• Home
  • About
  • Writings
    • Poems
    • Prose
    • Quotes
    • Reviews
      • Books
      • Dramas
      • Movies
  • Design
  • Thought
  • Travel
    • Bandung
    • Jepara
    • Kebumen
    • Magelang
    • Yogyakarta
    • Malaysia
  • Teaching Diary
Youtube SoundCloud Linkedin facebook twitter instagram pinterest Email

Zea Mays

Aku nggak tau kenapa aku masih di sini. Aku ngerasa kayak alien yang tersesat di planet lain. Aku kangen atmosfer masa-masa SMA. Could I turn back the time?


2009-2012

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

       Pagi kian meremang. Mentari bersembunyi di balik awan hitam nan tebal. Jarum jam menunjukkan pukul 05.45. Aku telah bersiap untuk berangkat sekolah.
          “Aduh kesiangan nih.” Gumamku seraya menggendong tasku yang menggembung besar. Maklumlah anak kos bawaannya banyak. Kuturunkan kembali tas yang ku gendong untuk mengabsen barang bawaanku
          “Beras, seragam pramuka, buku pelajaran, jajan. Siip lah semua lengkap.”, kataku pelan.
          Kugendong tasku kembali dan beranjak menemui orang tuaku untuk berpamitan. Kulihat ayah tengah membaca koran di teras depan.
          “Yah, berangkat.”, kataku seraya mengulurkan tangan kananku.
          Ayah menyambut uluran tanganku namun ia tidak seperti biasanya yang langsung mengambil dompet dari sakunya tanpa ku minta. Ayah melirikku dengan tatapan meledek dan kembali asyik dengan korannya.
          “Yah, gajinya mana?” aku membuka mulut.
          Ayah tersenyum dan mengeluarkan beberapa uang kertas dari dompetnya.
           “Di rumah cuma numpang tidur sama makan minta digaji.”, ledeknya.
          “Hahaha. Iya dong. Ah udah siang yah, Fira berangkat ya. Assalamu’alaikum.”
          “Wa’alaikumsalam. Udah pamitan sama ibu?” tanyanya.
          Aku terus berjalan berpura-pura tidak mendengar. Aku sengaja tidak berpamitan kepada ibuku karena aku masih jengkel akibat perdebatan semalam.
          Sesampainya di gardu tempatku menunggu angkutan, aku mengeluarkan buku TIKku dan membacanya. Hari itu aku tengah menghadapi Ulangan Akhir Semester 1. Tak lama kemudian angkutan datang dan aku segera naik.
          Kebiasaan anak sekolah yang suka pilih-pilih angkutan yang cepat kini mulai menular kepadaku. Aku tak banyak tau cara membedakan angkutan yang cepat yang mana. Oleh karena itu, kuputuskan untuk mengikuti kedua siswi SMA yang berdiri di sampingku saja. Tak lama kemudian, sebuah angkutan bertuliskan “IDOL” melintas. Kedua siswi SMA yang berdiri di sampingku beranjak naik dan aku pun mengikutinya. Aku duduk di bangku nomor dua dari pintu.  Ku buka kembali buku TIKku dan mulai membacanya. Di tengah perjalanan, angkutanpun berhenti. Tak lama kemudian suara dentuman keras terdengar dan angkutan yang kunaiki terguling ke irigasi di sebelah selatan jalan. Dentuman keras itu membuatku kehilangan kesadaran. Aku tak tahu apa yang terjadi padaku di dalam angkutan itu. Semua terasa tenang dan gelap.
          Aku tersadar saat benda berat yang menindihku terangkat dan seorang laki-laki menarik tubuhku yang lemah keluar dari tempat yang mengerikan itu. Ia membaringkanku di tepi jalan pada rumput yang basah akibat hujan tadi malam. Laki-laki itu kemudian pergi menghilang tanpa memberiku kesempatan untuk mengucapkan terima kasih padanya. Mungkin ia tengah bersaing dengan waktu untuk menyelamatkan sebanyak mungkin korban yang dia bisa tolong.
          Langit tampak diselimuti awan hitam nan tebal. Aku merasa malaikat maut telah mengepakkan sayapnya menuju tempat mengerikan ini, bahkan mungkin telah menjemput beberapa orang di sini. Aroma kematian tercium kental dan ketakutan mulai terasa. Aku merasakan kesakitan yang amat sangat pada seluruh tubuhku. Tulang rusukku terasa berat dan enggan untuk bergerak. Oh Tuhan, apakah malaikat maut-Mu tengah mengepakkan sayapnya ke arahku sekarang? Aku tak tahu. Aku belum siap untuk pulang sekarang. Air mataku mengalir deras dan mulutku tak henti-hentinya beristighfar. Cerita-cerita pak ustad tentang kehidupan setelah mati terpampang dan video-video dosaku di-replay satu per satu.
          Teriakan orang-orang menyita perhatianku. Orang-orang tersebut tengah bergotong-royong untuk mengeluarkan pemilik jib yang menabrak angkutanku dari jibnya yang ringsek. Sungguh pemandangan yang mengerikan. Darah bercecer di sana-sini, teriakan, tangisan, dan istighfar berdendang menjadi satu dan terdengar memilukan. Tiba-tiba aku teringat dengan dua siswi SMA yang naik angkutan ini. Bagaimana nasibnya sekarang?  Ku putar mataku ke seluruh jalan berharap menemukan sosok mereka. Namun hanya salah satu dari mereka yang kutemukan. Ia tengah berdiri di bawah pohon. Sepertinya ia tidak terluka parah. Hanya keluar sedikit cairan merah di tangan kanannya. Tak lama kemudian sebuah angkutan lewat dan seseorang menghentikan angkutan itu. Para siswa yang menaiki angkutan itupun satu persatu turun. Sepertinya orang yang menghentikan angkutan itu meminta mereka untuk mecari orang yang mereka kenal di antara para korban kecelakaan. Seorang cowok melangkah keluar dari angkot. Cowok itu mengenakan seragam putih abu-abu. Wajahnya tak asing lagi bagiku. Ya, wajahnya sangat familiar. Aku mengengenalnya. Ia menemui gadis di bawah pohon itu dan mengajaknya untuk menaiki angkutan yang ia tumpangi.
          Aku takut. Takut sekali. Aku takut kematian menghampiriku. Oh, Tuhan. Tiba-tiba aku terbayang wajah ibuku. Kami berdua bertengkar semalam. Aku belum meminta maaf padanya. Aku tak berpamitan saat berangkat sekolah. Aku berharap ini hanya mimpi buruk dan ketika aku terbangun, aku telah berada di kasurku. Bukan rumput yang basah dan kotor ini. Air mataku terus mengalir dan aku merasakan sakit yang amat sangat.
          Tiba-tiba aku mendengar jeritan yang amat menyayat hati. Seorang ibu menggendong anaknya yang masih kecil meminta pertolongan agar mereka segera dibawa ke rumah sakit. Ibu itu mengelus-elus anaknya yang diam tak bergerak. Bahkan kembang kempis dadanya pun tak terlihat. Sepertinya Izroil telah membawanya pulang. Ia terus berjalan meminta bantuan. Tak peduli dengan luka kakinya yang parah. Seorang laki-laki mendekatinya. Memintanya untuk tenang. Laki-laki itu kemudian berjalan untuk meminta bantuan kepada pengendara mobil yang lewat agar membawa ibu itu dan anaknya ke rumah sakit terdekat, namun mereka menolak.
          “Permisi, nama mbak siapa?” Tanya seorang laki-laki yang tiba-tiba berdiri di sampingku. Aku kaget sekaligus ketakutan. “Siapa dia? Kenapa dia tiba-tiba bertanya namaku? Apa dia malaikat Izrail yang siap menjemputku? Apa dia malaikat Izrail?”, tanyaku dalam hati.
          Kutarik nafasku dalam-dalam menenangkan. “Fira Kusumawati” Jawabku pelan seraya menahan sakit pada bibirku saat menggerakkannya. Kulihat raut wajahnya penuh dengan tanya. Sepertinya ia belum mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Aku mengacungkan tanganku ke arah tas biru yang tergeletak tak jauh dari tempatku terbaring. Laki-laki itu akhirnya mengerti. Ia memungut tas itu dan memberikannya kepadaku. Kuambil dompetku dari dalam tas dan memberikan kartu identitasku kepadanya. Ia kemudian pergi dan aku masih di sini. Terbaring di rumput basah.
          Tak lama kemudian, sebuah VIAR datang. Seorang laki-laki mengangkatku ke atasnya. Kulihat seorang bapak-bapak berbadan gemuk telah terbaring di sana. Lututnya sobek memperlihatkan daging dan tulangnya. Sungguh mengerikan. Laki-laki yang mengangkatku duduk di sampingku dan membimbingku untuk terus beristighfar. Di perjalanan menuju rumah sakit, laki-laki yang terluka itu terlihat gelisah. Ia tak berkata sepatah katapun. Ia hanya berbaring bangun dan berbaring bangun lagi. Kulihat kegelisahan dan ketakutan di raut wajahnya.
          Sesampainya di rumah sakit, laki-laki disampingku kembali mengangkatku. Kulihat seorang perawat telah bersiap di lobi. Perawat tersebut membantunya membawaku ke ranjang di lobi rumah sakit. Tak lama kemudian, seorang perempuan mengenakan baju perawat datang dengan baskom berisi air hangat di tangannya.
          “Saya bersihkan dulu ya, Mbak.”, sapa perawat itu.  “Seseorang yang dibawa bersama Mbak tadi meninggal.”, sambungnya.
          “Innalillahi wa Inna Illaihi Roji’un.”, kataku pelan.
          “Oh iya mba, sementara di lobi dulu ya, karena kamarnya penuh.”, kata perawat tersebut sembari membersihkan kotoran dan darah di wajahku.
          “Sini, sementara mayatnya ditidurkan di sini dulu” perintah seorang laki-laki kepada beberapa orang yang membawa tubuh laki-laki yang dibawa bersamaku.
          “Orang yang baru meninggal tadi mau ditempatin di sana, Mbak?”, tanyaku kepada perawat yang sedang membersihkan badanku.
          “Iya, Mbak. Gapapa ya?”tanyanya
          “Nggak mau, Mbak. Lobi ini kan sepi. Nanti kalo Mbak pergi, aku cuma berdua aja sama bapak yang meninggal tadi” aku menangis.
          “Ya udah, nanti saya usahakan biar segera dapet kamar ya, Mbak”
          Aku mengangguk. Beberapa menit kemudian perawat yang berbeda datang memberiku suntikan alergi dan memasang jarum infus ke lengan kiriku. Tak lama kemudian aku dipindahkan ke sebuah ruang kamar di pojok gedung. Aku terus menangis. Bayang wajah ibu terus terpampang beserta adegan perdebatan semalam. Aku takut ibu datang setelah Izrail menjemputku. Aku takut tak sempat meminta maaf padanya. Aku takut masuk neraka akibat durhaka seperti yang pak Ustad sering ceritakan. Ah! aku takut. Andai aku diberi kesempatan untuk hidup. Aku akan menjadi lebih baik lagi. Aku menyesal ya Allah”kataku dalam hati.
          “Apa yang ini keluarganya, Mas?”terdengar suara laki-laki yang tak lain adalah seorang perawat dari balik pintu.
          “Bukan, Mas” jawab laki-laki berseragam putih abu-abu yang wajahnya tak asing lagi bagiku.
          “Kakak, ini aku” aku memanggilnya. “Kakak ngga kenal aku?” tanyaku sedih.
          “Dek, itu kamu?” tanyanya seraya mengamati wajahku yang sedikit berubah karena luka dan bengkak.
          Aku mengangguk. Air mataku terus mengalir. Kakak kemudian masuk dan menarik kursi, duduk di dekat ranjangku.
          “Gimana kejadiannya, Dek. Kok bisa begini?”
          “Kakak ingin aku cerita dengan bibir bengkakku ini?” tanyaku manyun.
          Raut wajah Kakak yang awalnya iba berubah menahan tawa. Aku menangis makin deras. Rasanya ingin mencubit kakakku itu. Bisa-bisanya ia tertawa melihat adiknya seperti ini. Huh!
          “Tau nomor telepon sekolahmu?” tanyanya. Aku mengangguk dan menyebutkannya. “Sebentar lagi bapak ibu pasti datang. Aku keluar telepon pihak sekolah dulu ya!”
          Kakak melangkah keluar, tak lama kemudian ia datang bersama pakdhe dan ayah. Tersirat kekhawatir di raut wajahnya. Namun ia berusaha menyembunyikannya.
          “Apa yang sakit, Fir?” tanya ayah tegar. Aku hanya menggeleng.”Ibu kok belum dating, Yah”tanyaku.
          “Ibumu kan mengajarnya jauh. Mungkin sebentar lagi sampai”
          Benar kata ayah, tak lama kemudian seorang perempuan dengan seragam PSH memelukku erat. Sekujur tubuhnya gemetar. Air mata membanjiri wajahnya.
          “Ya Allah, mengapa bisa begini?” tanya ibuku sambal tersedu-sedu. Akupun menangis dalam pelukan ibu.
          Ibuku terus memelukku erat. “Mana yang sakit sayang? Apa yang sakit?”tanyanya. “Tak ada, Ibu” Aku menggeleng.”Tak Ada.”kataku menenangkan. Air mata terus mengalir dari kelopak mataku. Tiba-tiba nenekku datang bersama sepupuku yang masih SD dengan perban di kepala. Ia memelukku erat seperti ibu. Ia menangis sejadi-jadinya.
          “Anwar kenapa, Mbah?”tanyaku setelah melihat perban di kepala Anwar.
          Embahpun bercerita bahwa ketika bersiap-siap kerumah sakit untuk menjengukku, sepupuku yang masih duduk di kelas 2 SD pulang dengan memegangi kepalanya yang mengucurkan darah. Ia dilempar batu oleh temannya dan mengenai kepala.
           “Gimana kepalamu, An? Sakit?” tanyaku padanya. Ia hanya mengangguk.
                 Sorenya, Kakak pulang untuk mengambil pakaian ganti dan ayah tengah berbicara dengan pemilik angkutan. Ibu, nenek, dan tante selalu berada di sampingku.
          “Sewaktu bayi, kau pernah dirawat di kamar ini, Fir.” Ibu membuka pembicaraan.
          Aku menatapnya. Ia terlihat sangat sedih. “Sejak bayi, kau sering sakit” lanjutnya “Sejak berumur tiga bulan kau sudah diinfus. Fira dulu prematur. Itu salah ibu yang tak bisa menjagamu dengan baik.” Ibu terus menangis mengingat sebuah kejadian.

November 1994
Tepat pukul sembilan malam. Seorang lelaki paruh baya mengayuh sepedanya kuat-kuat. Jantungnya berdebaran. Keringat bercucuran membasahi kaos tipisnya. Udara dingin malam menelusup masuk hingga menusuk tulangnya. Bukan lelah, tetapi gelisah yang dirasa. Air mata tiba-tiba menetes tanpa perintahnya. Dua nyawa. Ya, dua nyawa yang kini harus dia pertaruhkan. Seorang wanita dengan perut membesar berbungkus selendang diboncengnya. Selendang lainnya mengikat badannya dengan sang pria. Sekujur tubuh wanita itu semakin dingin dan pucat. Keringat bercucuran menahan sakit diperutnya yang baru berumur 7 bulan. Dengan berbekal lentera, sepasang suami istri itu memperjuangkan nyawa. Mulut mereka berkomat-kamit tak henti mengucap doa agar Tuhan tak mengambil anaknya yang ketiga seperti nasib anak keduanya.
Lima belas menit berlalu, di plataran rumah sakit, lelaki itu melepas selendang yang menahan istrinya dan membimbingnya berjalan memasuki rumah sakit. Seorang perawat membantu mereka menuju ruang periksa. Tak lama kemudian diikuti seorang bidan.
“Maaf bu, kita harus melakukan persalinan malam ini juga.Air ketubannya sudah pecah.” Katanya setelah selesai memeriksa kandungan sang ibu.
“Tapi bu bidan, usia kandungan saya baru 7 bulan.”
“Tidak apa-apa ibu, mari kita berusaha semaksimal mungkin dan berdoa”
Perempuan itu hanya mengangguk dengan mulut yang tak hentinya mengucap doa.
Pukul sebelas lebih lima menit, tangisan seorang bayi memecah rumah sakit. Haru biru memenuhi setiap sudut kamar sempit itu. Setelah bidan hampir berputus asa dan memutuskan untuk mengadakan operasi sesar, sang jabang bayi akhirnya lahir membawa tangisan bahagia pasangan suami istri itu.
“Di ruang ini. Ya, di ruang sempit sudut selatan rumah sakit ini kau dulu dilahirkan. Dua puluh tahun yang lalu. Ibu ingat sekali.  Ibu selalu berdoa agar kau tak bernasib sama dengan almarhum kakakmu. Dia meninggal tanpa sempat menghirup udara kehidupan. Ibu ingin melihatmu menjadi orang sukses dan bersuami dengan pria yang sholeh. Menimang anak-anakmu dan..” Ceritanya terhenti. Air mata mengucur deras dari kedua matanya. Tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi denganku.
Aku menggenggam tangan ibuku erat. “Aku akan baik-baik saja, Bu. Percayalah.” Ibu memelukku erat. Air mata kami berjatuhan. Dadaku terasa sesak. Bukan karena pelukan ibu, tetapi karena terisak dengan penyesalanku. Peristiwa  ini. Peristiwa dimana malaikat Izrail mengepakkan sayapnya ke satu persatu orang disekitarku hari ini. Bahkan mungkin dalam waktu yang bersamaan. Saat orang orang terdekat mereka menangis histeris, aku terus terisak. Aku takut. Takut yang amat sangat. Aku takut akan tiba giliranku. Aku takut jika Izrail tiba-tiba mengepakkan sayapnya ke arahku. Membawaku pergi  beserta penyesalanku. Slide-slide kejadian masa lalu ditampilkan layaknya layar bioskop yang memutar memori masa lalu satu persatu. 


KET: Ini cerpen jaman SMA pas ada tugas nulis cerpen. Terinspirasi dari kisah nyata pas kecelakaan SMP dulu.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments


The world is the way to construct the unfinished framework
I always sound like it
Like I lost my dream
And as I know, it is gone
But I sincerely prayed together and had a dream
It’s the time to find the missing wing

After the heavy rain and winds, the rainbow will rise
Surviving in a hard time is a gift

The sunset in the sky is as a bold embroidered
People could carry their own dream
The dark night sky is a beautiful thing
One by one, the moon try to embroidered its beauty

No one should giving up
Gotta get up, we run and run
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Clunting, cincin itu menggelinding menjauhi tuannya. Aku terduduk lemas diiringi tatapan kecewa terpancar dari raut wajahnya. Hidup ini berjalan begitu cepat, tapi mengapa cinta datang dan memudar begitu lambat? Tentangnya, aku memanggilnya fajar. Kenapa? Seringkali aku bertemu dengannya tatkala fajar. Cinta pertama yang membuatku memeluk erat mimpi-mimpi di esok hari. Kisahku, tentang fajar dan aku, tentang mimpiku dan sekolah itu. 
            Love at first sight? Tidak. Aku tidak begitu. Atau wiwiting tresna jalaran seko kulina? apalagi. Aku tak pernah bersama dengannya. Sekedar jalan ataupun ngobrol bersama sekalipun tak pernah. Aku rasa teori-teori cinta tak bisa diterapkan pada kisahku ini. Anomali? Atau penemuan teori baru? Ah aku tak tau. Yang jelas aku tak pernah mengadakan eksperimen tentang ini.
Pertemuan ini terjadi begitu saja saat ia duduk di bangku SMP dan aku masih kelas 4 SD. Setiap Jumat sore aku bersama adikku yang berumur dua tahun mengaji di TPQ dekat rumahnya. Dia adalah pendatang baru di desaku. Pertama kali bertemu, dia mengenakan baju koko hijau muda dengan kopyah ala pak haji. Mencolok memang, tapi inilah yang membuatku mengingat pertemuan pertama kami. Ditambah lagi saat ia berjalan di depan rumahnya ia hampir saja kejatuhan ular hijau yang warnanya senada dengan bajunya dan panjangnya hampir selebar jalan. Hal itu menambah kuatkan ingatanku tentang pertemuan pertama itu. Pertemuan kedua? Ketiga? Ah aku tak ingat. Setelah kejadian itu, aku tak mengingat lagi pertemuanku dengannya selama di TPQ selain pertemuan pertama dengan koko hijau muda itu. Yes. Thats the first meet and the first sight. Nothing happened.
Di ujung jalan itu aku mengenakan seragam putih biru dan kau putih abu-abu. Di ujung jalan itu kita menunggu. Di ujung jalan itu kita duduk bersebrangan terkadang saling berhadapan namun terkadang juga saling membelakangi. Hanya sekedar kau mengetahui namaku dan aku mengetahui namamu. Tak ada senyum, sapa, apalagi canda. Hanya diam dan saling tatap. Itu berlangsung selama bertahun-tahun hingga kau pertama kali menyapaku saat tanpa sengaja kita menaiki angkutan yang sama sepulang sekolah.
“Udah sembuh, Fi?”, tanyanya memecah keheningan dalam keramaian.
“Eh, E iya, Mas.”, jawabku singkat. Aku tak percaya kalau dia baru saja menyapaku.
Kami pun menyebrangi jalan bersama dalam hening. Waktu itu kau mengenakan seragam putih abu-abumu dengan tas gendong hitam. Aku mengenakan seragam putih biru tua dibalut jaket merah tipis. Sesampainya di terminal, aku langsung masuk ke dalam angkutan yang mengetem dan kau duduk di kursi terminal seorang diri. Aku sengaja masuk ke angkutan untuk menghindari kebekuan antara aku denganmu. Dari balik kaca angkutan, aku memandangimu. “Mengapa kita tidak bisa berteman seperti aku dengan teman-temanku lainnya? Apa ada yang salah diantara kita?” Ah, mengapa banyak sekali pertanyaan berkecamuk dalam pikiranku tentangmu. Eh, tadi dia bertanya apa padaku? Bagaimana dia tahu kalau aku baru saja sakit? Ah menambah poin tanda tanya saja.
Setelah pertemuan itu, Ia selalu menyapaku entah dengan memanggil namaku atau hanya sekadar tersenyum manis saat bertemu. Awalnya aku biasa saja dengan itu namun kemudian sapaan dan senyuman itu mulai menggangguku. Tepatnya setelah para fansmu menanyaiku banyak hal tentangmu. Mereka menyangka aku mengetahui banyak hal tentangmu. Mulai saat itulah aku mulai memperhatikanmu. Mencari setiap detail tentangmu. Bukan karena aku jatuh hati padamu, tetapi lebih agar aku bisa menjawab pertanyaan dari fansmu saja.
Ah, takdirpun berpihak padaku. Memfasilitasi usahaku untuk mengetahui lebih tentangmu. Ibumu satu tempat kerja dengan ibuku dan mereka menjadi teman dekat. Hampir setiap hari ibumu berkunjung ke rumahku. Tak jarang ia bercerita tentangmu. Dari beberapa anaknya, sepertinya kaulah yang paling sering dia ceritakan. Kau memang anak kebanggaannya. Terkadang untuk bisa menguping, aku sengaja sedikit agak lama saat meletakkan minuman, mondar manding keluar masuk melewati ruang tamu, atau terkadang duduk meguping di balik pintu. Ah konyol sekali kelakuanku waktu itu. Mengetahui banyak hal tentangmu, membuatku jatuh hati padamu. Berawal dari penasaran menjadi perasaan. Perasaan aneh yang membuatku tak mengenal diriku.
Saat aku duduk di kelas tiga SMP yang berarti kau duduk di kelas tiga SMA, kau pun kos. Kita menjadi jarang bertemu. Tak ada duduk berhadapan ataupun membelakangi. Aku menunggu angkutan seorang diri. Hari-hari tanpamu membuatku merasa ada yang hilang. Sampai suatu ketika, ibu menawariku untuk mengikuti bimbingan belajar untuk persiapan ujian nasional. Ah, ibu seperti tidak mengenaliku saja. Aku lebih suka belajar sendiri dengan setumpukan buku dari pada mengikuti bimbingan belajar. Aku lebih suka mempelajari sesuai apa yang aku mau dan apa yang kubutuhkan sesuai moodku. Bukan belajar dengan jadwal yang menyesuaikan orang banyak. Namun setelah kutahu kau mengikuti bimbingan belajar itu, tanpa babibu aku iyakan saja tawaran ibuku. Ah, betapa senangnya ibuku mengetahui aku mau mengikuti bimbingan belajar itu. Sampai biaya bimbingan belajar yang tak kecil ibu bayar cash dan berhadiah sebuah kaos.
Di tempat bimbingan belajar itu, aku bertemu seorang teman baru yang supel, crewet, sok kenal tapi asyik. Namanya Risty. Awalnya kita tak saling mengenal. Namun karena sikap sok kenalnya itulah kami menjadi teman baik. Rumah kami pun searah sehingga kami sering pulang bersama. Sampai suatu ketika, kalau tidak salah hari itu hari sabtu. Saat aku dan Risty berjalan bersama, asyik bercanda tawa, tanpa kusadari kau berjalan seorang diri di belakang kami. Saat tanpa sengaja aku menengok ke belakang dan bersitatap denganmu, satu detik, dua detik aku pun buru-buru kembali menghadap kedepan, tak sempat menyapa. Sejenak canda tawaku terhenti. Entah mengapa sentak jantungku memompa darah dengan begitu cepatnya. Darah dingin mengalir kesekujur tubuhku. Mukaku memerah dan aku hilang kendali. Ah, allay sekali tubuhku ini. Bertemu dengannya saja bak bertemu presiden. Sialnya, Risty yang tak mengetahui apa yang terjadi resah dan khawatir dengan begitu berlebihan. Ah, mungkin kalau aku menjadi dia, aku akan tertawa puas melihat aksiku waktu itu.
Sesampainya di ujung jalan tenpat menunggu angkutan, aku mencoba menenangkan diriku mencoba mengobrol dengan Risty. Tak lama kemudian, angkutanpun datang. Aku dan Risty buru-buru naik. Namun tidak denganmu. Aku menengok ke arahmu dan kau hanya berdiri diam tak bergeming disana. Apakah kau menunggu seseorang?
Setelah kejadian itu, akupun bercerita kepada Risty tentang apa yang sebenarnya terjadi. Sialnya, dia justru mentertawakanku. Aku ingat sekali nasihatnya waktu itu, “kalau kamu suka, kamu ajak dia ngobrol, bukan malah kayak cumi keracunan gitu.” Ah, menyebalkan sekali. Cumi keracunan? Memang dia pernah melihatnya? uh, jadi nyesel cerita sama dia. Parahnya, setelah dia tau aku menyukai seseorang, dia jadi super Kepo. Dia selalu menanyakan “siapa namanya? apa dia ganteng? ko bisa si cewek dingin, cuek, apatis sama cowok kayak kamu bisa jatuh cinta?” Haduh, tu kan bawelnya mulai keluar. Aku juga manusia kali, yang menurut ilmu biologi yang aku pelajari, saat masa puber bakal menunjukkan gejala tertarik kepada lawan jenis.
Puncak penyesalanku adalah saat aku akhirnya aku menunjukkan foto kak Zaen yang kudapat dari foto kelas di majalah SMAnya ke Risty. Sejak kejadian itu, Risty menjadi semakin penasaran. Ia mencari beberapa akun facebook dengan nama Zaenal Arifin namun akhirnya nihil. Sampai suatu ketika, saat bimbingan belajar, tanpa sengaja aku melihat kak Zaen dan temannya melintas. Akupun berbisik kepada Risty. “Kak Zaen lewat, Ris”. Sontak dia menarik tanganku ke arah tutor bimbel meminta izin ke kamar mandi. Izinnya si ke kamar mandi tapi dia menyeretku ke arah yang berlawanan. Sesampainya di tempat penempelan jadwal, refleks dia berseru “ Itu kak Zaen Fi?” tanyanya dengan suara menggelegar bak pake toa. Kak Zaen dan temannya pun menengok kearahku. “Ko cakepan di foto si dari aslinya” Sambungnya tanpa merasa bersalah. Ah, rasanya aku ingin meminjam pintu kemana sajanya doraemon dan enyah dari tempat itu. Ah bisa-bisanya anak ini sepercaya diri itu.
Setelah kejadian itu, ingin rasanya aku tak pernah bertemu lagi dengan kak Zaen. Tapi takdir justru berlawanan. Setelah kejadian itu aku justru semakin sering bertemu dengannya. Walaupun sama seperti biasa hanya saling menyapa dengan senyuman. Sampai terakhir kali bertemu saat pengumuman calon siswa baru di SMAnya. Aku senang, namaku termasuk dalam daftar nama siswa yang lolos seleksi. Bertemu denganmu disana ibarat ucapan selamat dari Tuhan untukku. Setelah pertemuan itu, aku benar-benar tak pernah bertemu lagi denganmu. Aku hanya mendengar cerita-certita tentangmu di rantau dari ibumu.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments




There is always some madness in love, 
but there is also always some reason in madness

 -FRIEDRICH NIETZSCHE-

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

To be so strong 
that nothing can disturb your peace of mind.

To talk health, happiness, and prosperity
to every person you meet.

To make all your friends feel
that there is something in them
to look at the sunny side of everything
and make your optimism come true.

To think only the best, to work only for the best,
and to expect only the best.
To be just as enthusiastic about the success of others
as you are about your own.

To forget the mistakes of the past
and press on to the greater achievements of the future.
To wear a cheerful countenance at all times
and give every living creature you meet a smile.

To give so much time to the improvement of yourself
that you have no time to criticize others.
To be too large for worry, too noble for anger, too strong for fear,
and too happy to permit the presence of trouble.

To think well of yourself and to proclaim this fact to the world,
not in loud words but great deeds.
To live in faith that the whole world is on your side
so long as you are true to the best that is in you. 

-Christian D. Larson, Your Forces and How to Use Them-
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

In the place you find peace
One of god's wonderful place
Listening to the symphony of waves 
The voice of crashing waves in your ears
Listening the sounds of the beach
Feeling one with the rhythm and harmony

In the beach you find peace
Looking the stretch of endless blue
A boundary between sky and sea fade away
Never-ceasing little waves running at you
Playing across the shores

In the beach you find peace
Feeling the mild salty mist wet your skin
The smell of the salt refreshed your tired minds.
A chilly breeze blowing on your face 
Setting your soul free

Let’s have some fun
Running on the border of two worlds
Feeling the freedom to run
Being totally free
Walking bare foot
Making footprint in the sand
Picking up shells
Building stormy sand castles
Let's being a kid
Forgetting your problems and being happy


---Izzah M,(2012)---
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Source: https://reelrundown.com/tv/top-30-best-historical-korean-dramas-sageuks-you-must-watch
Do you like watching Korean dramas? I do like it very much. I've watched it since I was in elementary school. First drama I've watched was Endless love (2000). Maybe also called as Autumn tale or Autumn In My Heart. Have you watched it? It really tears me so much (if you like romance tragedy, you should watch it. Sure, it will drain your tears). 

Same with Endless Love, Jewel in The Palace (2003) also touched me. (Actually, I'm easily touched person. Not only because of sadness but also something amazed me). This drama made me both. This historical drama was inspired by the real story about a remarkable and determined girl who became the first woman to overcome social discrimination.

Although in some scenes felt like beyond the limits of reason, but the main character, Jang Geum truly inspired me with her character who dared to take different path and was not afraid to face the risks.

Jewel in The Palace is really unforgettable. It's inspired me about life. The most memorable dialogue  was when lady Jung ask to Jang Geum "If you faced to choose life with easy or difficult way, what will you choose?" she replied that "Can we choose? I choose to life in easy way, but sometimes I get some difficulties." 

I learned from it so much. No matter how many times you fall, don't be afraid to wake up. You should always do the best things in many chances you have.

NOTE:
actually I kept writing some articles in English (even my English wasn't good) to improve my English, to make it fluently, and to learn more vocabulary.  You can help me by correcting and giving some advice. Thank you :)
Share
Tweet
Pin
Share
No comments


Hello friends. Now here is a little about me.
I am Izzah Muyassaroh. An Indonesian girl who like writing and trying something new. I'm twenty more years old. For me blogging is the only way to get out of my daily routine and to express something in my mind. It's almost about my hobbies, education, and myself. I am very grateful to you for taking the time to visit my blog. Hope you enjoy it. Happy reading :)

Find me in
Email       : Izzahmysr@gmail.com
Instagram : @izzahmysr
Twitter      : @izzahmysr
Facebook  : Izzah Muyassaroh

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts

HELLO, WELCOME !

HELLO, WELCOME !
24 yo. Elementary School Teacher Education.

Follow Us

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • pinterest
  • youtube

Instagram

@Izzahmysr

Blog Archive

  • ►  2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
  • ►  2019 (37)
    • ►  April 2019 (2)
    • ►  Maret 2019 (8)
    • ►  Februari 2019 (17)
    • ►  Januari 2019 (10)
  • ►  2018 (2)
    • ►  Desember 2018 (2)
  • ►  2017 (4)
    • ►  Oktober 2017 (4)
  • ▼  2012 (20)
    • ►  Desember 2012 (11)
    • ▼  November 2012 (9)
      • Kilas Balik Putih Abu-abu
      • Kepakkan Sayap Malaikat Maut
      • Sky as hard working
      • Fajar
      • A Crazy Little Thing Called Love
      • Promise Yourself
      • The Beach, Here You Find Peace
      • An Inspiring Korean Drama: Jewel In The Palace
      • About Me

Label

  • Education (2)
  • English (6)
  • Islam (1)
  • Perjalanan Menuju Senja (4)
  • Somewhere Out There (11)
  • Teaching Diary (17)
  • Thought (6)
Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

  • Kepakkan Sayap Malaikat Maut
  • An Inspiring Korean Drama: Jewel In The Palace
  • About Me
  • A Crazy Little Thing Called Love
  • About Me

Pengikut

Created with by ThemeXpose