Ngga Mau Jadi Guru!
"AKU NGGA MAU JADI GURU!", kata-kata itu yang terlontar
dari mulutku saat perbincangan itu. Perbincangan mengenai rencanaku melanjutkan
kuliah. Waktu itu aku ngga tau itu hanya candaan mereka untuk
meledekku atau emang orang tuaku ingin aku seperti mereka, menjadi seorang
guru.
Menjadi seorang guru di negaraku tidaklah seperti di Singapura
atau Finlandia, dimana guru sudah memiliki kesejahteraan yang bagus dan
memiliki gaji yang cukup besar. Sehingga
wajar kalo di sana profesi guru sangat diidam-idamkan. Lihatlah ibuku, menjadi
seorang guru wiyata selama 18 tahun. Pernah mengalami bertahun-tahun mengajar setiap
hari tapi tidak digaji. Setelah bertahun-tahun menunggu menjadi guru bantu
dengan gaji 750 ribu. Hingga akhirnya ia menjadi guru PNS dengan gaji 2-3 juta
perbulan. Butuh waktu 20-an tahun untuk 2-3 juta. Ayahku mungkin sedikit beruntung.
Tak lama setelah lulus SPG di umurnya yang ke-21 iya sudah menjadi guru PNS. Mengalami
dari dulunya gaji PNS 40 ribu hingga kini menjadi 3-4 jutaan. Aku sering
mendengar cerita tetanggaku yang menjadi seorang guru wiyata bakti digaji
50-150 ribu per bulan. Bahkan kadang ada yang berbulan-bulan nunggak belum
dibayar. Dengan kondisi ini, apakah kau masih mau kuliah di keguruan? Terlebih
kuliah di jurusan apapun saat kamu tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang kamu
harapkan, atau kamu tiba-tiba berubah haluan ingin menjadi guru, kamu bisa jadi
guru.
Ternyata orang tuaku serius. Mereka ingin aku menjadi seorang
guru. Obrolan yang dulu aku kira hanya candaan belaka, ternyata bukan. Mereka
benar-benar serius ingin aku menjadi guru Sekolah Dasar a.k.a guru SD.
Terbukti, saat ini aku kuliah di sebuah kampus pendidikan prodi Pendidikan Guru
Sekolah Dasar.
Pengen nangis setiap kali keinget aku kuliah di sini sekarang. Air
mata tiba-tiba ndelewer setiap kali
dengerin perkuliahan dari dosen yang selalu ngasih wejangan karena tau
kebanyakan mahasiswanya ngerasa kuliah di sini karena ngga ada pilihan lain
atau karena kemauan dari orang tuanya (ngga men-genaralisasi, mungkin di luar sana banyak yang kuliah di jurusan
ini karena emang cita-cita dan kecintaan mereka. Actually, pas sambutan rektor waktu ospek beliau cerita kalo di
kampus pendaftar prodi PGSD lagi membludak dengan rasio paling tinggi ngalahin kedokteran). Gatau
gimana, waktu itu kita dikasih tugas bikin tulisan tentang alasan kita kuliah
di sini. Alasanku tetap sama karena keinginan orang tua dibubuhi sedikit
kenaifan untuk menutupi idealisme. *demi nilai, karena itu tugas dinilai dan
aku ngga tau indikator penilaiannya gemana.
Ngga
tau kenapa, walaupun aku ngga suka kuliah di sini tapi aku ngga bisa ngga
peduli sama nilai. Terkadang ada yang karena dia ngga
suka terus ngga berangkat atau ngerjain asal-asalan tapi aku ngga bisa. Aku
tetep berangkat ke kampus meskipun kadang di kampus tiba-tiba mewek ngga jelas.
Aku tetep ngerjain tugas meskipun kadang tiba-tiba laptop atau kertas basah kena
air mata. Aku tetep rela lembur ngga tidur demi bisa ngumpulin tugas tepat
waktu (dan sambil nangis). Lucu kalo inget. Pelampiasan aku paling kabur dari
asrama main ke tempat temen aku cerita nangis-nangis, doing crazy thing, dan tiba-tiba ngerasa lucu, terus ketawa-ketawa
ngga jelas. Gemana ngga? Setiap aku nangis, feeling
low, dia selalu nakut-takutin aku sama cerita tetangganya atau temennya
dari temen dia yang literally aku
ngga tau dia siapa, yang katanya gila karena cita-citanya ngga tercapai. Di
ending ceritanya, dia selalu bilang ati-ati loh zah kamu jangan sampe begitu.
Alhasil, aku nyelimur cari hiburan entah apapun yang tiba-tiba bikin kita
ketawa bareng. You are the best friend
ever put!
Sekarang
aku lagi sedih banget, tapi udah ngga ada kamu yang bisa aku curhatin put!
Kampus yang aku kira bakal jadi jalan keluar, ngga buka pendaftaran tahun ini.
Padahal aku udah belajar mati-matian, ikut bimbingan di Jogja, doa siang malem,
apapun udah aku lakuin tapi fix ngga buka pendaftaran. Awalnya aku tau info itu
dari kakak kelas yang kuliah di sana. Masih berharap kalo itu ngga bener. Tapi
setelah keluar pengumuman resminya, bener-bener aku ngerasa no hope.
I felt that this was the
lowest point of my life. I found that I had become a shell. I felt like I had
no purpose, no dream. I didn't think that my future hold much for me at all.
0 comments