Kuliah Di Sini Bukan Akhir Segalanya
Sang
Dosen menyuruh setiap mahasiswa di kelasnya untuk menutup mata. Kemudian ia
melontarkan sebuah pertanyaan. “Siapa yang kuliah di sini karena memang
cita-cita dan keinginan dari diri sendiri bukan keterpaksaan? Entah
keterpaksaan keadaan karena memang tidak diterima di kampus yang kalian
inginkan, maupun keterpaksaan orang tua yang ingin anaknya menjadi guru karena
ada sertifikasi?” Aku tak tahu berapa anak yang mengacungkan jarinya.
Mendengar
cerita-cerita dari dosen-dosen di sini, mendengar wejangan-wejangan mereka,
mendengar cerita-cerita mahasiswanya (lagi-lagi tak men-generalisasi karena
yang bercerita hanya sebagian entah berapa persen dari populasi), cerita
tentang beberapa mahasiswa yang tiba-tiba menghilang saat tahun ajaran baru,
dan motivasi-motivasi saat maru, aku mulai berasumsi kalau kasus seperti ini
sudah terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Aku tak tahu itu hanya terjadi di
kampusku atau dikampus lainnya juga.
Sang
Dosen duduk diam sejenak. Suasana menjadi hening. Ia menghela nafas. “Saat
kalian berorientasi materi, pengen kaya, hidup mewah. Jangan jadi guru. Jadilah
pengusaha.” Ia mulai memberikan kata-kata motivasinya.
“Tapi
saat kalian ingin membangun bangsa ini, melahirkan dokter-dokter yang kompeten,
polisi, tentara, atau pejabat yang amanah, atau bahkan presiden yang adil dan
bijaksana, jadilah guru yang bisa jadi
teladan dan menginspirasi murid-muridnya. Di tangan guru lah terlahir pemimpin
yang bijaksana. Ditangan gurulah terlahir pejabat-pejabat negara yang amanah.
Di tangan guru juga yang akan melahirkan orang-orang diberbagai profesi lain
yang berkompeten.”
Sang
Dosen kemudian mulai mengurangi volume suaranya seolah-olah hendak memberikan
penekanan terhadap apa yang ingin disampaikannya. “Kalian tau? Bahkan profesi
guru yang mungkin saat ini tidak kalian harapkan inilah yang nantinya
mengantarkan kalian ke surga. Siapa tau ilmu yang kalian ajarkan menjadi amalan
jariyah yang terus mengalir walaupun kalian sudah tiada. Kalian pernah dengar
doa-doa di akhir upacara atau di akhir pelajaran?” Sang dosen mulai mengeraskan
lagi volume suaranya. “Ya Allah ya Tuhanku, ampunilah ayah ibu, bapak ibu guru,
adik-kakak, dan teman-teman kami semua. Ngga ada yang yang doanya mendoakan dokter
yang telah menyembuhkan, atau polisi yang telah membantu menyebrangkan mereka”,
sesaat kelas mulai riuh terdengar suara tawa beberapa mahasiswa laki-laki.
“Ya
bukannya bapak mau merendahkan profesi lain, semua profesi baik. Semua profesi
bisa berpotensi mengantarkan siapapun ke surga. Bukan jaminan juga jadi guru
pasti masuk surga. Hanya saja bapak ingin kalian jangan rendah diri lah. Kuliah
di keguruan bukan jaminan kalian harus menjadi guru. Menjadi guru bukan berarti
ngga bisa kaya. Kalau mau jadi guru yang kaya ya bisa aja, jadilah guru yang
punya usaha.”
“Jangan
di dengarlah kalau ada yang merendahkan yaah guru SD ngajarin ngitung satu
sampe sepuluh aja ngga selese, yaah guru SD ngajarin tambah-tambahan doang,
yaah guru SD ngajarin nyanyi-nyanyi tepuk-tepuk.”
“Guru
SD juga artis, gerak-geriknya jadi pusat perhatian anak. Penampilannya,
dandananya ditiru anak, kata-katanya selalu didengar dan dianggap paling benar.
Bahkan kadang kalo guru ngajarin materi yang kurang tepat aja, saat orang tua
si anak membetulkan, anaknya ngga mau dengar. Dia pasti akan bilang ‘Kata bu
guru atau pak guru ngga begitu’”.
“Jadi
guru SD bukan hal yang mudah, guru itu digugu
lan ditiru. Terlebih guru SD. Anak-anak SD itu jiwa menirunya besar.
Masa-masa SD itu masa pembangunan fondasi utama. Penanaman dasar-dasar pengetahuan
dan karakter setiap manusia. Saya yakin dari depan saya inilah terlahir
guru-guru yang hebat yang akan melahirkan penerus-penerus bangsa yang hebat”
“Kuliah
disini bukan akhir dari segalanya. Mutiara akan tetap menjadi mutiara walau
terpendam di dasar samudra.” kata-kata penutup beliau dalam motivasi pagi ini.
As usual, kudapati mataku telah basah karena
air mata.
0 comments