja. Kuraih tasku dan segera beranjak meninggalkan tempat dudukku menuju Mr.Killer.
“Maaf, Pak. Saya tidak bisa mengikuti pelajaran Bapak. Saya harus ke rumah sakit. Kakak saya kecelakaan” Jelasku seraya tak kuasa membendung air mataku yang mengucur deras membasahi pipiku.
Aku segera berlari setelah mendapat ijin darinya.  Aku berlari melewati koridor sekolah dengan bayang-bayang wajah kakakku yang berputar-putar di kepala.  Air mataku terus mengalir tak dapat ku bendung lagi. Semua mata penghuni lapangan tertuju padaku. Aku tak peduli. Aku hanya ingin bertemu kakakku. Musuh bebuyutanku di dunia remote. Musuh bebuyutan yang sangat ku sayayangi.  Begitu sampai lobi, kuhentikan langkahku menatap sosok tegar ayahku. Ia tengah berbicara pada seorang guru piket untuk mengajakku pergi bersamanya. Ia terlihat sangat tegar bahkan ia tersenyum saat melihatku.
Aku heran mengapa ayah tidak membawaku ke rumah sakit. Ia justru membawaku pulang ke rumah. Pikirku ayah mau mengambil sesuatu di rumah sebelum ke rumah sakit. Sesampainya di rumah, aku mendapat jawaban atas pertanyaanku itu. Sebuah bendera putih berkibar  di halaman rumahku. Berjingkrak riang terkena  terpaan angin. Bendera kemenanganku di dunia remote, tetapi bendera kapiluanku di dunia nyata.
Air mataku tak berhenti  mengalir sampai mobil yang ayah kendarai memasuki halaman rumah. Aku memberanikan diri untuk bertanya.
“ Yah, ada apa ini? mengapa banyak orang di sini dan meng… hua…” Aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku. Tangisku meledak begitu otakku memerintahkan mulutku untuk mengatakan bendera putih. Namun ayah tau apa yang ku maksud. Ia memelukku erat. 
Don’t stop our civil war! Jangan hentikan perang saudara kita! Jangan hentikan perang kita di dunia remote! Kataku dalam hati, tak kuasa menahan tangis.
Aku dan kakakku memang selalu berselisih saat bersama. Namun itulah cara kami menunjukkan rasa sayang kami. Cara pengungkapan rasa sayang yang agak berbeda dengan kebanyakan orang. Seperti yang kulakukan saat kakakku bertengkar dengan ibu yang membuatnya gengsi untuk makan. Padahal kutahu ia sangat kelaparan. Namun ia hanya mengurung diri di kamar. Karena tidak tega, aku membeli beberapa bungkus roti di warung samping rumah dan menyusup ke dalam kamarnya. Kulemparkan semua roti itu ke kepala kakakku dan aku bersembunyi di bawah tempat tidur. Mengingat itu dan banyak peristiwa-peristiwa konyol yang kualami bersamanya kadang membuatku tersenyum-senyum sendiri.
Oh iya. Tahukah kalian dimana kakakku kecelakaan? Ia kecelakaan di persimpangan jalan di mana ia meninggalkanku. Ternyata pagi itu ia kembali ke tempat itu dan mencariku. Namun apa yang aku lakukan? Aku justru mengatainya dengan kutukan-kutukan amarahku. Kutukan-kutukan yang keluar karena aku tak bisa menjaga mulutku. Kutukan-kutukan yang keluar dalam beberapa detik yang membuatku menyesal untuk waktu bertahun-tahun bahkan seumur hidupku. Kutukan-kutukan yang mungkin mengantarkannya ke liang lahat ini. Oh tuhan, ampuni aku.
Kutegarkan hatiku, mencoba untuk menyerahkan semua kepada Yang Maha Kuasa walau itu sangat sulit. Seperti nasihat ayahku:

“ Kematian itu ada di mana-mana.Tak memandang umur, kedudukan, dan kekayaan. Kematian akan datang pada siapa saja tanpa kita tau kapan ia datang. Tangismu nggak kan membuatnya hidup kembali. Percayalah,  semuanya pasti ada hikmahnya. ”


-END-

You May Also Like

0 comments