Fajar

by - November 22, 2012

Clunting, cincin itu menggelinding menjauhi tuannya. Aku terduduk lemas diiringi tatapan kecewa terpancar dari raut wajahnya. Hidup ini berjalan begitu cepat, tapi mengapa cinta datang dan memudar begitu lambat? Tentangnya, aku memanggilnya fajar. Kenapa? Seringkali aku bertemu dengannya tatkala fajar. Cinta pertama yang membuatku memeluk erat mimpi-mimpi di esok hari. Kisahku, tentang fajar dan aku, tentang mimpiku dan sekolah itu. 
            Love at first sight? Tidak. Aku tidak begitu. Atau wiwiting tresna jalaran seko kulina? apalagi. Aku tak pernah bersama dengannya. Sekedar jalan ataupun ngobrol bersama sekalipun tak pernah. Aku rasa teori-teori cinta tak bisa diterapkan pada kisahku ini. Anomali? Atau penemuan teori baru? Ah aku tak tau. Yang jelas aku tak pernah mengadakan eksperimen tentang ini.
Pertemuan ini terjadi begitu saja saat ia duduk di bangku SMP dan aku masih kelas 4 SD. Setiap Jumat sore aku bersama adikku yang berumur dua tahun mengaji di TPQ dekat rumahnya. Dia adalah pendatang baru di desaku. Pertama kali bertemu, dia mengenakan baju koko hijau muda dengan kopyah ala pak haji. Mencolok memang, tapi inilah yang membuatku mengingat pertemuan pertama kami. Ditambah lagi saat ia berjalan di depan rumahnya ia hampir saja kejatuhan ular hijau yang warnanya senada dengan bajunya dan panjangnya hampir selebar jalan. Hal itu menambah kuatkan ingatanku tentang pertemuan pertama itu. Pertemuan kedua? Ketiga? Ah aku tak ingat. Setelah kejadian itu, aku tak mengingat lagi pertemuanku dengannya selama di TPQ selain pertemuan pertama dengan koko hijau muda itu. Yes. Thats the first meet and the first sight. Nothing happened.
Di ujung jalan itu aku mengenakan seragam putih biru dan kau putih abu-abu. Di ujung jalan itu kita menunggu. Di ujung jalan itu kita duduk bersebrangan terkadang saling berhadapan namun terkadang juga saling membelakangi. Hanya sekedar kau mengetahui namaku dan aku mengetahui namamu. Tak ada senyum, sapa, apalagi canda. Hanya diam dan saling tatap. Itu berlangsung selama bertahun-tahun hingga kau pertama kali menyapaku saat tanpa sengaja kita menaiki angkutan yang sama sepulang sekolah.
“Udah sembuh, Fi?”, tanyanya memecah keheningan dalam keramaian.
“Eh, E iya, Mas.”, jawabku singkat. Aku tak percaya kalau dia baru saja menyapaku.
Kami pun menyebrangi jalan bersama dalam hening. Waktu itu kau mengenakan seragam putih abu-abumu dengan tas gendong hitam. Aku mengenakan seragam putih biru tua dibalut jaket merah tipis. Sesampainya di terminal, aku langsung masuk ke dalam angkutan yang mengetem dan kau duduk di kursi terminal seorang diri. Aku sengaja masuk ke angkutan untuk menghindari kebekuan antara aku denganmu. Dari balik kaca angkutan, aku memandangimu. “Mengapa kita tidak bisa berteman seperti aku dengan teman-temanku lainnya? Apa ada yang salah diantara kita?” Ah, mengapa banyak sekali pertanyaan berkecamuk dalam pikiranku tentangmu. Eh, tadi dia bertanya apa padaku? Bagaimana dia tahu kalau aku baru saja sakit? Ah menambah poin tanda tanya saja.
Setelah pertemuan itu, Ia selalu menyapaku entah dengan memanggil namaku atau hanya sekadar tersenyum manis saat bertemu. Awalnya aku biasa saja dengan itu namun kemudian sapaan dan senyuman itu mulai menggangguku. Tepatnya setelah para fansmu menanyaiku banyak hal tentangmu. Mereka menyangka aku mengetahui banyak hal tentangmu. Mulai saat itulah aku mulai memperhatikanmu. Mencari setiap detail tentangmu. Bukan karena aku jatuh hati padamu, tetapi lebih agar aku bisa menjawab pertanyaan dari fansmu saja.
Ah, takdirpun berpihak padaku. Memfasilitasi usahaku untuk mengetahui lebih tentangmu. Ibumu satu tempat kerja dengan ibuku dan mereka menjadi teman dekat. Hampir setiap hari ibumu berkunjung ke rumahku. Tak jarang ia bercerita tentangmu. Dari beberapa anaknya, sepertinya kaulah yang paling sering dia ceritakan. Kau memang anak kebanggaannya. Terkadang untuk bisa menguping, aku sengaja sedikit agak lama saat meletakkan minuman, mondar manding keluar masuk melewati ruang tamu, atau terkadang duduk meguping di balik pintu. Ah konyol sekali kelakuanku waktu itu. Mengetahui banyak hal tentangmu, membuatku jatuh hati padamu. Berawal dari penasaran menjadi perasaan. Perasaan aneh yang membuatku tak mengenal diriku.
Saat aku duduk di kelas tiga SMP yang berarti kau duduk di kelas tiga SMA, kau pun kos. Kita menjadi jarang bertemu. Tak ada duduk berhadapan ataupun membelakangi. Aku menunggu angkutan seorang diri. Hari-hari tanpamu membuatku merasa ada yang hilang. Sampai suatu ketika, ibu menawariku untuk mengikuti bimbingan belajar untuk persiapan ujian nasional. Ah, ibu seperti tidak mengenaliku saja. Aku lebih suka belajar sendiri dengan setumpukan buku dari pada mengikuti bimbingan belajar. Aku lebih suka mempelajari sesuai apa yang aku mau dan apa yang kubutuhkan sesuai moodku. Bukan belajar dengan jadwal yang menyesuaikan orang banyak. Namun setelah kutahu kau mengikuti bimbingan belajar itu, tanpa babibu aku iyakan saja tawaran ibuku. Ah, betapa senangnya ibuku mengetahui aku mau mengikuti bimbingan belajar itu. Sampai biaya bimbingan belajar yang tak kecil ibu bayar cash dan berhadiah sebuah kaos.
Di tempat bimbingan belajar itu, aku bertemu seorang teman baru yang supel, crewet, sok kenal tapi asyik. Namanya Risty. Awalnya kita tak saling mengenal. Namun karena sikap sok kenalnya itulah kami menjadi teman baik. Rumah kami pun searah sehingga kami sering pulang bersama. Sampai suatu ketika, kalau tidak salah hari itu hari sabtu. Saat aku dan Risty berjalan bersama, asyik bercanda tawa, tanpa kusadari kau berjalan seorang diri di belakang kami. Saat tanpa sengaja aku menengok ke belakang dan bersitatap denganmu, satu detik, dua detik aku pun buru-buru kembali menghadap kedepan, tak sempat menyapa. Sejenak canda tawaku terhenti. Entah mengapa sentak jantungku memompa darah dengan begitu cepatnya. Darah dingin mengalir kesekujur tubuhku. Mukaku memerah dan aku hilang kendali. Ah, allay sekali tubuhku ini. Bertemu dengannya saja bak bertemu presiden. Sialnya, Risty yang tak mengetahui apa yang terjadi resah dan khawatir dengan begitu berlebihan. Ah, mungkin kalau aku menjadi dia, aku akan tertawa puas melihat aksiku waktu itu.
Sesampainya di ujung jalan tenpat menunggu angkutan, aku mencoba menenangkan diriku mencoba mengobrol dengan Risty. Tak lama kemudian, angkutanpun datang. Aku dan Risty buru-buru naik. Namun tidak denganmu. Aku menengok ke arahmu dan kau hanya berdiri diam tak bergeming disana. Apakah kau menunggu seseorang?
Setelah kejadian itu, akupun bercerita kepada Risty tentang apa yang sebenarnya terjadi. Sialnya, dia justru mentertawakanku. Aku ingat sekali nasihatnya waktu itu, “kalau kamu suka, kamu ajak dia ngobrol, bukan malah kayak cumi keracunan gitu.” Ah, menyebalkan sekali. Cumi keracunan? Memang dia pernah melihatnya? uh, jadi nyesel cerita sama dia. Parahnya, setelah dia tau aku menyukai seseorang, dia jadi super Kepo. Dia selalu menanyakan “siapa namanya? apa dia ganteng? ko bisa si cewek dingin, cuek, apatis sama cowok kayak kamu bisa jatuh cinta?” Haduh, tu kan bawelnya mulai keluar. Aku juga manusia kali, yang menurut ilmu biologi yang aku pelajari, saat masa puber bakal menunjukkan gejala tertarik kepada lawan jenis.
Puncak penyesalanku adalah saat aku akhirnya aku menunjukkan foto kak Zaen yang kudapat dari foto kelas di majalah SMAnya ke Risty. Sejak kejadian itu, Risty menjadi semakin penasaran. Ia mencari beberapa akun facebook dengan nama Zaenal Arifin namun akhirnya nihil. Sampai suatu ketika, saat bimbingan belajar, tanpa sengaja aku melihat kak Zaen dan temannya melintas. Akupun berbisik kepada Risty. “Kak Zaen lewat, Ris”. Sontak dia menarik tanganku ke arah tutor bimbel meminta izin ke kamar mandi. Izinnya si ke kamar mandi tapi dia menyeretku ke arah yang berlawanan. Sesampainya di tempat penempelan jadwal, refleks dia berseru “ Itu kak Zaen Fi?” tanyanya dengan suara menggelegar bak pake toa. Kak Zaen dan temannya pun menengok kearahku. “Ko cakepan di foto si dari aslinya” Sambungnya tanpa merasa bersalah. Ah, rasanya aku ingin meminjam pintu kemana sajanya doraemon dan enyah dari tempat itu. Ah bisa-bisanya anak ini sepercaya diri itu.
Setelah kejadian itu, ingin rasanya aku tak pernah bertemu lagi dengan kak Zaen. Tapi takdir justru berlawanan. Setelah kejadian itu aku justru semakin sering bertemu dengannya. Walaupun sama seperti biasa hanya saling menyapa dengan senyuman. Sampai terakhir kali bertemu saat pengumuman calon siswa baru di SMAnya. Aku senang, namaku termasuk dalam daftar nama siswa yang lolos seleksi. Bertemu denganmu disana ibarat ucapan selamat dari Tuhan untukku. Setelah pertemuan itu, aku benar-benar tak pernah bertemu lagi denganmu. Aku hanya mendengar cerita-certita tentangmu di rantau dari ibumu.

You May Also Like

0 comments