Kuliah Di Sini Bukan Akhir Segalanya

by - Desember 15, 2012

Sang Dosen menyuruh setiap mahasiswa di kelasnya untuk menutup mata. Kemudian ia melontarkan sebuah pertanyaan. “Siapa yang kuliah di sini karena memang cita-cita dan keinginan dari diri sendiri bukan keterpaksaan? Entah keterpaksaan keadaan karena memang tidak diterima di kampus yang kalian inginkan, maupun keterpaksaan orang tua yang ingin anaknya menjadi guru karena ada sertifikasi?” Aku tak tahu berapa anak yang mengacungkan jarinya.

Mendengar cerita-cerita dari dosen-dosen di sini, mendengar wejangan-wejangan mereka, mendengar cerita-cerita mahasiswanya (lagi-lagi tak men-generalisasi karena yang bercerita hanya sebagian entah berapa persen dari populasi), cerita tentang beberapa mahasiswa yang tiba-tiba menghilang saat tahun ajaran baru, dan motivasi-motivasi saat maru, aku mulai berasumsi kalau kasus seperti ini sudah terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Aku tak tahu itu hanya terjadi di kampusku atau dikampus lainnya juga.

Sang Dosen duduk diam sejenak. Suasana menjadi hening. Ia menghela nafas. “Saat kalian berorientasi materi, pengen kaya, hidup mewah. Jangan jadi guru. Jadilah pengusaha.” Ia mulai memberikan kata-kata motivasinya.

“Tapi saat kalian ingin membangun bangsa ini, melahirkan dokter-dokter yang kompeten, polisi, tentara, atau pejabat yang amanah, atau bahkan presiden yang adil dan bijaksana,  jadilah guru yang bisa jadi teladan dan menginspirasi murid-muridnya. Di tangan guru lah terlahir pemimpin yang bijaksana. Ditangan gurulah terlahir pejabat-pejabat negara yang amanah. Di tangan guru juga yang akan melahirkan orang-orang diberbagai profesi lain yang berkompeten.”

Sang Dosen kemudian mulai mengurangi volume suaranya seolah-olah hendak memberikan penekanan terhadap apa yang ingin disampaikannya. “Kalian tau? Bahkan profesi guru yang mungkin saat ini tidak kalian harapkan inilah yang nantinya mengantarkan kalian ke surga. Siapa tau ilmu yang kalian ajarkan menjadi amalan jariyah yang terus mengalir walaupun kalian sudah tiada. Kalian pernah dengar doa-doa di akhir upacara atau di akhir pelajaran?” Sang dosen mulai mengeraskan lagi volume suaranya. “Ya Allah ya Tuhanku, ampunilah ayah ibu, bapak ibu guru, adik-kakak, dan teman-teman kami semua. Ngga ada yang yang doanya mendoakan dokter yang telah menyembuhkan, atau polisi yang telah membantu menyebrangkan mereka”, sesaat kelas mulai riuh terdengar suara tawa beberapa mahasiswa laki-laki.

“Ya bukannya bapak mau merendahkan profesi lain, semua profesi baik. Semua profesi bisa berpotensi mengantarkan siapapun ke surga. Bukan jaminan juga jadi guru pasti masuk surga. Hanya saja bapak ingin kalian jangan rendah diri lah. Kuliah di keguruan bukan jaminan kalian harus menjadi guru. Menjadi guru bukan berarti ngga bisa kaya. Kalau mau jadi guru yang kaya ya bisa aja, jadilah guru yang punya usaha.”

“Jangan di dengarlah kalau ada yang merendahkan yaah guru SD ngajarin ngitung satu sampe sepuluh aja ngga selese, yaah guru SD ngajarin tambah-tambahan doang, yaah guru SD ngajarin nyanyi-nyanyi tepuk-tepuk.”

“Guru SD juga artis, gerak-geriknya jadi pusat perhatian anak. Penampilannya, dandananya ditiru anak, kata-katanya selalu didengar dan dianggap paling benar. Bahkan kadang kalo guru ngajarin materi yang kurang tepat aja, saat orang tua si anak membetulkan, anaknya ngga mau dengar. Dia pasti akan bilang ‘Kata bu guru atau pak guru ngga begitu’”.

“Jadi guru SD bukan hal yang mudah, guru itu digugu lan ditiru. Terlebih guru SD. Anak-anak SD itu jiwa menirunya besar. Masa-masa SD itu masa pembangunan fondasi utama. Penanaman dasar-dasar pengetahuan dan karakter setiap manusia. Saya yakin dari depan saya inilah terlahir guru-guru yang hebat yang akan melahirkan penerus-penerus bangsa yang hebat”

“Kuliah disini bukan akhir dari segalanya. Mutiara akan tetap menjadi mutiara walau terpendam di dasar samudra.” kata-kata penutup beliau dalam motivasi pagi ini.

 As usual, kudapati mataku telah basah karena air mata.

You May Also Like

0 comments