Clunting, cincin itu menggelinding menjauhi tuannya.
Aku terduduk lemas diiringi tatapan kecewa terpancar dari raut wajahnya. Hidup
ini berjalan begitu cepat, tapi mengapa cinta datang dan memudar begitu lambat? Tentangnya, aku memanggilnya fajar. Kenapa? Seringkali aku bertemu dengannya tatkala fajar. Cinta pertama yang membuatku memeluk erat mimpi-mimpi di esok hari. Kisahku, tentang fajar dan aku, tentang mimpiku dan sekolah itu.
Love at first sight? Tidak.
Aku tidak begitu. Atau wiwiting tresna
jalaran seko kulina? apalagi. Aku tak pernah bersama dengannya. Sekedar
jalan ataupun ngobrol bersama sekalipun tak pernah. Aku rasa teori-teori cinta
tak bisa diterapkan pada kisahku ini. Anomali? Atau penemuan teori baru? Ah aku
tak tau. Yang jelas aku tak pernah mengadakan eksperimen tentang ini.
Pertemuan
ini terjadi begitu saja saat ia duduk di bangku SMP dan aku masih kelas 4 SD.
Setiap Jumat sore aku bersama adikku yang berumur dua tahun mengaji di TPQ
dekat rumahnya. Dia adalah pendatang baru di desaku. Pertama kali bertemu, dia
mengenakan baju koko hijau muda dengan kopyah ala pak haji. Mencolok memang,
tapi inilah yang membuatku mengingat pertemuan pertama kami. Ditambah lagi saat
ia berjalan di depan rumahnya ia hampir saja kejatuhan ular hijau yang warnanya
senada dengan bajunya dan panjangnya hampir selebar jalan. Hal itu menambah
kuatkan ingatanku tentang pertemuan pertama itu. Pertemuan kedua? Ketiga? Ah
aku tak ingat. Setelah kejadian itu, aku tak mengingat lagi pertemuanku
dengannya selama di TPQ selain pertemuan pertama dengan koko hijau muda itu. Yes. Thats the first meet and the first
sight. Nothing happened.
Di
ujung jalan itu aku mengenakan seragam putih biru dan kau putih abu-abu. Di ujung jalan itu kita menunggu. Di ujung jalan itu kita duduk bersebrangan
terkadang saling berhadapan namun terkadang juga saling membelakangi. Hanya
sekedar kau mengetahui namaku dan aku mengetahui namamu. Tak ada senyum, sapa,
apalagi canda. Hanya diam dan saling tatap. Itu berlangsung selama
bertahun-tahun hingga kau pertama kali menyapaku saat tanpa sengaja kita
menaiki angkutan yang sama sepulang sekolah.
“Udah
sembuh, Fi?”, tanyanya memecah keheningan dalam keramaian.
“Eh,
E iya, Mas.”, jawabku singkat. Aku tak percaya kalau dia baru saja menyapaku.
Kami
pun menyebrangi jalan bersama dalam hening. Waktu itu kau mengenakan seragam
putih abu-abumu dengan tas gendong hitam. Aku mengenakan seragam putih biru tua
dibalut jaket merah tipis. Sesampainya di terminal, aku langsung masuk ke dalam
angkutan yang mengetem dan kau duduk di kursi terminal seorang diri. Aku
sengaja masuk ke angkutan untuk menghindari kebekuan antara aku denganmu. Dari
balik kaca angkutan, aku memandangimu. “Mengapa kita tidak bisa berteman
seperti aku dengan teman-temanku lainnya? Apa ada yang salah diantara kita?”
Ah, mengapa banyak sekali pertanyaan berkecamuk dalam pikiranku tentangmu. Eh,
tadi dia bertanya apa padaku? Bagaimana dia tahu kalau aku baru saja sakit? Ah
menambah poin tanda tanya saja.
Setelah
pertemuan itu, Ia selalu menyapaku entah dengan memanggil namaku atau hanya
sekadar tersenyum manis saat bertemu. Awalnya aku biasa saja dengan itu namun
kemudian sapaan dan senyuman itu mulai menggangguku. Tepatnya setelah para
fansmu menanyaiku banyak hal tentangmu. Mereka menyangka aku mengetahui banyak
hal tentangmu. Mulai saat itulah aku mulai memperhatikanmu. Mencari setiap
detail tentangmu. Bukan karena aku jatuh hati padamu, tetapi lebih agar aku bisa
menjawab pertanyaan dari fansmu saja.
Ah,
takdirpun berpihak padaku. Memfasilitasi usahaku untuk mengetahui lebih
tentangmu. Ibumu satu tempat kerja dengan ibuku dan mereka menjadi teman
dekat. Hampir setiap hari ibumu berkunjung ke rumahku. Tak jarang ia bercerita tentangmu.
Dari beberapa anaknya, sepertinya kaulah yang paling sering dia ceritakan. Kau
memang anak kebanggaannya. Terkadang untuk bisa menguping, aku sengaja sedikit
agak lama saat meletakkan minuman, mondar manding keluar masuk
melewati ruang tamu, atau terkadang duduk meguping di balik pintu. Ah konyol
sekali kelakuanku waktu itu. Mengetahui banyak hal tentangmu, membuatku jatuh
hati padamu. Berawal dari penasaran menjadi perasaan. Perasaan aneh yang
membuatku tak mengenal diriku.
Saat
aku duduk di kelas tiga SMP yang berarti kau duduk di kelas tiga SMA, kau pun kos.
Kita menjadi jarang bertemu. Tak ada duduk berhadapan ataupun membelakangi. Aku
menunggu angkutan seorang diri. Hari-hari tanpamu membuatku merasa ada yang
hilang. Sampai suatu ketika, ibu menawariku untuk mengikuti bimbingan belajar
untuk persiapan ujian nasional. Ah, ibu seperti tidak mengenaliku saja. Aku
lebih suka belajar sendiri dengan setumpukan buku dari pada mengikuti bimbingan
belajar. Aku lebih suka mempelajari sesuai apa yang aku mau dan apa yang
kubutuhkan sesuai moodku. Bukan belajar
dengan jadwal yang menyesuaikan orang banyak. Namun setelah kutahu kau
mengikuti bimbingan belajar itu, tanpa babibu aku iyakan saja tawaran ibuku. Ah,
betapa senangnya ibuku mengetahui aku mau mengikuti bimbingan belajar itu.
Sampai biaya bimbingan belajar yang tak kecil ibu bayar cash dan berhadiah sebuah kaos.
Di
tempat bimbingan belajar itu, aku bertemu seorang teman baru yang supel,
crewet, sok kenal tapi asyik. Namanya Risty. Awalnya kita tak saling mengenal.
Namun karena sikap sok kenalnya itulah kami menjadi teman baik. Rumah kami pun
searah sehingga kami sering pulang bersama. Sampai suatu ketika, kalau tidak
salah hari itu hari sabtu. Saat aku dan Risty berjalan bersama, asyik bercanda
tawa, tanpa kusadari kau berjalan seorang diri di belakang kami. Saat tanpa
sengaja aku menengok ke belakang dan bersitatap denganmu, satu detik, dua detik
aku pun buru-buru kembali menghadap kedepan, tak sempat menyapa. Sejenak canda
tawaku terhenti. Entah mengapa sentak jantungku memompa darah dengan begitu
cepatnya. Darah dingin mengalir kesekujur tubuhku. Mukaku memerah dan aku
hilang kendali. Ah, allay sekali
tubuhku ini. Bertemu dengannya saja bak bertemu presiden. Sialnya, Risty yang
tak mengetahui apa yang terjadi resah dan khawatir dengan begitu berlebihan. Ah,
mungkin kalau aku menjadi dia, aku akan tertawa puas melihat aksiku waktu itu.
Sesampainya
di ujung jalan tenpat menunggu angkutan, aku mencoba menenangkan diriku mencoba
mengobrol dengan Risty. Tak lama kemudian, angkutanpun datang. Aku dan Risty
buru-buru naik. Namun tidak denganmu. Aku menengok ke arahmu dan kau hanya
berdiri diam tak bergeming disana. Apakah kau menunggu seseorang?
Setelah
kejadian itu, akupun bercerita kepada Risty tentang apa yang sebenarnya
terjadi. Sialnya, dia justru mentertawakanku. Aku ingat sekali nasihatnya waktu
itu, “kalau kamu suka, kamu ajak dia ngobrol, bukan malah kayak cumi keracunan
gitu.” Ah, menyebalkan sekali. Cumi keracunan? Memang dia pernah melihatnya?
uh, jadi nyesel cerita sama dia. Parahnya, setelah dia tau aku menyukai
seseorang, dia jadi super Kepo. Dia
selalu menanyakan “siapa namanya? apa dia ganteng? ko bisa si cewek dingin,
cuek, apatis sama cowok kayak kamu bisa jatuh cinta?” Haduh, tu kan bawelnya
mulai keluar. Aku juga manusia kali, yang menurut ilmu biologi yang aku
pelajari, saat masa puber bakal menunjukkan gejala tertarik kepada lawan jenis.
Puncak
penyesalanku adalah saat aku akhirnya aku menunjukkan foto kak Zaen yang
kudapat dari foto kelas di majalah SMAnya ke Risty. Sejak kejadian itu, Risty
menjadi semakin penasaran. Ia mencari beberapa akun facebook dengan nama Zaenal
Arifin namun akhirnya nihil. Sampai suatu ketika, saat bimbingan belajar, tanpa
sengaja aku melihat kak Zaen dan temannya melintas. Akupun berbisik kepada
Risty. “Kak Zaen lewat, Ris”. Sontak dia menarik tanganku ke arah tutor bimbel
meminta izin ke kamar mandi. Izinnya si ke kamar mandi tapi dia menyeretku ke
arah yang berlawanan. Sesampainya di tempat penempelan jadwal, refleks dia
berseru “ Itu kak Zaen Fi?” tanyanya dengan suara menggelegar bak pake toa. Kak
Zaen dan temannya pun menengok kearahku. “Ko cakepan di foto si dari aslinya”
Sambungnya tanpa merasa bersalah. Ah, rasanya aku ingin meminjam pintu kemana
sajanya doraemon dan enyah dari tempat itu. Ah bisa-bisanya anak ini sepercaya
diri itu.
Setelah
kejadian itu, ingin rasanya aku tak pernah bertemu lagi dengan kak Zaen. Tapi
takdir justru berlawanan. Setelah kejadian itu aku justru semakin sering
bertemu dengannya. Walaupun sama seperti biasa hanya saling menyapa dengan
senyuman. Sampai terakhir kali bertemu saat pengumuman calon siswa baru di
SMAnya. Aku senang, namaku termasuk dalam daftar nama siswa yang lolos seleksi.
Bertemu denganmu disana ibarat ucapan selamat dari Tuhan untukku. Setelah
pertemuan itu, aku benar-benar tak pernah bertemu lagi denganmu. Aku hanya
mendengar cerita-certita tentangmu di rantau dari ibumu.
0 comments