Ngga Mau Jadi Guru!

by - Desember 11, 2012

"AKU NGGA MAU JADI GURU!", kata-kata itu yang terlontar dari mulutku saat perbincangan itu. Perbincangan mengenai rencanaku melanjutkan kuliah. Waktu itu aku ngga tau itu hanya candaan mereka untuk meledekku atau emang orang tuaku ingin aku seperti mereka, menjadi seorang guru.

Menjadi seorang guru di negaraku tidaklah seperti di Singapura atau Finlandia, dimana guru sudah memiliki kesejahteraan yang bagus dan memiliki gaji yang cukup besar.  Sehingga wajar kalo di sana profesi guru sangat diidam-idamkan. Lihatlah ibuku, menjadi seorang guru wiyata selama 18 tahun. Pernah mengalami bertahun-tahun mengajar setiap hari tapi tidak digaji. Setelah bertahun-tahun menunggu menjadi guru bantu dengan gaji 750 ribu. Hingga akhirnya ia menjadi guru PNS dengan gaji 2-3 juta perbulan. Butuh waktu 20-an tahun untuk 2-3 juta. Ayahku mungkin sedikit beruntung. Tak lama setelah lulus SPG di umurnya yang ke-21 iya sudah menjadi guru PNS. Mengalami dari dulunya gaji PNS 40 ribu hingga kini menjadi 3-4 jutaan. Aku sering mendengar cerita tetanggaku yang menjadi seorang guru wiyata bakti digaji 50-150 ribu per bulan. Bahkan kadang ada yang berbulan-bulan nunggak belum dibayar. Dengan kondisi ini, apakah kau masih mau kuliah di keguruan? Terlebih kuliah di jurusan apapun saat kamu tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang kamu harapkan, atau kamu tiba-tiba berubah haluan ingin menjadi guru, kamu bisa jadi guru.

Ternyata orang tuaku serius. Mereka ingin aku menjadi seorang guru. Obrolan yang dulu aku kira hanya candaan belaka, ternyata bukan. Mereka benar-benar serius ingin aku menjadi guru Sekolah Dasar a.k.a guru SD. Terbukti, saat ini aku kuliah di sebuah kampus pendidikan prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar.

Pengen nangis setiap kali keinget aku kuliah di sini sekarang. Air mata tiba-tiba ndelewer setiap kali dengerin perkuliahan dari dosen yang selalu ngasih wejangan karena tau kebanyakan mahasiswanya ngerasa kuliah di sini karena ngga ada pilihan lain atau karena kemauan dari orang tuanya (ngga men-genaralisasi, mungkin di luar sana banyak yang kuliah di jurusan ini karena emang cita-cita dan kecintaan mereka. Actually, pas sambutan rektor waktu ospek beliau cerita kalo di kampus pendaftar prodi PGSD lagi membludak dengan rasio paling tinggi ngalahin kedokteran). Gatau gimana, waktu itu kita dikasih tugas bikin tulisan tentang alasan kita kuliah di sini. Alasanku tetap sama karena keinginan orang tua dibubuhi sedikit kenaifan untuk menutupi idealisme. *demi nilai, karena itu tugas dinilai dan aku ngga tau indikator penilaiannya gemana.

Ngga tau kenapa, walaupun aku ngga suka kuliah di sini tapi aku ngga bisa ngga peduli sama nilai. Terkadang ada yang karena dia ngga suka terus ngga berangkat atau ngerjain asal-asalan tapi aku ngga bisa. Aku tetep berangkat ke kampus meskipun kadang di kampus tiba-tiba mewek ngga jelas. Aku tetep ngerjain tugas meskipun kadang tiba-tiba laptop atau kertas basah kena air mata. Aku tetep rela lembur ngga tidur demi bisa ngumpulin tugas tepat waktu (dan sambil nangis). Lucu kalo inget. Pelampiasan aku paling kabur dari asrama main ke tempat temen aku cerita nangis-nangis, doing crazy thing, dan tiba-tiba ngerasa lucu, terus ketawa-ketawa ngga jelas. Gemana ngga? Setiap aku nangis, feeling low, dia selalu nakut-takutin aku sama cerita tetangganya atau temennya dari temen dia yang literally aku ngga tau dia siapa, yang katanya gila karena cita-citanya ngga tercapai. Di ending ceritanya, dia selalu bilang ati-ati loh zah kamu jangan sampe begitu. Alhasil, aku nyelimur cari hiburan entah apapun yang tiba-tiba bikin kita ketawa bareng. You are the best friend ever put!

Sekarang aku lagi sedih banget, tapi udah ngga ada kamu yang bisa aku curhatin put! Kampus yang aku kira bakal jadi jalan keluar, ngga buka pendaftaran tahun ini. Padahal aku udah belajar mati-matian, ikut bimbingan di Jogja, doa siang malem, apapun udah aku lakuin tapi fix ngga buka pendaftaran. Awalnya aku tau info itu dari kakak kelas yang kuliah di sana. Masih berharap kalo itu ngga bener. Tapi setelah keluar pengumuman resminya, bener-bener aku ngerasa no hope.

I felt that this was the lowest point of my life. I found that I had become a shell. I felt like I had no purpose, no dream. I didn't think that my future hold much for me at all.

You May Also Like

0 comments