• Home
  • About
  • Writings
    • Poems
    • Prose
    • Quotes
    • Reviews
      • Books
      • Dramas
      • Movies
  • Design
  • Thought
  • Travel
    • Bandung
    • Jepara
    • Kebumen
    • Magelang
    • Yogyakarta
    • Malaysia
  • Teaching Diary
Youtube SoundCloud Linkedin facebook twitter instagram pinterest Email

Zea Mays

Ini cerpen pertamaku jaman SMA yang dimuat. Waktu SMA aku ngirim ini ke sebuah majalah dan hampir satu tahun kemudian, kalo ngga salah 30 November 2012 baru dapet telfon dari redaksinya kalo mau di muat. Lama bangeet, sampe lupa pernah ngirim. Soalnya waktu itu cuma iseng doang. Yaudah deh, happy reading dan semoga menghibur J


“Huft” keluhku seraya membanting remote ke sofa. Aku sangat jengkel dengan kakakku yang super jail dan nggak mau mengalah itu.
“Harusnya yang lebih tua itu mengalah!” Sambungku setengah membentak.
"Terserah gue dong.” Jawabnya dengan begitu santainya di atas penderitaanku karena harus merelakan episode terakhir film kesukaanku.
“ Lagian apa bagusnya sih nonton orang lari-lari rebutan bola?”Aku makin jengkel karena perkataanku yang­ tidak digubrisnya. Ia hanya diam memelototi tayangan sepakbola kesukannya. Hari ini tim andalannya tengah bergelut di lapangan.
            Semenjak televisi di kamar depan rusak, satu-satunya televisi  yang tersisa hanyalah yang berada di ruang keluarga ini. Akibatnya, sering terjadi perang saudara yang nggak kalah dahsyatnya dengan perang dunia kedua  memperebutkan kekuasaan sebagai pemegang remote. Sering juga untuk menghindari peperangan kami mengadakan genjatan senjata dengan membuat perjanjian  dan jadwal pemegang kuasa remote yang berarti berkuasa penuh untuk mengganti-ganti chanel televisi sesuka hati.
            Tiba-tiba terselinap di memori otakku bahwa kali ini masa genjatan senjata telah usai. Dengan segera kulontarkan senjata andalanku.
            “Ka, ayolah. Ini episode terakhir.” Kataku setengah merengek dengan air mata yang kupaksakan mengalir di pipiku. Ia hanya bergeming, asyik dengan tontonannya.
            “Kaaa…” rengekku lagi dengan suara yang lebih memelas, tetapi ia tetap tak bergerak sedikitpun. Matanya terus menatap lurus kearah televisi tanpa berkedip.
            “Gooooll….!” Serunya seraya menghentak-hentakkan kakinya di lantai.
Aku makin jengkel. Bisa-bisanya ia berteriak dan berjingkrak-jingkrak di atas penderitaanku. Akupun mulai putus asa dan pasrah melewatkan episode terakhir yang malang itu. Kini air mataku menetes lebih deras tanpa kupaksakan. Tiba-tiba kakakku yang super jail itu sejenak melirikku dan meletakkan remote yang telah dipungutnya ke meja.
            “Dasar cengeng!” ejeknya seraya mengacak-acak rambutku dan beranjak pergi. Kekuasaan remote kini di tanganku tetapi di hatiku terbersit rasa bersalah. Tak ingin sedetikpun rasanya aku melewatkan film favoritku. Pasti begitu juga dengan kakakku. Sangat berat untuknya meninggalkan tayangan pertandingan sepakbola favoritnya. Seharusnya aku mengerti. Tapi, Ah sudahlah. Memang harus ada yang berkorban untuk sebuah perdamaian.
            Aku mengerti kelemahan kakakku. Salah satunya ialah dia tidak suka melihat cewek menangis. Itulah kelemahan yang sering aku manfaatkan.
____

Ka jemput gue di sekolah dong! Kesorean nih dah nggak ada angkot lewat.
Ku tekan tombol ok pada pilihan send. Aku  berjalan mondar-mandir seraya berulang kali melirik jam tanganku. Tiba-tiba HPku bergetar. Terlihat nama Mr. jail disana. Ada SMS dari Mr. jail:
Y
“Huft nyebelin!Walaupun udah kubilang seribu kali supaya nggak balesin SMS cuma satu huruf,  masih aja dilakuinnya. Lagian mau berapa huruf bayarnya juga sama. Kebiasaan jelek kakakku itu memang nggak bisa hilang. Bales “Oke”  Cuma “k”, bales “iya” Cuma “y” dan  “nggak” Cuma “g”. Dasar pemalas!” keluhku.  Tak lama kemudian kakakku datang dengan motor  kesayangannya.
“Naek” Perintahnya.
“Nggih, Mbah.”. Jawabku dengan nada jutekku.
Di perjalanan seperti biasanya kupegang pundak kakakku erat-erat. Kulirik sedikit ke arah speedometer. Jarum  speedometer menunjukkan angka 100.
“Jangan kenceng- kenceng donk ka!” komplainku seraya memukul pundaknya.
Ia hanya diam mendengar komplainku dan mempercepat laju motornya. Ku yakin kini ia tengah menyeringai lebar atas ketakutanku. Mendekati area persawahan ia memperlambat laju motornya dan menepi ke sebelah kanan jalan.
“Ngapain kita berhenti di sini, ka? Udah sore nih aku mau ngerjain tugas!”Gerutuku
“Di otakmu cuma ada pelajaran ya. Otak juga perlu di-refresh kali biar nggak cepet rusak.” Ejeknya seraya menunjuk keningku.
“Kayak komputer aja di-refresh. Otakmu tu yang harus di scan biar trojan-trojannya ilang.” sanggahku
Ia duduk tak menanggapi ocehanku. Untuk sejuta kalinya ia mengacuhkan perkataanku dan membuatku malu pada diriku sendiri. Dengan terpaksa aku turut duduk di sampingnya. Memandangi sawah yang membentang luas, pohon-pohon kelapa yang melambai-lambai,dan  burung-burung yang berterbangan membentuk formasi yang unik.
“Bukannya ini yang membuat lo iri?” tanyanya membangunkan lamunanku.
“Eh…” Aku mengernyitkan keningku tak mengerti apa yang ia tanyakan.
Ia tak menanggapi pertanyaan yang terekspresi pada wajahku. Kini kami duduk dalam diam. Hening. Sejenak kulirik ke arahnya. Aku tak pernah melihat ia setenang ini menghadap ke hamparan luas langit merah. Perlahan sang surya mulai masuk  ke dalam perut bumi. Kututup mataku meresapi nikmat Tuhan yang amat besar ini. Merefresh otakku yang seharian ini berhadapan dengan tulisan dan angka. Kakakku benar. Kini  aku sependapat dengannya.
“Hei, bangun! Di ajak liat sunset malah tidur.” Kata-kata kakakku mengajakku kembali ke dunia nyata.
“Eh..” aku kehilangan kata-kata. Nyawaku belum sepenuhnya kembali.
“Pulang ”
“oh..” hanya kata itu yang keluar dari mulutku. Sejenak aku menjadi orang bodoh yang kehilangan kata-kata. Aku yakin ia menyadari itu dan menyeringai kepadaku.
____

Seminggu ini dunia tampak sepi karena salah satu pihak yang terlibat perang saudara tengah sibuk dengan aktifitasnya membuat laporan percobaan yang harus dikumpulkan minggu depan. Kubiarkan Mr.Jail menguasai remote untuk sementara waktu.  Setelah laporanku selesai, aku pasti akan menggencarkan serangan dari darat, laut, dan udara merebut kekuasan dari tangannya.
Hari-hari yang kami lalui minggu ini juga tampak sepi. Walaupun kami tinggal seatap, tetapi  kali ini kami jarang bercanda maupun bertengkar. Kalaupun berpapasan hanya sekedar bertegur sapa, senyum, atau mengacak-acak rambutku saja. Akhir-akhir ini ia menjadi pendiam. Aneh.
____

            “Oh my god, udah jam setengah tujuh.” Seruku setelah melihat angka yang ditunjuk kedua jarum jam. Dengan segera kuraih handukku dan beranjak menuju kamar mandi. Kukeluarkan jurus jangkrik cebokku dengan hanya menghabiskan waktu lima menit di dalam kamar mandi.
“ Dek, ayo berangkat!  udah siang nih. Kalo kelamaan gue tinggal lho.” Teriak kakakku yang telah siap dengan motornya.
“Iya” jawabku seraya membereskan dasiku. Dengan segera kuraih tasku dan berlari keluar. Kakak tengah berdiri tak sabar di sana.
“Dasar cewek dandannya lama banget sih. Bedaknya ketebelen tuh!” ledeknya.
“Orang gue nggak pake bedak ko. Udah kesiangan. Udah bohong ketahuan lagi. Malu-maluin!” Ejekku. Seperti biasa ia mengendarai motornya dengan kecepatan yang tidak wajar dan seperti biasanya juga kupukul-pukul pundak kakakku memintanya untuk memperlambat laju motornya. Namun ia hanya bergeming, berkonsentrasi dengan motornya. Kupukul pundak kakakku keras karena aku sudah tak mampu lagi menahan traumaku. Aku takut kejadian kecelakaan bersamannya terulang kembali. Ia memperlambat laju motornya dan menepi di persimpangan jalan antara sekolahku dan sekolahnya. Alasan mengapa kami tidak sekolah di SMA yang sama adalah karena ia tidak lulus tes seleksi masuk di SMAku yang tergolong SMA favorit bagi para pelajar di daerahku, bahkan tak jarang yang jauh-jauh datang dari luar kota.
“Turun! lo naek angkot aja.”
“Tapi, ini kan udah siang ka. Kalo gue telat gimana?”
“Siapa yang bilang masih pagi? Yang kelamaan dandan siapa? Ha? Kalo gue nganterin lo, ntar gue yang telat.” Iapun kemudian pergi menghilang dari hadapanku. Air mataku mengalir deras. Sejuta kutukan keluar dari mulutku untuknya. Tak lama kemudian angkotpun datang. Akupun segera beranjak naik.
____

  Bel berbunyi tanda waktu istirahat telah usai. Sekarang adalah pelajarannya Mr. Killer, guru paling galak plus super disiplin. Kadang bel masuk belum bunyi aja beliau telah stand by di depan kelas. Udah gitu dia paling nggak suka dengan siswa yang telat. Telat masuk dibelakangnya  aja udah nggak boleh masuk.  Beliau juga nggak suka dengan siswa yang nggak ngerjain PR, tidur di kelas, apalagi bolos pelajaran. Dengan begitu aku jadi nggak ada waktu buat ngantuk. Padahal tadi malam habis lembur ngerjain laporan yang numpuk.
“Huft.. biasanya kalo kayak gini mataku udah nggak bisa di ajak kompromi lagi. Pengennya merem mulu” gerutuku.
            Dug, dug, dug,,, temen sekelasku berlarian masuk kelas bak tawon bubar dan duduk di bangkunya masing-masing. Udah dapat ditebak kalo Mr. Killer pasti udah menuju ke sini.
            “ God morning, student. How are you today?” sapa Mr. Killer begitu duduk di mejanya.
            “Fine, thanks. And you?” jawab kami serempak.
            “Not bad”
“Andhika Saputra, please come here!”  Panggil Mr.Killer dengan nada yang agak meninggi.
Seperti biasa sebelum pelajaran dimulai Mr.Killer memanggil  salah satu muridnya untuk maju dan ditanyai seputar pelajaran yang sudah diajarkan pertemuan sebelumnya. Temanku, Andhika sudah dapat ditebak pasti jantungnya berdebar-debar. Akupun pernah merasakan apa yang tengah dirasakannya sekarang.
            “Please clean the whiteboard!”  Kata Mr.Killer seraya mengacungkan penghapus Whiteboard. Dhikapun menghapus whiteboad dengan agak gemetar. Tidak bisa menjawab pertanyaan Mr. Killer sama saja mempermalukan diri sendiri di depan anak satu kelas.
“Okay. Sit down, please.” Perintah Mr. Killer. Sejenak aku terpaku mendengar perintah dari Mr.Killer, kulihat wajah Dhika tak setegang sebelumnya. Dia pasti merasa lega karena tak ditanyai materi yang telah berlalu dari kepalanya.
“DDerrrrr…Ddddderrrr” HPku bergetar. Tentunya dengan sembunyi-sembunyi kubuka sms yang ternyata dari ayah.
Air mataku mengalir deras setelah membaca sms itu. Ku bereskan bukuku yang berantakan di atas meja. Kuraih tasku dan segera beranjak meninggalkan tempat dudukku menuju Mr.Killer.
“Maaf, Pak. Saya tidak bisa mengikuti pelajaran Bapak. Saya harus ke rumah sakit. Kakak saya kecelakaan” Jelasku seraya tak kuasa membendung air mataku yang mengucur deras membasahi pipiku.
Aku segera berlari setelah mendapat ijin darinya.  Aku berlari melewati koridor sekolah dengan bayang-bayang wajah kakakku yang berputar-putar di kepala.  Air mataku terus mengalir tak dapat ku bendung lagi. Semua mata penghuni lapangan tertuju padaku. Aku tak peduli. Aku hanya ingin bertemu kakakku. Musuh bebuyutanku di dunia remote. Musuh bebuyutan yang sangat ku sayayangi.  Begitu sampai lobi, kuhentikan langkahku menatap sosok tegar ayahku. Ia tengah berbicara pada seorang guru piket untuk mengajakku pergi bersamanya. Ia terlihat sangat tegar bahkan ia tersenyum saat melihatku.
Aku heran mengapa ayah tidak membawaku ke rumah sakit. Ia justru membawaku pulang ke rumah. Pikirku ayah mau mengambil sesuatu di rumah sebelum ke rumah sakit. Sesampainya di rumah, aku mendapat jawaban atas pertanyaanku itu. Sebuah bendera putih berkibar  di halaman rumahku. Berjingkrak riang terkena  terpaan angin. Bendera kemenanganku di dunia remote, tetapi bendera kapiluanku di dunia nyata.
Air mataku tak berhenti  mengalir sampai mobil yang ayah kendarai memasuki halaman rumah. Aku memberanikan diri untuk bertanya.
“ Yah, ada apa ini? mengapa banyak orang di sini dan meng… hua…” Aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku. Tangisku meledak begitu otakku memerintahkan mulutku untuk mengatakan bendera putih. Namun ayah tau apa yang ku maksud. Ia memelukku erat. 
“Don’t stop our civil war! Jangan hentikan perang saudara kita! Jangan hentikan perang kita di dunia remote! Kataku dalam hati, tak kuasa menahan tangis.
Aku dan kakakku memang selalu berselisih saat bersama. Namun itulah cara kami menunjukkan rasa sayang kami. Cara pengungkapan rasa sayang yang agak berbeda dengan kebanyakan orang. Seperti yang kulakukan saat kakakku bertengkar dengan ibu yang membuatnya gengsi untuk makan. Padahal kutahu ia sangat kelaparan. Namun ia hanya mengurung diri di kamar. Karena tidak tega, aku membeli beberapa bungkus roti di warung samping rumah dan menyusup ke dalam kamarnya. Kulemparkan semua roti itu ke kepala kakakku dan aku bersembunyi di bawah tempat tidur. Mengingat itu dan banyak peristiwa-peristiwa konyol yang kualami bersamanya kadang membuatku tersenyum-senyum sendiri.
Oh iya. Tahukah kalian dimana kakakku kecelakaan? Ia kecelakaan di persimpangan jalan di mana ia meninggalkanku. Ternyata pagi itu ia kembali ke tempat itu dan mencariku. Namun apa yang aku lakukan? Aku justru mengatainya dengan kutukan-kutukan amarahku. Kutukan-kutukan yang keluar karena aku tak bisa menjaga mulutku. Kutukan-kutukan yang keluar dalam beberapa detik yang membuatku menyesal untuk waktu bertahun-tahun bahkan seumur hidupku. Kutukan-kutukan yang mungkin mengantarkannya ke liang lahat ini. Oh tuhan, ampuni aku.
Kutegarkan hatiku, mencoba untuk menyerahkan semua kepada Yang Maha Kuasa walau itu sangat sulit. Seperti nasihat ayahku:

“ Kematian itu ada di mana-mana.Tak memandang umur, kedudukan, dan kekayaan. Kematian akan datang pada siapa saja tanpa kita tau kapan ia datang. Tangismu nggak kan membuatnya hidup kembali. Percayalah,  semuanya pasti ada hikmahnya. ”


-END-

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Haii.. ini sepenggal dari hasil jeprat-jepret kita pas main ke Jogja. Destinasi kita si ada malioboro, Vredeberg, SKE, Sermo, sama Kalibiru. Sementara khusus jeprat-jepret di Vredeberg dulu yaa. Tiket masuk Vredeberg pas kita kesana si cuma 2000 rupiah aja. Fyi tiket masuk Vredeberg kita dibayarin Eti loh.. Jadi gratiss! hihi.. 












Pardon my face.. Maafkan isinya bukan kenampakan benteng Vredeberg, tapi justru penampakan  muka kita semua :D
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Sang Dosen menyuruh setiap mahasiswa di kelasnya untuk menutup mata. Kemudian ia melontarkan sebuah pertanyaan. “Siapa yang kuliah di sini karena memang cita-cita dan keinginan dari diri sendiri bukan keterpaksaan? Entah keterpaksaan keadaan karena memang tidak diterima di kampus yang kalian inginkan, maupun keterpaksaan orang tua yang ingin anaknya menjadi guru karena ada sertifikasi?” Aku tak tahu berapa anak yang mengacungkan jarinya.

Mendengar cerita-cerita dari dosen-dosen di sini, mendengar wejangan-wejangan mereka, mendengar cerita-cerita mahasiswanya (lagi-lagi tak men-generalisasi karena yang bercerita hanya sebagian entah berapa persen dari populasi), cerita tentang beberapa mahasiswa yang tiba-tiba menghilang saat tahun ajaran baru, dan motivasi-motivasi saat maru, aku mulai berasumsi kalau kasus seperti ini sudah terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Aku tak tahu itu hanya terjadi di kampusku atau dikampus lainnya juga.

Sang Dosen duduk diam sejenak. Suasana menjadi hening. Ia menghela nafas. “Saat kalian berorientasi materi, pengen kaya, hidup mewah. Jangan jadi guru. Jadilah pengusaha.” Ia mulai memberikan kata-kata motivasinya.

“Tapi saat kalian ingin membangun bangsa ini, melahirkan dokter-dokter yang kompeten, polisi, tentara, atau pejabat yang amanah, atau bahkan presiden yang adil dan bijaksana,  jadilah guru yang bisa jadi teladan dan menginspirasi murid-muridnya. Di tangan guru lah terlahir pemimpin yang bijaksana. Ditangan gurulah terlahir pejabat-pejabat negara yang amanah. Di tangan guru juga yang akan melahirkan orang-orang diberbagai profesi lain yang berkompeten.”

Sang Dosen kemudian mulai mengurangi volume suaranya seolah-olah hendak memberikan penekanan terhadap apa yang ingin disampaikannya. “Kalian tau? Bahkan profesi guru yang mungkin saat ini tidak kalian harapkan inilah yang nantinya mengantarkan kalian ke surga. Siapa tau ilmu yang kalian ajarkan menjadi amalan jariyah yang terus mengalir walaupun kalian sudah tiada. Kalian pernah dengar doa-doa di akhir upacara atau di akhir pelajaran?” Sang dosen mulai mengeraskan lagi volume suaranya. “Ya Allah ya Tuhanku, ampunilah ayah ibu, bapak ibu guru, adik-kakak, dan teman-teman kami semua. Ngga ada yang yang doanya mendoakan dokter yang telah menyembuhkan, atau polisi yang telah membantu menyebrangkan mereka”, sesaat kelas mulai riuh terdengar suara tawa beberapa mahasiswa laki-laki.

“Ya bukannya bapak mau merendahkan profesi lain, semua profesi baik. Semua profesi bisa berpotensi mengantarkan siapapun ke surga. Bukan jaminan juga jadi guru pasti masuk surga. Hanya saja bapak ingin kalian jangan rendah diri lah. Kuliah di keguruan bukan jaminan kalian harus menjadi guru. Menjadi guru bukan berarti ngga bisa kaya. Kalau mau jadi guru yang kaya ya bisa aja, jadilah guru yang punya usaha.”

“Jangan di dengarlah kalau ada yang merendahkan yaah guru SD ngajarin ngitung satu sampe sepuluh aja ngga selese, yaah guru SD ngajarin tambah-tambahan doang, yaah guru SD ngajarin nyanyi-nyanyi tepuk-tepuk.”

“Guru SD juga artis, gerak-geriknya jadi pusat perhatian anak. Penampilannya, dandananya ditiru anak, kata-katanya selalu didengar dan dianggap paling benar. Bahkan kadang kalo guru ngajarin materi yang kurang tepat aja, saat orang tua si anak membetulkan, anaknya ngga mau dengar. Dia pasti akan bilang ‘Kata bu guru atau pak guru ngga begitu’”.

“Jadi guru SD bukan hal yang mudah, guru itu digugu lan ditiru. Terlebih guru SD. Anak-anak SD itu jiwa menirunya besar. Masa-masa SD itu masa pembangunan fondasi utama. Penanaman dasar-dasar pengetahuan dan karakter setiap manusia. Saya yakin dari depan saya inilah terlahir guru-guru yang hebat yang akan melahirkan penerus-penerus bangsa yang hebat”

“Kuliah disini bukan akhir dari segalanya. Mutiara akan tetap menjadi mutiara walau terpendam di dasar samudra.” kata-kata penutup beliau dalam motivasi pagi ini.

 As usual, kudapati mataku telah basah karena air mata.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Tentang Fajar

Tentangmu, 
Lelaki pemilik fajar
Bersamaku berbalut diam
Hening
Tanpa sapa
Tanpa tatap
Menunggu membunuh waktu
Membiarkan fajar berlalu
Hei, bolehkah aku tau?
Apakah hatimu luka?
Jika gadis kecil penunggu fajar itu beranjak menuju senja

(IM)

............................................................................................

Gadis Penunggu Fajar

Fajar dan senja sama-sama menakjubkan bukan?
Namun keduanya tak akan hadir bersamaan
Gadis kecil itu, 
Gadis kecil penunggu fajar itu kini telah pergi
Meninggalkan kotak hitam yang telah dibungkusnya rapi 
Di pertigaan penantian
Melangkah ke arah mata angin berlawanan
Menuju Senja,
Menuju senja ia siap mengisi memori kotak hitam bersamanya.

(IM)

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

The story started with a single mother, Keiko Fukushima who has 4 children from different fathers, moving to a small apartment. To the proprietor, she claimed that he only brought one of his children who was 12 years old, Akira. While the three siblings were hidden secretly because the three did not have civil records. The two youngest children, Yuki and Shigeru hidden into the suitcase. While the older ones, Kyoko, comes separately after Akira picked her up at the station. 


At first, they lived happily and adequately. Although Keiko was working and being so busy, he still took the time to teach her children by herself since the four children did not attend school. Sometimes she came home late at night and woke her children up after she was buying their favorite food. The firstborn child, Akira managed the finance and expenses. The second child, Kyoko was responsible for washing clothes secretly so as not to be known to other residents of the apartment. Aside from Akira, the three children not allowed to leave.

The conflict started when the mother, Keiko has a boyfriend and refused to tell him about her children. Keiko started leaving her children for a long time. Keiko came home to pack her belongings and left. She promised to go home at Christmas, but she broke her promise and never returned. Akira as the oldest one had to play the role of parents.




When the money left by his mother began to run out, Akira began to think of ways to get money. He met his father who worked at Haneda airport. The father could not help him, just gave him a little money. When he applied for work, he was rejected because he was still underage. He also did not dare to report because he was fear that his younger siblings would be found out and did not allowed to stay in the apartment. Their lives was getting harder. Water, telephone, gas, and electricity was no longer available because they did not able to pay the bills. (Never mind paying the bills, for food they have to wait for the rest of the grocery store near his apartment). They took water for drinking and bathing from the park and public toilets near the apartment.


Akira began to allow his younger sister and brother to come out quietly to the park. This was where Shigeru began to start a conversation with a schoolgirl, Saki and their relationship blossomed into friendship. Saki often visited the apartment. As a friend, Saki tried to help them earn money by visiting a karaoke lounge with a man. Akira who knew about it refused Saki's money and kept away from her.

My tears began to come out when Akira's sister, Yuki fell from the chair and died. Akira did not know what to do. With the rest of the coins he had, he tried to contact his mother. Since he did not find his mother, Akira finally met Saki to borrow some money, bought a dozen of Yuki's favorite chocolates, and put them with stuffed bunny on Yuki's death body in the suitcase. Akira and Saki brought the suitcase and buried it in a hand-dug grave to the near Haneda airport as Akira had promised Yuki to see the plane there.

The ending of the film might disappoint you. The flow seemed flat and monotone, but this was what made the film unique and liked a true story in everyday life. Although this story was not as tragic as the original story (read Sugamo child-abandonment incident/Sugamo Kodomo Okizari Jiken), it was enough to make me felt touched. I literally recommend this film. To watch this film, click the following link.

Layarkaca21
or
IndoXXI
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

We are the driver not a passenger in our life. We are have same times and same occasion. We are the main cast, not a companion or antagonist

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
If my life is span of days
I am grateful to have met the 'Dawn'
Making me embrace my dreams
If this is a blazing noon
I am waiting for the 'Dusk' to be my happy ending

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
"AKU NGGA MAU JADI GURU!", kata-kata itu yang terlontar dari mulutku saat perbincangan itu. Perbincangan mengenai rencanaku melanjutkan kuliah. Waktu itu aku ngga tau itu hanya candaan mereka untuk meledekku atau emang orang tuaku ingin aku seperti mereka, menjadi seorang guru.

Menjadi seorang guru di negaraku tidaklah seperti di Singapura atau Finlandia, dimana guru sudah memiliki kesejahteraan yang bagus dan memiliki gaji yang cukup besar.  Sehingga wajar kalo di sana profesi guru sangat diidam-idamkan. Lihatlah ibuku, menjadi seorang guru wiyata selama 18 tahun. Pernah mengalami bertahun-tahun mengajar setiap hari tapi tidak digaji. Setelah bertahun-tahun menunggu menjadi guru bantu dengan gaji 750 ribu. Hingga akhirnya ia menjadi guru PNS dengan gaji 2-3 juta perbulan. Butuh waktu 20-an tahun untuk 2-3 juta. Ayahku mungkin sedikit beruntung. Tak lama setelah lulus SPG di umurnya yang ke-21 iya sudah menjadi guru PNS. Mengalami dari dulunya gaji PNS 40 ribu hingga kini menjadi 3-4 jutaan. Aku sering mendengar cerita tetanggaku yang menjadi seorang guru wiyata bakti digaji 50-150 ribu per bulan. Bahkan kadang ada yang berbulan-bulan nunggak belum dibayar. Dengan kondisi ini, apakah kau masih mau kuliah di keguruan? Terlebih kuliah di jurusan apapun saat kamu tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang kamu harapkan, atau kamu tiba-tiba berubah haluan ingin menjadi guru, kamu bisa jadi guru.

Ternyata orang tuaku serius. Mereka ingin aku menjadi seorang guru. Obrolan yang dulu aku kira hanya candaan belaka, ternyata bukan. Mereka benar-benar serius ingin aku menjadi guru Sekolah Dasar a.k.a guru SD. Terbukti, saat ini aku kuliah di sebuah kampus pendidikan prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar.

Pengen nangis setiap kali keinget aku kuliah di sini sekarang. Air mata tiba-tiba ndelewer setiap kali dengerin perkuliahan dari dosen yang selalu ngasih wejangan karena tau kebanyakan mahasiswanya ngerasa kuliah di sini karena ngga ada pilihan lain atau karena kemauan dari orang tuanya (ngga men-genaralisasi, mungkin di luar sana banyak yang kuliah di jurusan ini karena emang cita-cita dan kecintaan mereka. Actually, pas sambutan rektor waktu ospek beliau cerita kalo di kampus pendaftar prodi PGSD lagi membludak dengan rasio paling tinggi ngalahin kedokteran). Gatau gimana, waktu itu kita dikasih tugas bikin tulisan tentang alasan kita kuliah di sini. Alasanku tetap sama karena keinginan orang tua dibubuhi sedikit kenaifan untuk menutupi idealisme. *demi nilai, karena itu tugas dinilai dan aku ngga tau indikator penilaiannya gemana.

Ngga tau kenapa, walaupun aku ngga suka kuliah di sini tapi aku ngga bisa ngga peduli sama nilai. Terkadang ada yang karena dia ngga suka terus ngga berangkat atau ngerjain asal-asalan tapi aku ngga bisa. Aku tetep berangkat ke kampus meskipun kadang di kampus tiba-tiba mewek ngga jelas. Aku tetep ngerjain tugas meskipun kadang tiba-tiba laptop atau kertas basah kena air mata. Aku tetep rela lembur ngga tidur demi bisa ngumpulin tugas tepat waktu (dan sambil nangis). Lucu kalo inget. Pelampiasan aku paling kabur dari asrama main ke tempat temen aku cerita nangis-nangis, doing crazy thing, dan tiba-tiba ngerasa lucu, terus ketawa-ketawa ngga jelas. Gemana ngga? Setiap aku nangis, feeling low, dia selalu nakut-takutin aku sama cerita tetangganya atau temennya dari temen dia yang literally aku ngga tau dia siapa, yang katanya gila karena cita-citanya ngga tercapai. Di ending ceritanya, dia selalu bilang ati-ati loh zah kamu jangan sampe begitu. Alhasil, aku nyelimur cari hiburan entah apapun yang tiba-tiba bikin kita ketawa bareng. You are the best friend ever put!

Sekarang aku lagi sedih banget, tapi udah ngga ada kamu yang bisa aku curhatin put! Kampus yang aku kira bakal jadi jalan keluar, ngga buka pendaftaran tahun ini. Padahal aku udah belajar mati-matian, ikut bimbingan di Jogja, doa siang malem, apapun udah aku lakuin tapi fix ngga buka pendaftaran. Awalnya aku tau info itu dari kakak kelas yang kuliah di sana. Masih berharap kalo itu ngga bener. Tapi setelah keluar pengumuman resminya, bener-bener aku ngerasa no hope.

I felt that this was the lowest point of my life. I found that I had become a shell. I felt like I had no purpose, no dream. I didn't think that my future hold much for me at all.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments


Thousands of candles can be lighted from a single candle. The life of the candle will not be shortened. Happiness never decreases by being shared.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Kau tau? Tak ada manusia yang menyukai ujian. Tapi semua orang menyukai naik kelas. Saat kau diuji kehilangan harta, orang tercinta, kepercayaan diri, atau kehilangan hal-hal yang kau sukai, mungkin kau tak akan suka. Down atau mungkin depresi sering terjadi pada mereka yang tak percaya akan ada pelangi yang indah dibalik hujan. Sedihlah sewajarnya, menangislah sampai amarahmu mereda. Setelah itu, bangkitlah! Karena Tuhan akan melahirkanmu menjadi pribadi dengan hati sekuat baja. 


Semua terasa semakin sulit. Ah tidak! Itu hanya emosimu saat ini. Waktu pasti akan menghapus semua luka lara. Dan ini adalah cara Tuhan mengajarimu untuk menjadi lebih baik kedepannya. Niatkan untuk beribadah. So, semua akan terasa lebih indah. 

Ujian adalah cara Tuhan membawamu naik kelas
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Kamis, 8 Nopember 2012. Di hari itu aku mendapatkan pengalaman baru. Pengalaman yang belum pernah kudapat sebelumnya. Pengalaman pertama berkunjung ke dokter mata. Awalnya takut, tapi bersama ibu membuatku lebih berani.
Kelas satu SMA aku mulai mendapat banyak tugas yang memaksaku berkutat  berjam-jam di depan layar monitor. Tak hanya sejam dua jam. Sehari penuh di depan monitorpun aku pernah merasakannya. Saat itu adalah masa-masa semangatku yang berapi-api. Masa-masa awalku di sebuah sekolah yang aku inginkan. Tugas sekolah dan tugas organisasi yang banyak tak pernah ku keluhkan.
 Efek radiasi laptop sungguh cepat terasa. Kepalaku menjadi sering sakit dan mataku menjadi cepat  lelah. Kadang terbesit pertanyaan “Ada apa dengan mataku?” pertanyaan itu terjawab  saat aku meminta surat keterangan sehat di puskesmas untuk persyaratan pendaftaran salah satu kampus. Saat itu aku baru saja lulus SMA. Sebuah pertanyaan terlontar dari bibir sang Dokter saat aku tak bisa membaca huruf dengan ukuran yang ia pilihkan dengan mata kananku tertutup. “Apa anda sering mengalami sakit kepala?” Tanya beliau“Iya dok.” Jawabku singkat. Kemudian sang Dokter pun menjelaskan bahwa mata kiriku cylinder dan beliau menyarankanku untuk mengenakan kacamata.
Aku tak terlalu ambil pusing dengan masalah cylinder itu.  Toh aku masih bisa melihat normal seperti biasa. Hanya mata kiriku yang cylinder . Itupun masih kecil. Aktivitas berjam-jam di depan laptop terus menjadi rutinitas. Sampai suatu saat, ada acara donor darah di kampus. Entah bagaimana awalnya, saat donor,  bapak yang bertugas mengecek persyaratan berbicara mengenai penyakit mata. Iseng-iseng aku tanya mengenai cylinder. Bapak itu menjelaskan tentang cylinder yang membuatku takut. Sejak kejadian itu, kebiasaan-kebiaasaan burukku sedikit demi sedikit mulai aku kurangi. Kebiasaan berlama-lama menatap monitor aku kurangi.  Begitu juga memandangi layar HP. Kebiasaan membaca sambil tiduran juga mulai aku kurangi, mencoba sedikit demi sedikit menghilangkan kebiasaan itu. Kalau udah menjadi kebiasaan memang sulit dihilangkan.


“At first you make habits but then habits make you”


Selain mengurangi kebiasaan buruk, akupun berusaha untuk menanggulangi penambahan cylindris di mataku. Caranya? Ya konsultasi ke dokter mata dan mau pake kacamata. Biasakan makan-makanan yang banyak vitamin A, buah, dan sayuran. 
Oh ya pengalaman pertamaku ke rumah sakit mata. Awalnya takut. Setelah masuk, biasa aja sih. Pertama melangkahkan kaki ke lobi, aku kaget. Kenapa banyak sekali pasien yang mengantri? Ini kan rumah sakit spesialis mata bukan rumah sakit umum. Aku bergegas mengambil nomor antrian dan mengisi formulir. Sambil menunggu dipanggil, iseng-iseng aku melihat ke sekeliling. Beberapa orang memakai kaca mata hitam. Ada juga yang salah satu matanya ditutup dengan benda yangaku tak tau namanya. Ada juga yang periksa karena matanya terkena kaca akibat kecelakaan bus. Ngeri euy.. memang harus bersyukur punya nikmat sehat.
Mata ini milik Allah. Tak hanya mata. Semua yang kita miliki adalah titipan Allah. Allah berhak mengambilnya kapan saja. Tapi mengapa aku takut kehilangan sesuatu yang Allah titipkan? Sejak saat itu, aku sadar. Semua yang aku miliki bukanlah milikku. Semua hanya barang pinjaman. Meminjam berarti bertanggungjawab untuk menjaga. Kalau kita meminjam tanpa menjaga barang yang kita pinjam bukankah akan membuat pemiliknya marah dan mengambilnya?  Aku berharap, aku bisa menjaga semua yang aku pinjam ini.  

“Kesehatan. Ketika aku memilikinya, aku tak merasa kalau aku memilikinya. Namun saat  kehilangannya, aku tersadar betapa berharganya kesehatan itu.”
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Aku nggak tau kenapa aku masih di sini. Aku ngerasa kayak alien yang tersesat di planet lain. Aku kangen atmosfer masa-masa SMA. Could I turn back the time?


2009-2012

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

       Pagi kian meremang. Mentari bersembunyi di balik awan hitam nan tebal. Jarum jam menunjukkan pukul 05.45. Aku telah bersiap untuk berangkat sekolah.
          “Aduh kesiangan nih.” Gumamku seraya menggendong tasku yang menggembung besar. Maklumlah anak kos bawaannya banyak. Kuturunkan kembali tas yang ku gendong untuk mengabsen barang bawaanku
          “Beras, seragam pramuka, buku pelajaran, jajan. Siip lah semua lengkap.”, kataku pelan.
          Kugendong tasku kembali dan beranjak menemui orang tuaku untuk berpamitan. Kulihat ayah tengah membaca koran di teras depan.
          “Yah, berangkat.”, kataku seraya mengulurkan tangan kananku.
          Ayah menyambut uluran tanganku namun ia tidak seperti biasanya yang langsung mengambil dompet dari sakunya tanpa ku minta. Ayah melirikku dengan tatapan meledek dan kembali asyik dengan korannya.
          “Yah, gajinya mana?” aku membuka mulut.
          Ayah tersenyum dan mengeluarkan beberapa uang kertas dari dompetnya.
           “Di rumah cuma numpang tidur sama makan minta digaji.”, ledeknya.
          “Hahaha. Iya dong. Ah udah siang yah, Fira berangkat ya. Assalamu’alaikum.”
          “Wa’alaikumsalam. Udah pamitan sama ibu?” tanyanya.
          Aku terus berjalan berpura-pura tidak mendengar. Aku sengaja tidak berpamitan kepada ibuku karena aku masih jengkel akibat perdebatan semalam.
          Sesampainya di gardu tempatku menunggu angkutan, aku mengeluarkan buku TIKku dan membacanya. Hari itu aku tengah menghadapi Ulangan Akhir Semester 1. Tak lama kemudian angkutan datang dan aku segera naik.
          Kebiasaan anak sekolah yang suka pilih-pilih angkutan yang cepat kini mulai menular kepadaku. Aku tak banyak tau cara membedakan angkutan yang cepat yang mana. Oleh karena itu, kuputuskan untuk mengikuti kedua siswi SMA yang berdiri di sampingku saja. Tak lama kemudian, sebuah angkutan bertuliskan “IDOL” melintas. Kedua siswi SMA yang berdiri di sampingku beranjak naik dan aku pun mengikutinya. Aku duduk di bangku nomor dua dari pintu.  Ku buka kembali buku TIKku dan mulai membacanya. Di tengah perjalanan, angkutanpun berhenti. Tak lama kemudian suara dentuman keras terdengar dan angkutan yang kunaiki terguling ke irigasi di sebelah selatan jalan. Dentuman keras itu membuatku kehilangan kesadaran. Aku tak tahu apa yang terjadi padaku di dalam angkutan itu. Semua terasa tenang dan gelap.
          Aku tersadar saat benda berat yang menindihku terangkat dan seorang laki-laki menarik tubuhku yang lemah keluar dari tempat yang mengerikan itu. Ia membaringkanku di tepi jalan pada rumput yang basah akibat hujan tadi malam. Laki-laki itu kemudian pergi menghilang tanpa memberiku kesempatan untuk mengucapkan terima kasih padanya. Mungkin ia tengah bersaing dengan waktu untuk menyelamatkan sebanyak mungkin korban yang dia bisa tolong.
          Langit tampak diselimuti awan hitam nan tebal. Aku merasa malaikat maut telah mengepakkan sayapnya menuju tempat mengerikan ini, bahkan mungkin telah menjemput beberapa orang di sini. Aroma kematian tercium kental dan ketakutan mulai terasa. Aku merasakan kesakitan yang amat sangat pada seluruh tubuhku. Tulang rusukku terasa berat dan enggan untuk bergerak. Oh Tuhan, apakah malaikat maut-Mu tengah mengepakkan sayapnya ke arahku sekarang? Aku tak tahu. Aku belum siap untuk pulang sekarang. Air mataku mengalir deras dan mulutku tak henti-hentinya beristighfar. Cerita-cerita pak ustad tentang kehidupan setelah mati terpampang dan video-video dosaku di-replay satu per satu.
          Teriakan orang-orang menyita perhatianku. Orang-orang tersebut tengah bergotong-royong untuk mengeluarkan pemilik jib yang menabrak angkutanku dari jibnya yang ringsek. Sungguh pemandangan yang mengerikan. Darah bercecer di sana-sini, teriakan, tangisan, dan istighfar berdendang menjadi satu dan terdengar memilukan. Tiba-tiba aku teringat dengan dua siswi SMA yang naik angkutan ini. Bagaimana nasibnya sekarang?  Ku putar mataku ke seluruh jalan berharap menemukan sosok mereka. Namun hanya salah satu dari mereka yang kutemukan. Ia tengah berdiri di bawah pohon. Sepertinya ia tidak terluka parah. Hanya keluar sedikit cairan merah di tangan kanannya. Tak lama kemudian sebuah angkutan lewat dan seseorang menghentikan angkutan itu. Para siswa yang menaiki angkutan itupun satu persatu turun. Sepertinya orang yang menghentikan angkutan itu meminta mereka untuk mecari orang yang mereka kenal di antara para korban kecelakaan. Seorang cowok melangkah keluar dari angkot. Cowok itu mengenakan seragam putih abu-abu. Wajahnya tak asing lagi bagiku. Ya, wajahnya sangat familiar. Aku mengengenalnya. Ia menemui gadis di bawah pohon itu dan mengajaknya untuk menaiki angkutan yang ia tumpangi.
          Aku takut. Takut sekali. Aku takut kematian menghampiriku. Oh, Tuhan. Tiba-tiba aku terbayang wajah ibuku. Kami berdua bertengkar semalam. Aku belum meminta maaf padanya. Aku tak berpamitan saat berangkat sekolah. Aku berharap ini hanya mimpi buruk dan ketika aku terbangun, aku telah berada di kasurku. Bukan rumput yang basah dan kotor ini. Air mataku terus mengalir dan aku merasakan sakit yang amat sangat.
          Tiba-tiba aku mendengar jeritan yang amat menyayat hati. Seorang ibu menggendong anaknya yang masih kecil meminta pertolongan agar mereka segera dibawa ke rumah sakit. Ibu itu mengelus-elus anaknya yang diam tak bergerak. Bahkan kembang kempis dadanya pun tak terlihat. Sepertinya Izroil telah membawanya pulang. Ia terus berjalan meminta bantuan. Tak peduli dengan luka kakinya yang parah. Seorang laki-laki mendekatinya. Memintanya untuk tenang. Laki-laki itu kemudian berjalan untuk meminta bantuan kepada pengendara mobil yang lewat agar membawa ibu itu dan anaknya ke rumah sakit terdekat, namun mereka menolak.
          “Permisi, nama mbak siapa?” Tanya seorang laki-laki yang tiba-tiba berdiri di sampingku. Aku kaget sekaligus ketakutan. “Siapa dia? Kenapa dia tiba-tiba bertanya namaku? Apa dia malaikat Izrail yang siap menjemputku? Apa dia malaikat Izrail?”, tanyaku dalam hati.
          Kutarik nafasku dalam-dalam menenangkan. “Fira Kusumawati” Jawabku pelan seraya menahan sakit pada bibirku saat menggerakkannya. Kulihat raut wajahnya penuh dengan tanya. Sepertinya ia belum mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Aku mengacungkan tanganku ke arah tas biru yang tergeletak tak jauh dari tempatku terbaring. Laki-laki itu akhirnya mengerti. Ia memungut tas itu dan memberikannya kepadaku. Kuambil dompetku dari dalam tas dan memberikan kartu identitasku kepadanya. Ia kemudian pergi dan aku masih di sini. Terbaring di rumput basah.
          Tak lama kemudian, sebuah VIAR datang. Seorang laki-laki mengangkatku ke atasnya. Kulihat seorang bapak-bapak berbadan gemuk telah terbaring di sana. Lututnya sobek memperlihatkan daging dan tulangnya. Sungguh mengerikan. Laki-laki yang mengangkatku duduk di sampingku dan membimbingku untuk terus beristighfar. Di perjalanan menuju rumah sakit, laki-laki yang terluka itu terlihat gelisah. Ia tak berkata sepatah katapun. Ia hanya berbaring bangun dan berbaring bangun lagi. Kulihat kegelisahan dan ketakutan di raut wajahnya.
          Sesampainya di rumah sakit, laki-laki disampingku kembali mengangkatku. Kulihat seorang perawat telah bersiap di lobi. Perawat tersebut membantunya membawaku ke ranjang di lobi rumah sakit. Tak lama kemudian, seorang perempuan mengenakan baju perawat datang dengan baskom berisi air hangat di tangannya.
          “Saya bersihkan dulu ya, Mbak.”, sapa perawat itu.  “Seseorang yang dibawa bersama Mbak tadi meninggal.”, sambungnya.
          “Innalillahi wa Inna Illaihi Roji’un.”, kataku pelan.
          “Oh iya mba, sementara di lobi dulu ya, karena kamarnya penuh.”, kata perawat tersebut sembari membersihkan kotoran dan darah di wajahku.
          “Sini, sementara mayatnya ditidurkan di sini dulu” perintah seorang laki-laki kepada beberapa orang yang membawa tubuh laki-laki yang dibawa bersamaku.
          “Orang yang baru meninggal tadi mau ditempatin di sana, Mbak?”, tanyaku kepada perawat yang sedang membersihkan badanku.
          “Iya, Mbak. Gapapa ya?”tanyanya
          “Nggak mau, Mbak. Lobi ini kan sepi. Nanti kalo Mbak pergi, aku cuma berdua aja sama bapak yang meninggal tadi” aku menangis.
          “Ya udah, nanti saya usahakan biar segera dapet kamar ya, Mbak”
          Aku mengangguk. Beberapa menit kemudian perawat yang berbeda datang memberiku suntikan alergi dan memasang jarum infus ke lengan kiriku. Tak lama kemudian aku dipindahkan ke sebuah ruang kamar di pojok gedung. Aku terus menangis. Bayang wajah ibu terus terpampang beserta adegan perdebatan semalam. Aku takut ibu datang setelah Izrail menjemputku. Aku takut tak sempat meminta maaf padanya. Aku takut masuk neraka akibat durhaka seperti yang pak Ustad sering ceritakan. Ah! aku takut. Andai aku diberi kesempatan untuk hidup. Aku akan menjadi lebih baik lagi. Aku menyesal ya Allah”kataku dalam hati.
          “Apa yang ini keluarganya, Mas?”terdengar suara laki-laki yang tak lain adalah seorang perawat dari balik pintu.
          “Bukan, Mas” jawab laki-laki berseragam putih abu-abu yang wajahnya tak asing lagi bagiku.
          “Kakak, ini aku” aku memanggilnya. “Kakak ngga kenal aku?” tanyaku sedih.
          “Dek, itu kamu?” tanyanya seraya mengamati wajahku yang sedikit berubah karena luka dan bengkak.
          Aku mengangguk. Air mataku terus mengalir. Kakak kemudian masuk dan menarik kursi, duduk di dekat ranjangku.
          “Gimana kejadiannya, Dek. Kok bisa begini?”
          “Kakak ingin aku cerita dengan bibir bengkakku ini?” tanyaku manyun.
          Raut wajah Kakak yang awalnya iba berubah menahan tawa. Aku menangis makin deras. Rasanya ingin mencubit kakakku itu. Bisa-bisanya ia tertawa melihat adiknya seperti ini. Huh!
          “Tau nomor telepon sekolahmu?” tanyanya. Aku mengangguk dan menyebutkannya. “Sebentar lagi bapak ibu pasti datang. Aku keluar telepon pihak sekolah dulu ya!”
          Kakak melangkah keluar, tak lama kemudian ia datang bersama pakdhe dan ayah. Tersirat kekhawatir di raut wajahnya. Namun ia berusaha menyembunyikannya.
          “Apa yang sakit, Fir?” tanya ayah tegar. Aku hanya menggeleng.”Ibu kok belum dating, Yah”tanyaku.
          “Ibumu kan mengajarnya jauh. Mungkin sebentar lagi sampai”
          Benar kata ayah, tak lama kemudian seorang perempuan dengan seragam PSH memelukku erat. Sekujur tubuhnya gemetar. Air mata membanjiri wajahnya.
          “Ya Allah, mengapa bisa begini?” tanya ibuku sambal tersedu-sedu. Akupun menangis dalam pelukan ibu.
          Ibuku terus memelukku erat. “Mana yang sakit sayang? Apa yang sakit?”tanyanya. “Tak ada, Ibu” Aku menggeleng.”Tak Ada.”kataku menenangkan. Air mata terus mengalir dari kelopak mataku. Tiba-tiba nenekku datang bersama sepupuku yang masih SD dengan perban di kepala. Ia memelukku erat seperti ibu. Ia menangis sejadi-jadinya.
          “Anwar kenapa, Mbah?”tanyaku setelah melihat perban di kepala Anwar.
          Embahpun bercerita bahwa ketika bersiap-siap kerumah sakit untuk menjengukku, sepupuku yang masih duduk di kelas 2 SD pulang dengan memegangi kepalanya yang mengucurkan darah. Ia dilempar batu oleh temannya dan mengenai kepala.
           “Gimana kepalamu, An? Sakit?” tanyaku padanya. Ia hanya mengangguk.
                 Sorenya, Kakak pulang untuk mengambil pakaian ganti dan ayah tengah berbicara dengan pemilik angkutan. Ibu, nenek, dan tante selalu berada di sampingku.
          “Sewaktu bayi, kau pernah dirawat di kamar ini, Fir.” Ibu membuka pembicaraan.
          Aku menatapnya. Ia terlihat sangat sedih. “Sejak bayi, kau sering sakit” lanjutnya “Sejak berumur tiga bulan kau sudah diinfus. Fira dulu prematur. Itu salah ibu yang tak bisa menjagamu dengan baik.” Ibu terus menangis mengingat sebuah kejadian.

November 1994
Tepat pukul sembilan malam. Seorang lelaki paruh baya mengayuh sepedanya kuat-kuat. Jantungnya berdebaran. Keringat bercucuran membasahi kaos tipisnya. Udara dingin malam menelusup masuk hingga menusuk tulangnya. Bukan lelah, tetapi gelisah yang dirasa. Air mata tiba-tiba menetes tanpa perintahnya. Dua nyawa. Ya, dua nyawa yang kini harus dia pertaruhkan. Seorang wanita dengan perut membesar berbungkus selendang diboncengnya. Selendang lainnya mengikat badannya dengan sang pria. Sekujur tubuh wanita itu semakin dingin dan pucat. Keringat bercucuran menahan sakit diperutnya yang baru berumur 7 bulan. Dengan berbekal lentera, sepasang suami istri itu memperjuangkan nyawa. Mulut mereka berkomat-kamit tak henti mengucap doa agar Tuhan tak mengambil anaknya yang ketiga seperti nasib anak keduanya.
Lima belas menit berlalu, di plataran rumah sakit, lelaki itu melepas selendang yang menahan istrinya dan membimbingnya berjalan memasuki rumah sakit. Seorang perawat membantu mereka menuju ruang periksa. Tak lama kemudian diikuti seorang bidan.
“Maaf bu, kita harus melakukan persalinan malam ini juga.Air ketubannya sudah pecah.” Katanya setelah selesai memeriksa kandungan sang ibu.
“Tapi bu bidan, usia kandungan saya baru 7 bulan.”
“Tidak apa-apa ibu, mari kita berusaha semaksimal mungkin dan berdoa”
Perempuan itu hanya mengangguk dengan mulut yang tak hentinya mengucap doa.
Pukul sebelas lebih lima menit, tangisan seorang bayi memecah rumah sakit. Haru biru memenuhi setiap sudut kamar sempit itu. Setelah bidan hampir berputus asa dan memutuskan untuk mengadakan operasi sesar, sang jabang bayi akhirnya lahir membawa tangisan bahagia pasangan suami istri itu.
“Di ruang ini. Ya, di ruang sempit sudut selatan rumah sakit ini kau dulu dilahirkan. Dua puluh tahun yang lalu. Ibu ingat sekali.  Ibu selalu berdoa agar kau tak bernasib sama dengan almarhum kakakmu. Dia meninggal tanpa sempat menghirup udara kehidupan. Ibu ingin melihatmu menjadi orang sukses dan bersuami dengan pria yang sholeh. Menimang anak-anakmu dan..” Ceritanya terhenti. Air mata mengucur deras dari kedua matanya. Tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi denganku.
Aku menggenggam tangan ibuku erat. “Aku akan baik-baik saja, Bu. Percayalah.” Ibu memelukku erat. Air mata kami berjatuhan. Dadaku terasa sesak. Bukan karena pelukan ibu, tetapi karena terisak dengan penyesalanku. Peristiwa  ini. Peristiwa dimana malaikat Izrail mengepakkan sayapnya ke satu persatu orang disekitarku hari ini. Bahkan mungkin dalam waktu yang bersamaan. Saat orang orang terdekat mereka menangis histeris, aku terus terisak. Aku takut. Takut yang amat sangat. Aku takut akan tiba giliranku. Aku takut jika Izrail tiba-tiba mengepakkan sayapnya ke arahku. Membawaku pergi  beserta penyesalanku. Slide-slide kejadian masa lalu ditampilkan layaknya layar bioskop yang memutar memori masa lalu satu persatu. 


KET: Ini cerpen jaman SMA pas ada tugas nulis cerpen. Terinspirasi dari kisah nyata pas kecelakaan SMP dulu.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

HELLO, WELCOME !

HELLO, WELCOME !
24 yo. Elementary School Teacher Education.

Follow Us

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • pinterest
  • youtube

Instagram

@Izzahmysr

Blog Archive

  • ►  2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
  • ►  2019 (37)
    • ►  April 2019 (2)
    • ►  Maret 2019 (8)
    • ►  Februari 2019 (17)
    • ►  Januari 2019 (10)
  • ►  2018 (2)
    • ►  Desember 2018 (2)
  • ►  2017 (4)
    • ►  Oktober 2017 (4)
  • ▼  2012 (20)
    • ▼  Desember 2012 (11)
      • Don’t stop our civil war!
      • Jeprat Jepret Vredeberg
      • Kuliah Di Sini Bukan Akhir Segalanya
      • Gadis Penunggu Fajar
      • Movie Review: Nobody Knows (2004)
      • We
      • Day Span: Dawn or Dusk
      • Ngga Mau Jadi Guru!
      • Candles
      • Ujian Naik Kelas
      • Pake Kacamata
    • ►  November 2012 (9)
      • Kilas Balik Putih Abu-abu
      • Kepakkan Sayap Malaikat Maut

Label

  • Education (2)
  • English (6)
  • Islam (1)
  • Perjalanan Menuju Senja (4)
  • Somewhere Out There (11)
  • Teaching Diary (17)
  • Thought (6)
Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

  • Kepakkan Sayap Malaikat Maut
  • An Inspiring Korean Drama: Jewel In The Palace
  • About Me
  • A Crazy Little Thing Called Love
  • About Me

Pengikut

Created with by ThemeXpose